Reportase Topik 9: Kebijakan Diabetes Melitus di Indonesia

26 Oktober 2022 

PKMK-Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII topik kesembilan dengan judul “Kebijakan Diabetes Melitus di Indonesia” pada Rabu (26/10/2022). Forum nasional ini terselenggara atas kerja sama JKKI, PKMK UGM, mitra, Pokja Endokrin Metabolik FK-KMK UGM serta 11 universitas co-host.

Pengantar

Acara diawali dengan pengantar oleh dr. Vina Yanti Susanti, Sp.PD-KEMD, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Pokja Endokrin Metabolik, yang menyampaikan rangkuman Webinar Dialog Kebijakan Diabetes Melitus (DM) seri 1-9 yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada webinar-webinar sebelumnya, telah dibahas secara komprehensif berbagai analisis kebijakan DM mulai dari level pencegahan, layanan primer, hingga layanan rujukan, serta telah didiskusikan berbagai usulan untuk perbaikan kebijakan DM di masa mendatang. Vina menyimpulkan bahwa diperlukan suatu transformasi kebijakan yang mengedepankan pendekatan inovatif, integratif, dan memiliki kontinuitas yang komprehensif, serta memiliki impact yang dapat diukur dengan indikator-indikator tertentu.

VIDEO

 

Sesi I Analisis Kebijakan DM Tahun 2022 dan Usulan Kebijakan DM untuk Tahun 2023

Memasuki sesi pertama, Dr. Supriyati, S.Sos., M.Kes menyampaikan usulan kebijakan untuk pencegahan DM di Indonesia. Kebijakan dan program pencegahan DM sebaiknya berfokus pada perbaikan gaya hidup, misalnya dengan membangun kesadaran tentang potensi risiko DM; menanamkan gaya hidup sehat sejak dini; meningkatkan akses makanan sehat; dan menciptakan iklim yang mendorong aktivitas fisik di masyarakat. Supriyati mengusulkan tagline khusus sebagai bentuk promosi kesehatan untuk pencegahan DM, yaitu “Cegah DM dengan SAMPerin”.

Melanjutkan materi, dr. Vina Yanti Susanti, Sp.PD-KEMD, M.Sc., PhD menyampaikan usulan kebijakan DM dari segi klinis. Pasien yang terdiagnosis DM telah mengalami kerusakan sel beta pankreas sebesar 50%. Oleh sebab itu, Vina mengusulkan agar pencegahan DM sebaiknya dilakukan saat pasien masih dalam kondisi sehat melalui skrining DM. Selain itu, diperlukan juga kebijakan riset mengenai DM bagi individu dengan komorbiditas, agar dapat diberikan intervensi DM yang tepat sasaran.

Sebagai penutup materi sesi pertama, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD selaku Ketua JKKI mengajak audiens berdiskusi, apakah mungkin menerapkan prinsip-prinsip transformasi kesehatan untuk menahan laju pertumbuhan DM? Laksono mengusulkan penggunaan data lokal untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah dan masyarakat luas agar dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan DM yang baru. Untuk mendukung hal tersebut, perlu dibentuk suatu kelompok jaringan sosial yang memiliki visi mengurangi angka DM di kabupaten/kota.

Kegiatan dilanjutkan dengan tanggapan oleh pembahas dari lembaga penentu kebijakan, yaitu Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI.

VIDEO SESI I

 

Sesi II Konsep Jaringan Sosial dalam Pengendalian Penyakit

Pada sesi kedua, Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA membuka sesi dengan memaparkan tentang aksi-aksi masyarakat sipil dalam diabetes-related upstream policies. Terkait kebijakan pencegahan DM di level hulu, masyarakat dapat terlibat dalam membangun solidaritas ketika berhadapan dengan krisis penyakit, membangun kesadaran untuk menerapkan gaya hidup sehat, serta menjadi bagian dari komunitas kebijakan untuk pencegahan DM. Agar masyarakat sipil terpacu untuk mendorong terbentuknya kebijakan pencegahan DM, diperlukan sistem peringkat “kota layak kesehatan” di level nasional, sehingga masyarakat di setiap daerah akan berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik.

Selanjutnya, Amelia Maika, S.Sos., MA. MSc., PhD memaparkan tentang konsep jaringan sosial dalam pencegahan penyakit. Menurut Amelia, jaringan sosial memiliki potensi besar dalam upaya pencegahan penyakit DM, namun dibutuhkan kerja sama banyak pihak dan upaya yang sistematis dan komprehensif dalam membangun jaringan sosial, termasuk meningkatkan kualitas agen dalam jejaring tersebut.

Sebagai tanggapan untuk kedua materi narasumber, Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., PhD mengemukakan bahwa terdapat gap antara pengetahuan klinisi dan akademisi dengan pengetahuan masyarakat tentang DM, sehingga dengan adanya jaringan sosial maka dapat menjembatani gap tersebut.

VIDEO SESI II

 

Sesi III Diskusi: Bagaimana Melakukan Pengembangan Kebijakan DM di Indonesia?

Diskusi panel sesi ketiga dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Panelis pertama, Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes selaku Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan menyampaikan mengenai program pengelolaan DM yang sudah digagas oleh BPJS Kesehatan, yaitu Prolanis. Agar Prolanis dapat diakses seluruh masyarakat, BPJS telah melakukan inovasi dengan membentuk grup WhatsApp di level FKTP sehingga memudahkan pasien terhubung langsung dengan tenaga kesehatan. Selain itu, BPJS Kesehatan juga sedang mengembangkan telemedisin untuk memudahkan pemantauan pasien.

