Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Upaya Pembenahan Sistem Kesehatan Indonesia

Bekerjasama dengan Indonesian Health Economics Association (InaHEA) dan Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (IEKI)

 

Efisiensi pembiayaan kesehatan menjadi elemen penting dalam upaya membuka akses kesehatan bagi semua (universal health coverage/UHC) serta fokus penguatan ketahanan sistem kesehatan di Indonesia, khususnya setelah pandemi melanda. Disrupsi sistem kesehatan rawan terjadi akibat belanja kesehatan yang bersifat darurat dan memiliki kecenderungan sulit dikontrol sehingga diperlukan adanya transformasi dalam pembiayaan kesehatan.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia dalam upayanya melakukan transformasi pembiayaan kesehatan bertujuan untuk memastikan pembiayaan yang cukup adil, efektif, dan efisien. Dalam hal ini Kemenkes menekankan lima bentuk transformasi, salah satunya ialah peningkatan layanan promotif preventif yang diimplementasikan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai gate keeper dalam pelayanan kesehatan esensial menjadi subjek penting dalam realisasi peningkatan layanan promotif preventif. Hal ini didukung dengan adanya konsolidasi pembiayaan kesehatan melalui insentif berbasis kinerja dimana kinerja puskesmas dalam kegiatan skrining akan linier terhadap pemberian insentif. Tidak hanya puskesmas, klinik swasta juga didorong untuk melakukan upaya promotif preventif untuk memperluas cakupan pencegahan terhadap penyakit menular maupun tidak menular yang bersifat katastropik. Selain itu, dari  fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) swasta yang selama ini sudah menjadi mitra BPJS Kesehatan juga telah diterapkan pembiayaan berupa kapitasi berbasis kinerja. Berkaitan dengan program kesehatan esensial , saat ini pun pemerintah sedang melakukan skema uji coba belanja kesehatan strategis pada program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di daerah terpilih sebagai upaya efisiensi pembiayaan untuk meningkatkan mutu layanan KIA.

Rangkaian upaya dan kegiatan yang menjadi bagian transformasi pembiayaan kesehatan di FKTP tentunya perlu dikaji lebih lanjut untuk memahami sustainabilitas serta peluang perbaikan di masa mendatang. Oleh karenanya, Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (IEKI) dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) menyelenggarakan diskusi publik  “Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Upaya Pembenahan Sistem Kesehatan Indonesia”  dengan menghadirkan para pakar di bidang ekonomi kesehatan dan pemangku kepentingan terkait.  Melalui forum ini diharapkan agar upaya transformasi pembiayaan layanan khususnya di FKTP dapat berkembang, berkelanjutan, tepat guna, dan menjadi motor utama dalam penguatan ketahanan sistem kesehatan di Indonesia.

Diskusi topik Fornas 2022 dengan topik Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Upaya Pembenahan Sistem Kesehatan Indonesia ini bertujuan untuk  melakukan diskusi terkait:

  1. Transformasi pembiayaan layanan primer pada program promotif & preventif melalui potret belanja kesehatan daerah
  2. Implementasi Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Perluasan paket manfaat JKN melalui program skrining
  3. Transformasi Pembiayaan KIA melalui Sistem Pembayaran Belanja Kesehatan Strategis (BKS) pada layanan primer

Hari, tanggal               : Jumat, 21 Oktober 2022
Waktu                         : 08.00 – 11.30 WIB

08.00–08.30 WIB Sesi Policy Brief

  1. Penguatan layanan  Kesehatan Jiwa Komunitas dan Advokasi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) – Dewi Wulandari, S.Kep.,Ns.,M.Kes; Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc; Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N, DNSc.

VIDEO

  1. Pergeseran Paradigma Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) dalam Penyelenggaraan Posyandu – Desi Fitrianeti, SKM, Msi.

VIDEO

  1. Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer Sebagai Upaya Transformasi Layanan Primer – Luci Fransisca Situmorang; Tyas Natasya Citrawati.

