Pendahuluan
Katarak merupakan salah satu penyebab utama gangguan penglihatan yang dapat menurunkan kualitas hidup. Data terakhir mengenai prevalensi gangguan penglihatan di Indonesia diperoleh melalui survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) yang dilakukan di 15 provinsi pada tahun 2014 hingga 2016. Hasil RAAB menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada penduduk berusia lebih dari 50 tahun adalah 3,0%, dengan 70%-80% kasus gangguan penglihatan berat (severe visual impairment/SVI) dan kebutaan yang disebabkan oleh katarak
Target Global WHO saat ini dengan strategi Integrated People-Centred Eye Care including preventable vision impairment and blindness, yaitu peningkatan 30% cakupan efektif untuk operasi katarak pada tahun 2030, dan peningkatan 40% cakupan efektif untuk kelainan refraksi pada tahun 2030. Pada tingkat Nasional, Pemerintah telah menetapkan target untuk menurunkan prevalensi gangguan penglihatan sebesar 25% pada tahun 2030 dari prevalensi di tahun 2017 (baseline 3%) melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2020. Penanggulangan gangguan penglihatan di Indonesia diprioritaskan pada penyakit katarak, kelainan refraksi, glaukoma, retinopati diabetikum, kebutaan pada anak, dan low vision.
Gambar di atas menunjukkan peta persebaran Cataract Surgical Coverage (CSR) di Indonesia yang terbatas pada peserta JKN. Kendati target CSR secara nasional telah tercapai, namun jika ditelusuri lebih lanjut pada tingkat daerah (provinsi), angka CSR masih sangat bervariatif. Warna terang menunjukkan semakin rendah angka CSR. Sebaliknya, semakin gelap warna pada peta menunjukkan CSR wilayah yang tinggi. Pada Tahun 2022, 3 daerah dengan tingkat CSR terendah berada pada Provinsi Papua Barat, Papua dan Kalimantan Tengah, yaitu dengan angka CSR kurang dari 600. Sedangkan 3 daerah dengan tingkat CSR tertinggi berada pada Provinsi Sumatera Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Utara, dengan angka CSR lebih dari 4000 per 1 juta peserta JKN di wilayahnya. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan antarwilayah dalam mencapai target CSR. Selain itu, masih terdapat 30 dari 34 Provinsi dengan CSR kurang dari 3000.
Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) dengan dukungan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada pada 2024 kembali menyelenggarakan Forum Nasional (Fornas) dengan tema “Forum Nasional XIV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) Prinsip Transformasi Kebijakan Kesehatan untuk Mengurangi Beban Penyakit Katarak”. Tema tahun ini ditetapkan sebagai upaya JKKI dan PKMK mendukung pelaksanaan transformasi kesehatan dalam menanggulangi penyakit tidak menular (PTM).
Target Pemangku Kepentingan
Fornas XIV diharapkan dapat melibatkan pemangku kepentingan dari pengambil keputusan, akademisi, penyedia layanan kesehatan, peneliti, pemerhati dan masyarakat secara luas. Detail target pemangku kepentingan yang akan dilibatkan sebagai pembicara dan/atau peserta sebagai berikut:
- Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan:
- Dokter Spesialis Mata
- Dokter Sub Spesialis Mata
- Dokter Umum
- Perawat
- Refraksionis
- Masyarakat umum:
- Kementerian Kesehatan
- BPJS Kesehatan
- Kementerian Sosial
- Dinas Kesehatan
- Dinas Sosial
- Akademisi (Dosen dan Mahasiswa) di Universitas, Poltekkes dan STIKES
- Peneliti di Pusat Penelitian dan Think Tank
- Organisasi Masyarakat Sipil pemerhati Katarak
Tujuan
Secara umum Fornas XIV bertujuan untuk mengindentifikasi tantangan kesehatan dan strategi dalam pelaksanaan transformasi kesehatan untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Tujuan detail lainnya adalah:
- Pre Fornas XIV bertujuan untuk:
- Memahami metode analisis kebijakan
- Memahami teknik menulis policy brief
- Memahami teknik advokasi kebijakan
- Memahami pemanfaatan data rutin kesehatan
- Fornas XIV bertujuan untuk:
- Membahas pelayanan katarak di tingkat daerah dan nasional dalam proses transformasi kesehatan
- Membahas Prinsip Transformasi Kebijakan Kesehatan untuk Mengurangi Beban Penyakit Katarak
- Memperkuat jejaring kebijakan kesehatan dari berbagai perguruan tinggi untuk mendukung transformasi kesehatan
Kompetensi
Forum nasional XIV diharapkan dapat meningkatkan kompetensi pemangku kepentingan yang terlibat untuk:
- Memahami tantangan pelayanan katarak di tingkat daerah dan nasional dalam proses transformasi kesehatan
- Memahami Prinsip Transformasi Kebijakan Kesehatan untuk Mengurangi Beban Penyakit Katarak
- Menjalin jejaring kebijakan kesehatan dari berbagai perguruan tinggi untuk mendukung transformasi kesehatan
Informasi Ujian
Untuk mendapatkan sertifikat ber-SKP pada kegiatan ini , peserta dapat mempelajari kembali video dan materi yang sudah tersedia.