Selanjutnya, panelis kedua yakni dr. Raden Bowo Pramono, Sp.PD-KEMD sebagai perwakilan dari Pokja Endokrin Metabolik FK-KMK UGM turut menjelaskan upaya yang telah dilakukan Pokja Endokrin Metabolik untuk menekan prevalensi DM. Pokja tersebut telah memberikan pelatihan kepada puskesmas di wilayah DIY untuk melatih kader Posbindu guna mendeteksi dini penderita DM, sehingga apabila ditemukan kasus DM di Posbindu, maka pasien tersebut dapat langsung dirujuk ke puskesmas. Panelis terakhir, dr. Haryo Bismantara, MPH selaku perwakilan dari Academic Health System (AHS) UGM menyampaikan bahwa untuk ke depannya, kolaborasi AHS akan bersifat kewilayahan, dimana Fakultas Kedokteran/Rumah Sakit Pendidikan akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan dan penelitian kesehatan dengan menyesuaikan kondisi di masing-masing wilayah, termasuk untuk DM.

VIDEO SESI III

Reporter:
Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz (PKMK UGM)

Reportase Topik 8: Pengembangan Layanan Unggulan Rumah Sakit dan RS Khusus dalam Merespons Transformasi Layanan Rujukan

Selasa, 25 Oktober 2022

Kegiatan forum nasional XII hari ini memasuki topik ke-8 dengan judul Pengembangan Layanan Unggulan Rumah Sakit dan RS Khusus dalam Merespons Transformasi Layanan Rujukan yang diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM bekerja sama dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, mitra dan 11 universitas co-host melalui zoom meeting dan live streaming.

Pembukaan

Rangkaian kegiatan diawali dengan pembukaan yang disampaikan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes, MAS selaku direktur PKMK FK-KMK UGM. Andreasta menyampaikan bahwa transformasi kesehatan yang telah dilaksanakan Kementerian Kesehatan dengan seluruh jajaran di daerah bermuara pada pelayanan kesehatan. Dalam pengembangan layanan unggulan membutuhkan kajian-kajian agar dapat mewujudkan harapan-harapan masyarakat dalam transformasi layanan kesehatan.

VIDEO

 

Sesi I: Presentasi Policy Brief

Kegiatan presentasi policy brief dimoderatori oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, M.Kes selaku Kepala Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK FK-KMK UGM. Pada sesi ini, terdapat satu policy brief terpilih yaitu Kebijakan E-Rujukan Balik dari Rumah Sakit ke Puskesmas untuk Kesinambungan Layanan Kesehatan oleh Asriadi. Setelah sesi penayangan video presentasi policy brief, dilanjutkan dengan sesi pembahasan yang disampaikan oleh Dr. dr. Youth Savitri, MARS selaku Kasubdit Pengelolaan Rujukan dan Pemantauan Evaluasi RS, Kementerian Kesehatan RI. Youth menyampaikan bahwa proses rujuk balik dari rumah sakit ke layanan primer seperti puskesmas masih terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi salah satunya adalah kemampuan puskesmas dalam memberikan obat maupun tindakan seperti yang pasien dapatkan saat di rumah sakit.

VIDEO

Sesi pembahasan kedua disampaikan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MAS selaku direktur PKMK FK-KMK UGM. Andreasta menyampaikan bahwa dalam proses layanan rujukan pasien merupakan milik sistem, sehingga semua layanan kesehatan akan berusaha yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan serta kenyamanan pasien. Andreasta juga menambahkan bahwa sistem e-rujukan membutuhkan infrastruktur, sehingga hal tersebut menjadi tantangan di beberapa tempat tertentu.

Sesi II: Peran Dinas Kesehatan Provinsi dalam Mendukung Transformasi Layanan Rujukan

Sesi II pada webinar hari ini disampaikan oleh drg. Yuli Kusumastuti Iswandi Putri, M.Kes selaku Kabid Yankes Dinkes Provinsi DIY yang membahas mengenai Peran Dinas Kesehatan Provinsi dalam Mendukung Transformasi Layanan Rujukan. Yuli menyampaikan bahwa pada 2024 terdapat 4 penyakit katastropik yang akan lebih difokuskan yaitu penyakit kanker, jantung, stroke, dan uro-nefrologi. Kemudian dinas kesehatan memetakan rumah sakit dan puskesmas dalam strata dasar, madya, utama, dan paripurna. Berdasarkan ketetapan kementrian kesehatan, strata paripurna akan dilakukan oleh rumah sakit vertikal. Di DIY rumah sakit vertikal yang dimaksud adalah RSUP Dr. Sardjito. Yuli juga menjelaskan bahwa akan mendorong beberapa rumah sakit berdasarkan hasil self assessment terkait kesiapan dan kemampuan melakukan layanan prioritas. Untuk layanan jantung akan berada di RSUD Kota Jogja dengan strata madya. Layanan uro-nefrologi akan berada di RSUD Panembahan Senopati dengan strata madya. Pada RSUD Wates akan memberikan layanan stroke dalam strata utama. Sedangkan pada RSUD Sleman akan memberikan layanan kanker dalam strata utama.

VIDEO   MATERI

Sesi III: Peran RS Pusat dalam mendukung Transformasi Layanan Rujukan

Kegiatan pada ini dimoderatori oleh M.Faozi Kurniawan, MPH selaku Peneliti PKMK FK-KMK UGM. Pada sesi III paparan materi disampaikan oleh Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)., MPH selaku Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan dan Penunjang RSUP Dr. Sardjito dengan judul Peran RS Pusat dalam mendukung transformasi layanan rujukan. Sri menyampaikan bahwa sistem rujukan yang efektif dapat terjalin dengan baik apabila terdapat hubungan yang erat diantara semua tingkat perawatan kesehatan, individu menerima perawatan terbaik, terdapat sistem rujukan yang mampu menjadi indikator kinerja keseluruhan sistem kesehatan dan mencerimnkan kemampuan pemerintah untuk mengelola semua subsistem dan aktor yang terlibat dalam proses rujukan.