VIDEO

08.30 – 09.00 WIB Pembahasan policy brief

  1. Dra. Herawati, MA (Ketua Tim kerja perilaku ibu hamil, anak dan remaja. Direktorat promkes dan pemberdayaan masyarakat, Kementerian Kesehatan)
  2. Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A (Dosen Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial)

VIDEO

21 Oktober 2022

Sesi Presentasi Policy Brief

Forum Nasional (Fornas) XII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) pada hari kelima (21/10/2022) mengangkat topik “Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Upaya Pembenahan Sistem Kesehatan Indonesia”. Acara diawali dengan presentasi policy brief yang dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Presentasi pertama dibawakan oleh Dewi Wulandari, S. Kep. Ns. M.Kes mewakili tim (Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc; Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N, DNSc.).

Dewi membawakan topik “Penguatan layanan Kesehatan Jiwa Komunitas dan Advokasi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)”. Presentasi kedua disampaikan oleh Luci Fransisca Situmorang dan Tyas Natasya Citrawati dengan topik “Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer Sebagai Upaya Transformasi Layanan Primer”. Presentasi policy brief ditutup oleh Desi Fitrianeti, SKM, Msi yang membawakan topik “Pergeseran Paradigma Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) dalam Penyelenggaraan Posyandu”.

Acara diikuti dengan pembahasan dan tanggapan terhadap policy brief yang sudah dipresentasikan. Dra. Herawati, MA selaku Ketua Tim kerja perilaku ibu hamil, anak dan remaja, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, menanggapi baik policy brief yang sudah disampaikan. Herawati menyebutkan bahwa terdapat kendala dalam layanan kesehatan primer, seperti SDM dan sarana-prasarana. Oleh karena itu, transformasi layanan kesehatan primer menjadi isu penting dan sedang dijalankan oleh Kemenkes. Saat ini, langkah manajemen sudah ada dan regulasi sedang disusun bersama Kemendagri. Tanggapan berikutnya disampaikan oleh Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A selaku Dosen Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial, FK-KMK UGM. Retna menanggapi struktur penyampaian policy brief yang sudah cukup baik dari setiap pemateri. Retna menekankan pada penggunaan data. Data yang digunakan untuk membangun policy brief sudah cukup relevan, melihat memang beberapa data sulit untuk didapatkan. Retna memberikan masukkan-masukkan kepada setiap presentator untuk dapat menambahkan evidence dalam pembangunan policy brief.

 

Pembukaan dan Keynote Speech

Sesi ini dibuka oleh Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku Ketua JKKI. Laksono menekankan kembali topik Fornas kali ini mengenai transformasi layanan kesehatan primer yang berfokus pada manajemen pembiayaan. Indonesian Health Economics Association (InaHEA) dan Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) turut andil dalam topik kali ini.

VIDEO

 

 

Melanjutkan pembukaan dari Laksono, dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH, selaku Ketua IEKI, memberikan keynote speech untuk mengawali sesi pemaparan dan diskusi. Hasbullah menyebutkan bahwa konsep ekonomi kesehatan yang dimaksud mempunyai visi bahwa semua orang harus mendapatkan layanan kesehatan masyarakat tanpa harus mempertimbangkan status ekonominya (ekuitas kesehatan). Hal ini didukung dengan evidence untuk penentuan kebijakan yang menunjukkan efisiensi dan ekuitas. Layanan kesehatan primer sudah seharusnya menjadi prioritas dan perlu diperkuat sebagai salah satu sokoguru sistem kesehatan.

VIDEO

 

Sesi Pemaparan

Sesi pemaparan dan diskusi dimoderasi oleh Prastuti Soewondo, S.E., M.PH., Ph.D, selaku Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Paparan dimulai oleh dr. Ahmad Hasanudin, M.Kes., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Serang, dengan topik “Transformasi Pembiayaan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) melalui Sistem Pembayaran Belanja Kesehatan Strategis (BKS) pada Layanan Primer”. Ahmad menampilkan detail program fasilitas kesehatan yang berjalan di Serang dengan berfokus pada KIA. Kick-off meeting BKS KIA berlangsung pada 19 September 2022 dan periode pelaksanaan dimulai sejak Oktober ini. BKS KIA ini diberikan ke 17 klinik dan 8 puskesmas pengampu di 3 kecamatan, dari 6 kecamatan. Hasil akhir pembiayaan KIA melalui sistem pembayaran BKS pada layanan primer berupa terwujudnya pelayanan primer yang bermutu.