ujian akan diselenggarakan pada 5 – 17 November 24 melalui Plataran sehat kemenkes RI.
Waktu (WIB) |
Agenda dan Narasumber |
|
Reportase | ||
13.00 – 13.10 |
Pembukaan: Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD. – Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia |
|
13.05 – 13.35 |
Keynote Speaker: dr. Prihandriyo Sri Hijranti, M.Epid (Project Management Officer) |
|
13:35 – 13:45 |
Pengembangan Platform Digital Penyakit Katarak |
|
13.45 – 14.30 |
Backlog Kasus Katarak dan Target CSR di Indonesia |
|
14.30 – 15.15 |
Pembahas Tatakelola Pelayanan Katarak di Indonesia Strategi pencapaian CSR gobal sebagai bagian dari target nasional (CSR 3000) |
|
15.05 – 15.45 |
Sesi diskusi dan tanya jawab |
|
15.45 – 16.00 |
Penutup dan Tindak Lanjut |
LMS Plataran Sehat
Kontak Person
Cintya / 082221377408
Reportase Kegiatan
Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI), didukung oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, menyelenggarakan Forum Nasional (Fornas) XIV pada Selasa (15/10/2024). Acara ini mencakup sesi khusus terkait katarak dengan tema “Pengenalan Platform Digital untuk Menggambarkan Penggunaan Prinsip Transformasi Kebijakan Kesehatan dalam Mengurangi Beban Penyakit Katarak”.
Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD., Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, memberikan pembukaan dan pengantar untuk mengenalkan platform digital yang dikembangkan dalam upaya menekan beban penyakit katarak. Ia kemudian memperlihatkan bentuk platform tersebut, yang berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Website khusus ini menampilkan peta Indonesia dengan data terkait katarak serta dukungan komponen sistem transformasi kesehatan.
Prihandriyo Sri Hijranti, M.Epid., sebagai Project Management Officer dalam penanggulangan katarak, bertindak sebagai pembicara utama dengan topik “Transformasi Kesehatan dalam Penanggulangan Katarak di Indonesia”. Prihandriyo menjelaskan bahwa beban katarak di Indonesia cukup tinggi, menempati peringkat ketiga di dunia. Beban finansial untuk penanganannya juga sangat besar. Selain itu, tantangan dalam penanganan katarak mencakup ketidakmerataan SDM, khususnya dokter spesialis, serta keterbatasan fasilitas di berbagai rumah sakit untuk intervensi katarak. Oleh karena itu, sistem transformasi kesehatan berfokus pada beberapa pilar, seperti edukasi masyarakat, penanganan sekunder, layanan rujukan, dan pengembangan sistem kesehatan modern untuk mempermudah akses informasi dan pengelolaan data.
Ester Febe, MPH, peneliti di PKMK FK-KMK UGM, berbagi pengalaman tentang Pengembangan Platform Digital untuk Penyakit Katarak. Ester menekankan pentingnya sistem transformasi, terutama di layanan primer dan rujukan, dalam penanganan katarak. Ia merekomendasikan pembentukan jaringan sosial untuk penanganan katarak sebagai salah satu peluang terbaik. Kelompok ini bisa dibangun dengan menanamkan nilai-nilai seperti mengurangi beban finansial, keberhasilan organisasi, kemanusiaan, harga diri, dan profesionalisme. Ester juga memberikan penjelasan lebih lanjut tentang website yang menjadi platform digital untuk katarak.