Sri juga menyampaikan bahwa dalam transformasi layanan rujukan terdapat beberapa kegiatan prioritas yaitu pemenuhan sarana prasarana, alkes, obat, dan BMHP; Penguatan tatakelola manajemen dan pelayanan spesialistik; serta penguatan mutu RS, layanan unggulan, dan pengembangan layanan lainnya. Sri juga memparkan tugas RSUP Dr. Sarjito pada transformasi layanan rujukan ini yaitu pengampu RS regional di wilayahnya; rujuk balik; pengembangan layanan unggulan subspesialistik; penyusunan SPO rujukan, penyiapan SDM, sarana prasarana, dan sistem informasi; pengembangan HTA terutama produk dalam negri; dan penerapan HBL.

VIDEO   MATERI

Di akhir sesi, terdapat pertanyaan yaitu “Bagaimana strategi untuk daerah-daerah dengan hambatan finansial dalam membangun sistem SisRUTE hospital?” Sri menjawab beberapa kegiatan perlu dimodifikasi untuk memangkas biaya seperti self assessment yang biasanya dilakukan dengan berkunjung secara langsung diubah menjadi pertemuan jarak jauh. Kemudian untuk program, tergantung dari pihak rumah sakit yang menetukan terkait program apa yang akan dikembangkan, sehingga dapat menyusun skala prioritas. Terkait anggaran biaya, kebijakan tetap berada di pihak rumah sakit, namun rumah sakit atau pemda dapat mengajukan keringanan dalam hal tertentu sehingga hal tersebut dapat didiskusikan lebih lanjut di luar kebijakan rumah sakit.

VIDEO

 

Reporter:
Annisa Leny Saraswati, S.Kep
Divisi Manajemen Rumah Sakit, PKMK UGM

 

Reportase Webinar Topik 7: Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Saat Krisis Kesehatan dengan Digitalisasi Peta Respon

Senin, 24 Oktober 2022

Sesi Presentasi Policy Brief

Kegiatan ini diselenggarakan oleh PKMK UGM, Pokja Bencana FK-KMK UGM, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia beserta mitra dan 11 universitas co-host melalui Zoom Seminar dan Live Streaming. Rangkaian kegiatan dimoderatori oleh apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid. Sesi pertama diawali dengan pemutaran dua video policy brief berjudul “Strategi Penanganan Krisis Kesehatan di Kabupaten Badung” dan “Efektifkah Mengatasi Penyakit TBC seperti Penanggulangan COVID-19”.  Pada sesi diskusi policy brief, disampaikan bahwa kesiapsiagaan mitigasi bencana dan krisis kesehatan sangat penting disiapkan sejak dini artinya saat pra krisis kesehatan. dr Eko Medistianto, M.Epid selaku pembahas dari Pusat Krisis Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI menambahkan pada policy brief ada baiknya diidentifikasi juga jenis potensi lainnya yang dapat menyebabkan krisis kesehatan. Eko setuju dengan rekomendasi policy brief yang menyatakan sangat perlu dikembangkan sistem informasi surveilans berbentuk peta dan sangat disarankan sekali menyusun rencana kontigensi. Unsur pentahelix juga harus saling berkolaborasi dalam penangguangan krisis kesehatan.

Sesi Pemaparan

Sesi selanjutnya adalah seminar topik Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Saat Krisis Kesehatan dengan Digitalisasi Peta Respon yang dibuka oleh Sutono, S.Kp, M.Sc, M.Kep selaku ketua Pokja Bencana FK-KMK UGM. Pada sesi ini dipaparkan materi terkait : (1) Kebijakan Peta Respon Krisis Kesehatan oleh dr Eko Medistianto, M.EpidI; (2) Penyusunan Peta Respon saat bencana Gempa Mamuju oleh drg. Asran Masdy, SKG, MAP sebagai Kepala Dinas Provinsi Sulawesi Barat; (3) Penyusunan Peta Respon saat bencana Erupsi Semeru oleh dr. Bayu Wibowo IGN sebagai Kepala Dinas Kabupaten Lumajang; dan (4) Penggunaan Teknologi Informasi dalam Penyusunan Peta Respon Krisis Kesehatan oleh Setiaji, ST, M.Si sebagai Staf Ahli Menkes Bidang Teknologi Kesehatan Digital Transformation Office (DTO).

Pengalaman penyusunan peta respon di Sulawesi Barat, peta respon disusun satu hari setelah terjadi Gempa Sulawesi Barat. Dinas kesehatan langsung melakukan kajian cepat untuk menilai daerah mana saja yang terdampak gempa, bagaimana kejadian bencana berdampak pada fasilitas kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan yang masih bisa digunkanan dan kapasitas SDM yang siap bertugas menangani korban bencana.

Dari peta respon Dinas Kesehatan dapat mengetahui potensi, kapasitas, kesenjangan yang terjadi, tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan kebutuhan logistik. Hal tersebut juga dialami oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang saat penanganan Erupsi Gunung Semeru. Pada saat tanggap darurat, dinas kesehatan melakukan rapid health assessment untuk mengidentifikasi permasalahan kesehatan kemudian mengaktifkan klaster kesehatan / HEOC. Tim HEOC setiap hari rapat untuk upadate data bencana dan kebutuhan penanganan bencana. Saat itu tim HEOC didampingi dan dibantu oleh relawan FK-KMK UGM, Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten Lumajang serta MDMC. Salah satu kegiatan HEOC ini adalah penyusunan peta respon, sehingga semua pusat informasi tentang penyebaran relawan dapat dilihat pada pesta respon di HEOC.

