JKKI – Yogyakarta. Topik penutup pada Forum Nasional JKKI XIII kali ini mengangkat tema Studi Kasus Penanganan Diabaetes Melitus (DM): Social Development dan Implementasi Undang-Undang Kesehatan dalam Konteks Transformasi Kesehatan di Daerah. Moderator yang membawakan sesi ini adalah drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE.
Sebagai Ketua PKMK UGM, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes, MAS membuka sesi penutupan Fornas ini dengan menggambarkan bahwa situasi Diabetes Melitus saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, yang berdampak pada prevalensi kasus, komplikasi, kematian, dan anggaran. Penanganan masalah ini memerlukan sebuah gerakan sosial, yang mungkin dipicu oleh pengaruh kebiasaan, mobilitas, dan penilaian individu terhadap kesehatan mereka. Saat ini, dari hasil analisis di Yogyakarta, belum terlihat adanya penggerak yang signifikan, sementara di Balikpapan, telah dimulai berbagai inisiatif gerakan sosial. Muncul pertanyaan tentang bagaimana Daerah Istimewa Yogyakarta/ DIY dapat mengembangkan gerakan sosial serupa untuk mengatasi tantangan ini.
Dr. Supriyati, S.os, M.Kes sebagai narasumber kedua berbagi materi terkait Integrasi Pendekatan Budaya dalam Penanganan Diabetes Melitus, yang mengambil pelajaran dari pengalaman di kampus dan masyarakat lokal. Tema ini menunjukkan pentingnya memasukkan aspek budaya dalam pencegahan dan penanganan Diabetes Melitus (DM). Salah satu tantangan yang dihadapi adalah pola makan yang tidak sehat, terutama di kalangan generasi muda yang sering disebut sebagai generasi boba, yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit tidak menular/PTM. Dalam konteks ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil, seperti mengubah budaya baru dengan cara yang memungkinkan, seperti denormalisasi pola makan yang tidak sehat. Selain itu, pendekatan lainnya meliputi mendengarkan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, memanfaatkan jaringan sosial, mengkampanyekan keberhasilan program, melibatkan pemimpin lokal, dan belajar dari pengalaman masyarakat. Dengan cara ini, program ini dapat berlanjut secara berkelanjutan dengan peningkatan yang terus-menerus dilakukan.
drg. Emma Rahmi Aryani, MM adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang menjadi narasumber kedua dalam acara ini. Beliau membahas topik “Peran Pemuda dalam Pergerakan Sosial untuk Pengendalian Diabetes Melitus secara Komprehensif, Sesuai dengan Prinsip Transformasi Kesehatan di Kota Yogyakarta.” Emma juga memaparkan data yang menunjukkan peningkatan angka kasus PTM, khususnya DM, di Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun. Prevalensi mencapai 4,9% pada 2018. Oleh karena itu, berbagai pelaku telah terlibat dalam penanganan termasuk pemuda yang memiliki peran penting dalam penanganan permasalahan Diabetes Melitus di Kota Yogyakarta. Mereka terlibat dalam berbagai kegiatan, seperti pelayanan kepada masyarakat, organisasi, kerja sama tim, dan kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran sosial. Beberapa kegiatan konkret yang mereka lakukan meliputi posbindu, skrining di sekolah, program kampus sehat, saka bhakti husada, deklarasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) di kalangan pemuda/remaja, serta skrining dalam pentas seni budaya pemuda.
Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA sebagai narasumber ketiga, membahas topik “Memikirikan perubahan Perilaku Konsumsi Gula dalam Komunitas Kampung (Indigenous)” dan isu penting terkaitnya. Isu-isu yang diungkapkan mencakup ketergantungan pada praktik dan pola awam, keberadaan komunitas indigenous di lokasi terisolasi, serta kurangnya pendidikan kesehatan. Selain itu, juga dibahas isu-isu kesehatan yang bersifat spesifik, sosial, dan ekonomi.
Dalam konteks ini, terdapat beberapa strategi yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi kebutuhan dan konteks khusus komunitas tersebut. Strategi-strategi ini termasuk integrasi pengetahuan tradisional ke dalam program kesehatan modern untuk mempermudah penerimaan oleh komunitas, pelatihan dan pemberdayaan pemimpin lokal agar menjadi advokat kesehatan di komunitas mereka, pengembangan program edukasi yang sensitif terhadap budaya, bahasa, dan kepercayaan komunitas, serta kemitraan dengan organisasi lokal yang dapat meningkatkan efektivitas program yang bersifat partisipatif.
SESI PEMBAHAS
Pada awal sesi pembahasan, drg. Pembajun Setyaningastutie, M.Kes yang merupakan Kepala Dinas Provinsi DIY, memberikan tanggapannya dengan mengajukan pertanyaan mengenai pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dalam penanganan Diabetes Melitus (DM) serta dampaknya terhadap klaim. Kasus DM di kota Jogja menunjukkan tingkat yang cukup tinggi, hampir dua kali lipat dari rata-rata nasional. Data dari Riskesdas juga menunjukkan penurunan aktivitas fisik di DIY dari 2013 hingga 2018.