Yeni Dwi Lestari, SpM(K), MSc, Kepala Divisi Oftalmologi Komunitas, Departemen Ilmu Penyakit Mata FKUI-RSCM, menyampaikan materi dengan judul “Backlog Kasus Katarak dan Target CSR di Indonesia”. Yeni menjelaskan bahwa terdapat 2,3 juta orang di dunia yang menghadapi masalah ini, dengan tantangan yang terus berubah dan meningkat setiap tahunnya. Penanganan untuk mencegah kebutaan akibat katarak dibagi menjadi tiga tahap: pencegahan dasar, identifikasi awal yang diikuti dengan operasi katarak, dan operasi katarak bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan berat. Meski demikian, tingkat CSR (Cataract Surgery Rate) di Indonesia masih rendah, disebabkan oleh masalah registrasi penyakit katarak, rendahnya permintaan dari pasien, serta keterbatasan layanan yang memadai.
Indra Kurnia Sari Usman, M.Kes, Ketua Tim Kerja Gangguan Indera dan Fungsional, bertindak sebagai pembahas pertama dengan judul “Tata Kelola Pelayanan Katarak di Indonesia”. Ia menyampaikan berbagai manfaat dari platform digital kebijakan katarak yang dikaitkan dengan strategi peta jalan kesehatan penglihatan tahun 2025-2030, seperti: forum diskusi untuk berbagai pihak, penyedi aan data dan hasil kajian, bahan advokasi untuk perbaikan layanan, data terkait SDM dan keuangan, serta penyimpanan data untuk hasil riset. Ia juga menyoroti tantangan layanan katarak saat ini, seperti luasnya wilayah dan kondisi geografis Indonesia, serta perlunya dukungan dari profesi, akademisi, dunia usaha, dan sektor lainnya.
Prof. dr. Muhammad Bayu Sasongko, M.Epi., Ph.D., Sp.M, Ketua Departemen Mata FKKMK UGM, menjadi pembahas kedua dalam rangkaian kegiatan ini. Ia membawakan materi dengan judul “Strategi Pencapaian Target Indikator Layanan Katarak”. Indikator yang menjadi sasaran adalah peningkatan cakupan operasi katarak hingga 40% dan target pelaksanaan 3.000 operasi per 1 juta penduduk. Strategi untuk mencapai target tersebut mencakup penguatan sistem koordinasi lintas sektor, peningkatan akses layanan, penguatan tata kelola SDM, optimalisasi cakupan dan akses pembiayaan, serta pengembangan sistem informasi terintegrasi dan pemanfaatan data.
Sesi Diskusi
Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, terdapat beberapa penanya. Bapak Suriadi dari RSUD Syech Yusuf Sulawesi Selatan menanyakan upaya untuk membatasi operasi katarak di berbagai rumah sakit, seperti yang dilakukan oleh BPJS, berdasarkan kapasitas fasilitas kesehatan (faskes) dan sumber daya manusia (SDM) di rumah sakit. Ira menjawab bahwa tidak ada informasi pasti tentang pembatasan operasi katarak oleh BPJS. Namun, dengan anggaran sebesar 17 triliun per tahun, tentu ada rasionalisasi jumlah operasi katarak yang dilakukan.
Widya mengajukan pertanyaan lain, yaitu tentang bentuk platform digital ini serta siapa saja yang dapat menggunakannya. Ester menanggapi bahwa platform digital ini bersifat terbuka untuk semua orang, sehingga dapat digunakan untuk melihat situasi katarak baik di tingkat regional maupun nasional. Tri Muhartini, salah satu anggota tim pengembang, menambahkan bahwa platform ini mencakup sistem transformasi kesehatan terkait katarak.
Amanda Nur Shinta Pertiwi, Sp.M berbagi pengalaman saat memberikan layanan katarak di Papua. Ia menjelaskan bahwa masyarakat yang telah diskrining dan disediakan peralatan masih menghadapi kendala, seperti permintaan pasien untuk dijemput dan diantar dari rumah. Yenni menanggapi dengan mendorong pentingnya promosi kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan operasi katarak. Ira menambahkan bahwa koordinasi dengan aparat setempat juga perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih terdorong untuk mengakses layanan tersebut. Bayu Sasongko menutup dengan harapan adanya perubahan kabinet pemrintahan dan perbaikan kebijakan akan turut memperbaiki layanan katarak.
Reporter: Faisal Mansur