Peta risiko dibuat pada saat pra krisis kesehatan yang memuat risiko bahaya, kerentanan dan kapasitas sehingga ada visualisasi yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pelaku manajemen darurat kesehatan menyusun peta respon di HEOC saat tanggap darurat bencana. Dalam rangka respon cepat dibutuhkan suatu peta yaitu peta respon. Artinya peta risiko dan peta respon berbeda, peta risiko disusun saat pra krisis kesehatan sementara peta respon saat krisis kesehatan (tanggap darurat bencana).

Teknologi akan menjadi kekuatan penunjang transformasi kesehatan. Tantanagan data kesehatan dan kebencanaan adalah data yang tidak terintegrasi dan terstandarisasi. Bisnis proses tata Kelola data kesehtaan dan kebencanaan masih belum sepenuhnya terdigitalisasi dengan baik. Harapannya command center di daerah dapat digabungkan dengan kirisis kesehatan sehingga data dan informasi yang dikeluarkan dapat sama dan terintergrasi. Dashboard satu data kesehatan menjadi harapan bersama, seluruh data yang terintegrasi dengan satu sehat ditampilkan dalam dashboard data kesehatan. Seluruh sistem terkait dashboard dan analisis data di Kemenkes menjadi satu di dalam Dashboard Satu Data Kesehatan.

Materi dan video dapat disimak pada link berikut

KLIK DISINI

Reportase : Happy R Pangaribuan, MPH
(Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM)

 

 

Reportase Topik 6 Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Upaya Pembenahan Sistem Kesehatan Indonesia

21 Oktober 2022

Sesi Presentasi Policy Brief

Forum Nasional (Fornas) XII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) pada hari kelima (21/10/2022) mengangkat topik “Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Upaya Pembenahan Sistem Kesehatan Indonesia”. Acara diawali dengan presentasi policy brief yang dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Presentasi pertama dibawakan oleh Dewi Wulandari, S. Kep. Ns. M.Kes mewakili tim (Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc; Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N, DNSc.).

Dewi membawakan topik “Penguatan layanan Kesehatan Jiwa Komunitas dan Advokasi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)”. Presentasi kedua disampaikan oleh Luci Fransisca Situmorang dan Tyas Natasya Citrawati dengan topik “Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer Sebagai Upaya Transformasi Layanan Primer”. Presentasi policy brief ditutup oleh Desi Fitrianeti, SKM, Msi yang membawakan topik “Pergeseran Paradigma Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) dalam Penyelenggaraan Posyandu”.

Acara diikuti dengan pembahasan dan tanggapan terhadap policy brief yang sudah dipresentasikan. Dra. Herawati, MA selaku Ketua Tim kerja perilaku ibu hamil, anak dan remaja, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, menanggapi baik policy brief yang sudah disampaikan. Herawati menyebutkan bahwa terdapat kendala dalam layanan kesehatan primer, seperti SDM dan sarana-prasarana. Oleh karena itu, transformasi layanan kesehatan primer menjadi isu penting dan sedang dijalankan oleh Kemenkes. Saat ini, langkah manajemen sudah ada dan regulasi sedang disusun bersama Kemendagri. Tanggapan berikutnya disampaikan oleh Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A selaku Dosen Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial, FK-KMK UGM. Retna menanggapi struktur penyampaian policy brief yang sudah cukup baik dari setiap pemateri. Retna menekankan pada penggunaan data. Data yang digunakan untuk membangun policy brief sudah cukup relevan, melihat memang beberapa data sulit untuk didapatkan. Retna memberikan masukkan-masukkan kepada setiap presentator untuk dapat menambahkan evidence dalam pembangunan policy brief.

 

Pembukaan dan Keynote Speech

Sesi ini dibuka oleh Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku Ketua JKKI. Laksono menekankan kembali topik Fornas kali ini mengenai transformasi layanan kesehatan primer yang berfokus pada manajemen pembiayaan. Indonesian Health Economics Association (InaHEA) dan Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) turut andil dalam topik kali ini.

VIDEO

 

 

Melanjutkan pembukaan dari Laksono, dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH, selaku Ketua IEKI, memberikan keynote speech untuk mengawali sesi pemaparan dan diskusi. Hasbullah menyebutkan bahwa konsep ekonomi kesehatan yang dimaksud mempunyai visi bahwa semua orang harus mendapatkan layanan kesehatan masyarakat tanpa harus mempertimbangkan status ekonominya (ekuitas kesehatan). Hal ini didukung dengan evidence untuk penentuan kebijakan yang menunjukkan efisiensi dan ekuitas. Layanan kesehatan primer sudah seharusnya menjadi prioritas dan perlu diperkuat sebagai salah satu sokoguru sistem kesehatan.

VIDEO

 

Sesi Pemaparan

Sesi pemaparan dan diskusi dimoderasi oleh Prastuti Soewondo, S.E., M.PH., Ph.D, selaku Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Paparan dimulai oleh dr. Ahmad Hasanudin, M.Kes., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Serang, dengan topik “Transformasi Pembiayaan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) melalui Sistem Pembayaran Belanja Kesehatan Strategis (BKS) pada Layanan Primer”. Ahmad menampilkan detail program fasilitas kesehatan yang berjalan di Serang dengan berfokus pada KIA. Kick-off meeting BKS KIA berlangsung pada 19 September 2022 dan periode pelaksanaan dimulai sejak Oktober ini. BKS KIA ini diberikan ke 17 klinik dan 8 puskesmas pengampu di 3 kecamatan, dari 6 kecamatan. Hasil akhir pembiayaan KIA melalui sistem pembayaran BKS pada layanan primer berupa terwujudnya pelayanan primer yang bermutu.