Meskipun telah ada upaya penganganan dan pencegahan PTM di populasi yang sehat dan berisiko, serta upaya pengendalian PTM, penanganan DM masih belum cukup efektif. Beberapa inisiatif telah dijalankan, seperti program Gendhis Manis dan promosi kesehatan dengan pendekatan CERDIK. Selain itu, aplikasi Gendhis Manis juga menyediakan beragam layanan informasi dan edukasi mengenai DM dan gaya hidup sehat. Saat ini, sedang dikembangkan program “One Student One Family” yang melibatkan mahasiswa universitas sebagai pendamping keluarga dalam upaya penanganan DM.
Penanggap kedua adalah dr.. Arida Oetami, M.Kes yang menjabat sebagai Ketua Dewan Litbang DIY. Dalam presentasinya, pihaknya memberikan contoh budaya minum teh manis dan konsumsi makanan manis yang sangat umum di Jogja (panas legi kentel/ Nasgitel). Arida menekankan bahwa budaya-budaya seperti ini sulit untuk dihilangkan meskipun ada kebijakan nasional dan daerah yang berupaya mengatasi masalahnya. Terdapat berbagai tantangan yang dihadapi dalam penanganan masalah budaya ini, termasuk bagaimana cara berbicara dan memberikan edukasi terkait Diabetes Melitus kepada individu yang masih sehat. Komunikasi yang efektif dalam konteks ini menjadi hal yang sangat penting, dan diperlukan kerja sama antara akademisi dan pemerintah untuk menyesuaikan bahasa yang digunakan. Selain itu, Arida menekankan pentingnya penerapan prinsip Pentahelix untuk memperkuat gerakan sosial dalam penanganan diabetes melitus. Ia juga menyoroti perubahan regulasi di beberapa negara terkait pembatasan konsumsi gula dan garam, yang menjadi tantangan tersendiri bagi wilayah seperti Jogja.
Pembahas ketiga adalah Rimawan Pradiptyo, dosen di FEB UGM dan juga inisiator Gerakan Sambatan Jogja/SONJO di Jogja. Rimawan memberikan tanggapannya dengan memfokuskan pada pertanyaan, “Mungkinkah Semua di Gotong-Royongkan? Kompleksitas dalam Membangun Modal Sosial.” Pihaknya memulai dengan mengidentifikasi tiga masalah kunci di Indonesia, yaitu sektor formal, informal, dan aspek kelembagaan. Rimawan menyoroti pentingnya sektor informal, yang secara signifikan menyumbang pada GDP Indonesia, meskipun memiliki risiko tinggi terhadap penyakit tidak menular seperti Diabetes Melitus (DM).
Rimawan mencatat bahwa meskipun dukungan sosial dapat berperan penting dalam penanganan DM, pendekatan ini cenderung kompleks. Orang seringkali kurang memperhatikan risiko DM sampai mereka mengalaminya sendiri. Oleh karena itu, perlu ditemukan cara untuk mengubah perspektif positif dalam mengatasi masalah DM. Pendekatan yang lebih efektif adalah dengan menekankan manfaat pola hidup sehat, seperti olahraga, dan bagaimana hal itu dapat memberikan dampak positif pada kehidupan mereka, alih-alih hanya mengandalkan pendekatan yang menakutkan atau tidak sesuai dengan pemahaman mereka.
Wrap up
Sesi kesimpulan disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD dengan harapan untuk Pengembangan Kebijakan Kesehatan Indonesia Berdasarkan UU Kesehatan 2023 sebagai Knowledge Management. Isu undang-undang kesehatan sangat luas, , antar kementerian, dan lainnya. Bagaimana kita membuat program kesehatan yang lebih spesifik. Ada berbagai penanganan di UU, meski terdapat berbagai undang- undang terkait PTM yang akan disesuaikan. Pelaksanaan undang-undang sendiri melalui tahap panjang, mulai agenda setting, perumusan kebijakan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasu, perubahan kebijakan dan pilihan pada kebijakan diteruskan atau dihentikan. Hal itu dapat dilihat dari dua model pelaksanaan penaganann DM antara Balikpapan dan Yogyakarta yang memiliki perbedaan mencolok terkait budaya, partisipasi masyarakat, kepemimpinan daerah, dan ketersediaan anggaran.
Pelaksanaan undang-undang itu sendiri melibatkan serangkaian tahapan yang panjang, mulai dari pengaturan agenda, perumusan kebijakan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, hingga kemungkinan perubahan atau penghentian kebijakan. Ini bisa dilihat dalam dua model pelaksanaan penanganan Diabetes Melitus (DM) antara Balikpapan dan Yogyakarta, yang memiliki perbedaan mencolok terkait budaya, partisipasi masyarakat, kepemimpinan daerah, dan ketersediaan anggaran.
Untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan, akan ada sebuah saluran komunikasi melalui website khusus. Ini akan membantu membentuk Community of Practice (CoP), yang merupakan kelompok yang mendalami isu tertentu dan berbagi pengetahuan. CoP ini bersifat transdisipliner, dengan anggotanya berasal dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang yang berbeda, namun saling terkait.
Untuk informasi lebih lanjut, peserta dapat mengakses website khusus yang telah disediakan, terutama untuk permintaan sertifikat yang memiliki SKP, pengembangan CoP, dan pengelolaan pengetahuan lebih lanjut.
Reporter: Faisal Mansur, MPH (Divisi Public Health, PKMK UGM)