VIDEO

Paparan dilanjutkan oleh Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH, selaku Dewan Pengawas Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia/IEKI & Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dengan topik “Transformasi Pembiayaan Layanan Primer pada Program Promotif & Preventif melalui Potret Belanja Kesehatan Daerah”. Ascobat menjelaskan pencapaian kinerja kesehatan periode 2008, 2013, dan 2018. Ascobat juga menyampaikan bagaimana alokasi pembiayaan kegiatan puskesmas di lapangan. Fakta di lapangan mengarahkan pada diperlukannya transformasi pembiayaan. Ascobat menampilkan bagaimana postur APBD berdasarkan pengamatan beberapa kabupaten. Hal yang ditemukan adalah rata-rata belanja pegawai sangat besar, sehingga ruang fiskal menjadi sempit. Menutup pembahasan, Ascobat menyampaikan bahwa apapun jenis pembiayaannya, semua harus berdasarkan kinerja dan tujuan yang ingin dicapai.

VIDEO

Paparan terakhir disampaikan oleh dr. Yuli Farianti, M.Epid, selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan, Kemenkes RI, dengan topik “Implementasi Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Perluasan Paket Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Program Skrining”. Yuli memulai dengan menyampaikan report manfaat JKN melihat dari Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Pembiayaan katastropik meningkat periode 2014-2020. Pembiayaan ini menyerap 20% pembiayaan JKN setiap tahun. Potret penyakit dapat digunakan untuk menentukan fokus pemilihan skrining dalam pembiayaan JKN. Yuli menekankan bahwa perlu mencegah double budgeting dengan menentukan pembiayaan dari sumber yang ada. Yuli menambahkan bahwa diperlukan sinkronisasi visi misi pusat sampai daerah untuk mencapai harmonisasi anggaran pusat dan daerah. Sebagai penutup, kemitraan berupa kerja sama dengan swasta dan badan usaha dapat menguatkan layanan primer.

VIDEO

 

Sesi Pembahasan

Ketiga paparan tersebut ditanggapi oleh dr. Rahmad Asri Ritonga, selaku Asisten Deputi Bidang Pembiayaan Manfaat Kesehatan Primer, BPJS Kesehatan, dan Anastasia Susanto, selaku Health System Strenghtening Lead, USAID Indonesia. Rahmad menyampaikan bahwa terdapat 3 hal penting, yaitu pemenuhan kebutuhan SDM, sarana-prasarana (equity), dan FKTP bermutu dan berkualitas. Anastasia menambahkan bahwa banyak alur pembiayaan layanan kesehatan sehingga dibutuhkan untuk public financial management untuk mengurangi barriers dan mengoptimalkan dana yang ada.

VIDEO

Sebagai penutup, Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar, S.E., MEconSt., selaku Wakil Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia/IEKI, menyampaikan rangkuman sesi pemaparan dan diskusi. Sesi diskusi diakhiri oleh Prastuti yang menambahkan bahwa saat ini adalah momen untuk memerhatikan preventif promotif sebagai upaya penguatan layanan kesehatan primer, khususnya untuk KIA melalui BKS, berupa program pengurangan kematian ibu dan bayi yang menjadi tugas besar.

VIDEO

Reporter: Sensa Gudya Sauma Syahra
Data Manager Digital Data Corner, PKMK UGM

 

 

Reportase Webinar Topik 5 Kebijakan Industri Farmasi, Alat Kesehatan, dan Fitofarmaka di Indonesia: Tantangan untuk Meningkatkan Ketahanan

20 Oktober 2022

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan pembukaan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-12 topik kelima dengan judul “Kebijakan Industri Farmasi, Alat Kesehatan, dan Fitofarmaka di Indonesia: Tantangan untuk Meningkatkan Ketahanan” pada Kamis (20/10/2022). Penyelenggaraan forum ini dilakukan oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, PKMK UGM dengan mitra InaHEA serta 11 universitas co-host.

Sambutan

Acara diawali dengan sambutan dari Dr. Dra. Lucia Rizka Andalucia, Apt, M.Pharm, MARS selaku Dirjen Farmalkes Kemenkes RI menyampaikan apresiasi atas terlaksananya acara ini, karena menambah minat praktisi yang memiliki keinginan terlibat dalam ketahanan industri obat dan alat kesehatan. Selama pandemi, terdapat banyak masalah dan kerapuhan yang terjadi pada berbagai produk obat dan alat kesehatan.

Kemenkes mengupayakan untuk terus mendorong pertumbuhan industri farmasi dan alat kesehatan, dengan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri dan menekan impor, dan akhirnya mencapai ketahanan industri. Selain peran Kemenkes, tentu diperlukan peran serta berbagai aktor mulai dari pelaku industri, peneliti, akademisi, dan pemangku kebijakan. Sinergi dari berbagai pihak tentu akan membantu percepatan proses teraihnya ketahanan. Rekomendasi yang bisa terbentuk dari acara ini juga dinantikan agar dapat membantu menyusun strategi langkah Kemenkes selanjutnya.

VIDEO

Pengantar Diskusi

Acara kedua adalah pendahuluan yang merupakan sesi diskusi panel yang difasilitasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Industri obat dan alkes adalah topik yang hangat untuk dibahas. Peningkatan penggunaan produk dalam negeri merupakan salah satu faktor ketahanan, tapi di sisi lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana sebuah negara dapat tahan terhadap goncangan (misalkan pada kondisi pandemi).

Pembukaan seminar menghadirkan 3 narasumber ahli dalam industri obat dan alat kesehatan, yakni Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG(K)-FER, MPH; Prof. Dr. Dra. Sri Suryawati, Apt; dan Dr. I Gede Made Wirabrata, S.Si., Apt., M.Kes., M.M., M.H. Prof. Budi menyatakan ketahanan industri obat dan alkes adalah keniscayaan dan harus dilakukan oleh Indonesia, yang memiliki target market yang strategis. Terdapat 3 hal yang sangat penting, antara lain; data, development, dan delivery. Surya melanjutkan dengan tanggapan terhadap peran kebijakan untuk industri farmasi. Saat ini, industri membutuhkan kebijakan untuk menyatukan stake holder supaya dapat mencapai tujuan bersama, yakni ketahanan. Penyusunan kebijakan yang menyatukan berbagai kepentingan diikuti dengan regulasi untuk produk terstandar harus segera dikerjakan. Namun, Surya juga optimis bahwa Indonesia dapat meraih ketahanan industri obat dan alkes. Di sisi lain, Wira, selaku Kepala BKPK Kemenkes, menyampaikan bahwa Kemenkes berupaya memetakan dari tahun ke tahun dan bagaimana melengkapi kekurangan yang ada baik dari segi logistik/data bahan baku, kebijakan dan regulasi, sampai pada tahap pengembangan dan distribusi.

VIDEO

Bagian I

Selepas sesi pendahuluan, dilanjutkan dengan sesi utama bagian I. Sesi ini dipandu oleh Dr. Rimawati, S.H., M.Hum. Narasumber pertama, yakni Drs. Pamian Siregar, M.B.A. selaku Dirut PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, menyampaikan bahwa menurut perspektif industri dalam ketahanan farmasi berdasarkan perhitungan ekonomi, penting sekali untuk mengamankan bahan baku obat. Setelah pandemi, hal ini menjadi lebih jelas lagi dan menjadi kunci bagi ketahanan industri farmasi.

VIDEO   MATERI

Narasumber kedua adalah Anda Waluyo Sapardan, yang merupakan CEO SEHATI dan TeleCTG, menyebutkan dalam mewujudkan ketahanan, diperlukan komitmen penuh dari semua pemangku kepentingan, khususnya kepastian penyerapan dan penggunaan produk oleh pemerintah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan kepastian regulasi, forum dialog lintas sektor, termasuk memasukkan unsur kepemilikan teknologi, dan pemberian sanksi bagi pelanggar pengguna produk alkes nasional.

VIDEO   MATERI

Narasumber terakhir dari sesi ini adalah Dr. Riza Noer Arfani, M.A., menjelaskan tentang tantangan perdagangan internasional setelah adanya TRIPs yang dicanangkan oleh WTO. Dua kunci agenda yang harus disiapkan, yakni terkait sustainabilitas dan replikabilitas. Pertama, perlu dilakukan peningkatan kapasitas pemangku kebijakan terkait dan pemerintahan di bawahnya dengan skema konsorsorium. Kedua, terkait replikabilitas, adalah melakukan replikasi sektor dan regional yang memiliki konteks mirip serta mengambil contoh terbaik mereka, dan memastikan pemerintah dapat mengadopsi, menginternalisasi, dan mengintegrasikan inisiatif kepada rencana pembangunan ke depan.

VIDEO

Bagian II

Room A: Fokus Industri Alat Kesehatan

Kegiatan dipandu oleh dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, M.Sc., Ph.D., Sp.A. Materi pertama disampaikan oleh Dr. Hargo Utomo, M.B.A selaku Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM. Menurut Hargo, kompetisi industri alat kesehatan nasional saat ini masih didominasi oleh produk asing. Untuk itu, diperlukan penguatan kapasitas industri alat kesehatan domestik untuk menyokong ketahanan industri kesehatan nasional dan meraih kepercayaan publik, terhadap produk-produk alat kesehatan dalam negeri untuk mendorong inovasi industri alat kesehatan di Indonesia. Roy Himawan, S.Farm., Apt., MKM selaku Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI melanjutkan dengan menyampaikan Kemenkes RI mengusung program prioritas untuk mewujudkan ketahanan industri alkes dalam negeri. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, terutama karena ekosistem industri bahan baku alat kesehatan belum siap untuk menunjang pengembangan industri alat kesehatan di Indonesia. Materi terakhir disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD. Sebagai penutup, kebijakan Inpres Nomor 2 Tahun 2022 terbit sebagai panduan menuju ketahanan sudah baik, namun saat ini masih berada dalam tahap awal pelaksanaan. Masih diperlukan kolaborasi lintas pihak agar dapat terwujud dan tentunya saling melengkapi kekurangan yang ada.

Room B: Fokus Industri Farmasi

Dalam forum dengan fokus industri farmasi yang dipandu oleh dr. Lukman Ade Chandra, M.Med., M.Phil. Pembicara pertama, Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes dari Universitas Pancasila, memaparkan hasil penelitian yang dilakukannya. Poin penting yang dihasilkan diantaranya; (1) sudah terjadi tier-system dalam obat-obatan, (2) Obat yang berada di luar Formularium Nasional, memiliki pangsa pasar tersendiri baik di dalam maupun luar negeri, (3) Hingga saat ini belum ada data besar dan konsisten terkait data volume dan value obat-obatan, serta (4) Belum tersedia sistem nasional untuk memantau pasar farmasi.

Selanjutnya, Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS selaku Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes menyampaikan saat ini Kemenkes sudah memiliki roadmap kemandirian industri farmasi. Selain itu, telah terdapat regulasi capaian TKDN Bahan Baku Aktif/API. Obat dengan TKDN BBO >52%, akan diprioritaskan tersedia di pasar. Kemenkes juga telah menyediakan formularium nasional dan etalase katalog sektoral untuk membantu penyedia layanan dan konsumen untuk memilih produk dalam negeri. Terakhir, Mahadi Margiono selaku Associate Director, Business Solution IQVIA menjelaskan industri farmasi di Indonesia memiliki grafik pertumbuhan stabil hingga pertengahan 2022, terutama ditunjang oleh kelompok obat etikal domestik dan dua gelombang COVID-19 dalam 12 bulan terakhir, meski pertumbuhannya tidak secepat Malaysia dan Singapura dalam hal persentase. Dari segi pasokan, pertumbuhan dalam kelompok obat etikal dipengaruhi oleh obat generik tak bermerk. Sedangkan dari segi permintaan, sektor RS sangat tergantung pada e-katalog sedangkan produk-produk non e-katalog ketersediaan dan permintaannya stabil di toko-toko obat.

Room C: Fokus Industri Herbal dan Fitofarmaka

Prof. I Ketut Adnyana, M.Si., Ph.D, Dekan Farmasi ITB mengawali diskusi dengan menyampaikan potensi pengembangan industri herbal di Indonesia yang menjanjikan. Upaya pengembangan industri herbal dan kesehatan tradisional bahkan menjadi salah satu fokus transformasi ekonomi di Provinsi Bali, seperti yang disampaikan Guru Besar FMIPA Universitas Udayana, Prof. apt. Dr.rer.nat I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si. Upaya tersebut dilakukan dengan penguatan industri obat tradisional; penguatan pelayanan kesehatan tradisional; dan penguatan Bali Mahosadhi (Balinese Wellness).

Dari sudut pandang praktisi, Dr. dr. Eti Nurwening Sholikhah, M.Kes, M.Med.Ed menjelaskan perlunya pemutakhiran kurikulum obat herbal yang saat ini masih dikembangkan mandiri oleh masing-masing institusi Fakultas Kedokteran dalam rangka meningkatkan penggunaan obat herbal di masyarakat. Ni Kadek Wrditiani, S.Farm, M.Sc. selaku moderator juga berpendapat diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak demi kemajuan industri obat herbal dan fitofarmaka di Indonesia.

Reporter: dr. Alif Indiralarasati (PKMK UGM)

 

 

 

 

 

 

 

 

Reportase Topik 4 Peran Analis Kebijakan dan Keterampilan yang Dibutuhkan: Penggunaan Data Sekunder Kesehatan dan Teknik Advokasi

Pembukaan

Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII pada hari ketiga (19/10/2022) mengangkat topik “Peran Analis Kebijakan dan Keterampilan yang Dibutuhkan: Penggunaan Data Sekunder Kesehatan dan Teknik Advokasi”. Acara yang dipandu oleh Mashita Inayah, S.Gz selaku master of ceremony (MC) ini dimulai dengan pembukaan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., sebagai Ketua JKKI. Laksono membuka acara dengan menekankan pentingnya basis bukti atau evidence dan keterampilan advokasi untuk mendukung proses penyusunan kebijakan. Sesi pembukaan diakhiri dengan pertanyaan,”Apakah diperlukan pemisahan profesi/peran sebagai advokator kebijakan dan analis kebijakan?”

VIDEO

Sesi Pemaparan

Acara dilanjutkan dengan paparan dari tiga narasumber. Sesi ini dimoderasi oleh Shita Listyadewi, MM, MPA selaku Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat PKMK. Narasumber pertama untuk sesi ini adalah Dr. dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Dumilah membawakan materi yang bertajuk “Interpretasi Data Kualitatif dan Kuantitatif untuk Analis Kebijakan”. Dumilah berargumen sebuah kebijakan membutuhkan basis bukti berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Lebih jauh lagi, evidence-based policy membutuhkan kompetensi teknis untuk mengintegrasikan pengalaman, pertimbangan, dan ekspertis dengan data yang tersedia untuk memastikan penyusunan kebijakan dilakukan secara objektif dan bukan sekadar berbasis opini.

Mengambil contoh kejadian di Stadion Kanjuruhan, Dumilah menunjukkan bahwa evidence diperlukan secara cepat dari berbagai sumber untuk memungkinkan respon kebijakan yang lebih cepat. Dumilah juga menggunakan contoh dinamika data vaksinasi, mobilitas, dan pertambahan jumlah kasus yang mempengaruhi rekomendasi-rekomendasi terkait kebijakan pencegahan dan respon COVID-19, seperti screening, testing, dan pembatasan perjalanan. Menutup pemaparannya, Dumilah menekankan bahwa profesi advokator sebaiknya tidak dipisahkan dari profesi analis kebijakan. Analisis menghasilkan luaran berupa rekomendasi. Supaya rekomendasi dapat termanfaatkan, diperlukan upaya persuasi atau dorongan atas perubahan. Oleh karena itu, seorang analis kebijakan memerlukan keterampilan untuk juga menjadi advokator kebijakan.

VIDEO   MATERI

Narasumber kedua adalah dr. Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D (cand), Dosen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK), Universitas Gadjah Mada (UGM). Likke memberikan pemaparan yang berjudul “Metode Realist Evaluation untuk Analis Kebijakan”. Likke menyampaikan bahwa realist evaluation (RE) merupakan pendekatan yang berbasis pada realisme, yakni penerimaan akan kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya dan merespon temuan-temuan tersebut.

RE memperhatikan aspek-aspek sosial yang berinteraksi dengan program atau kebijakan. Likke menutup paparannya dengan menekankan bahwa RE tidak berhenti pada kesimpulan “Ya” atau “Tidak”, melainkan juga menjelaskan konteks-konteks pada mana program atau kebijakan dianggap efektif atau tidak efektif.

VIDEO   MATERI

Narasumber ketiga yaitu Gabriel Lele, M.Si, Dr.Phil, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), UGM. Gabriel memberikan pemaparan “Teknik Advokasi Kebijakan untuk Analis Kebijakan”. Senada dengan paparan Dumilah, Gabriel menyampaikan bahwa peran advokator kebijakan tidak bisa dipisahkan dengan peran analis kebijakan. Gabriel mengatakan bahwa analis kebijakan perlu memposisikan dirinya sebagai “policy entrepreneur” supaya hasil-hasil kajian dapat ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan. Titik-titik advokasi dapat bervariasi, misalnya di fase agenda-setting, formulasi alternatif solusi, implementasi, dan evaluasi.

Gabriel menutup paparannya dengan menjelaskan langkah-langkah kunci advokasi yang terdiri atas penentuan masalah kebijakan, memahami lingkungan kebijakan, menentukan target audiens, menentukan target substantif, dan memilih strategi untuk mengatasi masalah. Selain itu, Gabriel juga menekankan bahwa strategi advokasi perlu mempertimbangkan pendekatan akademik-saintifik dan sosial-politik.

VIDEO   MATERI

Setelah pemaparan dari ketiga narasumber, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Sesi ini memunculkan wacana-wacana tentang pentingnya keberpihakan pada publik dalam penyusunan dan analisis kebijakan publik, sensitifitas atas ekologi kebijakan dalam pelaksanaan advokasi atau translasi hasil penelitian untuk penyusunan kebijakan, objektivitas dan independensi analis kebijakan, menginterpretasi hasil secara berimbang, serta penggunaan data yang akurat dan reliabel supaya rekomendasi dapat termanfaatkan, alih-alih terjadi garbage-in-garbage-out.

Presentasi Policy Brief

Setelah sesi pemaparan dan diskusi, acara dilanjutkan dengan presentasi policy brief yang dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Presentasi pertama dibawakan oleh Mandira Ajeng Rachmayanthy dengan topik “Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental Berbasis Telehealth”. Penggunaan fasilitas Telehealth diharapkan dapat menjembatani masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan mental. Telehealth yang berkembang pesat dapat menjangkau wilayah secara luas sehingga menjadi rekomendasi layanan kesehatan dengan mempertimbangkan aspek tata kelola, keuangan, pelayanan dan potensi bahayanya. Oleh karena itu diperlukan regulasi terkait sistem pelayanan kesehatan mental melalui Telehealth yang terintegrasi dengan sistem pemerintah pusat.

Presentasi kedua berjudul “Data Pelaporan dan Data Survei: Perlukah Dipertentangkan?”. Presentasi ini dibawakan oleh Luna Amalia, Meilinda, Melyana Lumbantoruan, Nirmala A. Ma’ruf, Novi Budianti, Nurul Puspasari, dan Syachroni. Data berperan penting sebagai penyusun informasi, baik di skala mikro hingga makro seperti dokumen evaluasi capaian pembangunan kesehatan. Data dari berbagai sumber seringkali dipertentangkan sebagai dualisme data dan informasi seperti pada data rutin dan data survei. Pada dasarnya, data pelaporan rutin dan data survei memiliki karakteristik yang berbeda dan memang tidak untuk dipertentangkan. Oleh karena itu, data pelaporan rutin sebaiknya dipergunakan sebagai bahan perencanaan dan penentuan prioritas program intervensi kesehatan. Sedangkan data survei sebagai bahan evaluasi dampak kinerja pembangunan kesehatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari persepsi adanya dualisme data.

VIDEO

Setelah pemaparan policy brief, acara selanjutnya adalah pembahasan oleh Farida Sibuea, SKM, M.Sc.PH. selaku Ketua Tim Kerja Analisis Data, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan dan dr. Monika Saraswati Sitepu, M.Sc selaku Ketua Tim Kerja Integrasi Pelayanan Primer Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. Farida menyatakan bahwa ada hal penting dalam Telehealth yaitu perlindungan data. Data kesehatan harus disimpan di dalam negeri dan bukan luar negeri karena hal ini telah diatur dalam undang-undang PP Nomor 71 Tahun 2019. Sedangkan terkait pelaporan data rutin, diperlukan penguatan data rutin karena akan mewakili apa yang ada di lapangan sehingga data rutin dapat mewakili data survei. Namun, beberapa indikator kesehatan tetap perlu dilakukan survei sebagai kontrol. Monika menambahkan bahwa layanan kesehatan mental masuk ke dalam pelayanan kesehatan minimal. Namun, dalam policy brief tersebut perlu ditambahkan pendeteksian masalah jiwa di layanan primer dan untuk mengoptimalkan Telehealth perlu didukung infrastruktur yang memadai. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas data rutin perlu dukungan pemerintah daerah yang dapat mendorong pemanfaatan data rutin dengan lebih baik.

VIDEO

Selanjutnya, Tri Muhartini, MPA menyimpulkan hasil diskusi pada kegiatan ini bahwa data rutin yang selalu diperbaharui dan data survei yang tersedia akan mendukung transformasi sistem kesehatan dan membantu dalam penyusunan analisis kebijakan. Materi dan detail kegiatan Fornas XII dapat diakses di https://fornas.kebijakankesehatanindonesia.net. Salam Sehat!

Reporter:
Monita Destiwi, MPA dan Mentari Widiastuti, MPH (Divisi Public Health, PKMK)