VIDEO

Paparan dilanjutkan oleh Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH, selaku Dewan Pengawas Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia/IEKI & Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dengan topik “Transformasi Pembiayaan Layanan Primer pada Program Promotif & Preventif melalui Potret Belanja Kesehatan Daerah”. Ascobat menjelaskan pencapaian kinerja kesehatan periode 2008, 2013, dan 2018. Ascobat juga menyampaikan bagaimana alokasi pembiayaan kegiatan puskesmas di lapangan. Fakta di lapangan mengarahkan pada diperlukannya transformasi pembiayaan. Ascobat menampilkan bagaimana postur APBD berdasarkan pengamatan beberapa kabupaten. Hal yang ditemukan adalah rata-rata belanja pegawai sangat besar, sehingga ruang fiskal menjadi sempit. Menutup pembahasan, Ascobat menyampaikan bahwa apapun jenis pembiayaannya, semua harus berdasarkan kinerja dan tujuan yang ingin dicapai.

VIDEO

Paparan terakhir disampaikan oleh dr. Yuli Farianti, M.Epid, selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan, Kemenkes RI, dengan topik “Implementasi Transformasi Pembiayaan Layanan Kesehatan Primer: Perluasan Paket Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Program Skrining”. Yuli memulai dengan menyampaikan report manfaat JKN melihat dari Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Pembiayaan katastropik meningkat periode 2014-2020. Pembiayaan ini menyerap 20% pembiayaan JKN setiap tahun. Potret penyakit dapat digunakan untuk menentukan fokus pemilihan skrining dalam pembiayaan JKN. Yuli menekankan bahwa perlu mencegah double budgeting dengan menentukan pembiayaan dari sumber yang ada. Yuli menambahkan bahwa diperlukan sinkronisasi visi misi pusat sampai daerah untuk mencapai harmonisasi anggaran pusat dan daerah. Sebagai penutup, kemitraan berupa kerja sama dengan swasta dan badan usaha dapat menguatkan layanan primer.

VIDEO

 

Sesi Pembahasan

Ketiga paparan tersebut ditanggapi oleh dr. Rahmad Asri Ritonga, selaku Asisten Deputi Bidang Pembiayaan Manfaat Kesehatan Primer, BPJS Kesehatan, dan Anastasia Susanto, selaku Health System Strenghtening Lead, USAID Indonesia. Rahmad menyampaikan bahwa terdapat 3 hal penting, yaitu pemenuhan kebutuhan SDM, sarana-prasarana (equity), dan FKTP bermutu dan berkualitas. Anastasia menambahkan bahwa banyak alur pembiayaan layanan kesehatan sehingga dibutuhkan untuk public financial management untuk mengurangi barriers dan mengoptimalkan dana yang ada.

VIDEO

Sebagai penutup, Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar, S.E., MEconSt., selaku Wakil Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia/IEKI, menyampaikan rangkuman sesi pemaparan dan diskusi. Sesi diskusi diakhiri oleh Prastuti yang menambahkan bahwa saat ini adalah momen untuk memerhatikan preventif promotif sebagai upaya penguatan layanan kesehatan primer, khususnya untuk KIA melalui BKS, berupa program pengurangan kematian ibu dan bayi yang menjadi tugas besar.

VIDEO

Reporter: Sensa Gudya Sauma Syahra
Data Manager Digital Data Corner, PKMK UGM

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Policy Brief Terpilih Forum Nasional XII

*Seluruh peserta/penulis call policy brief yang terpilih wajib untuk menghadiri sesi penayangan video untuk dibahas bersama pemangku kepentingan.
*Video presentasi harus dapat menjelaskan isi policy brief: masalah dan rekomendasi. Durasi maksimal video 10 menit dan dikirimkan paling lambat 4 Oktober 2022.

Dari proses submit yang telah dilakukan pada Juli – September 2022, maka panitia Fornas 2022 bersama beberapa peneliti PKMK FK-KMK UGM menetapkan beberapa policy brief yang terpilih untuk video presentasinya di tayangkan dan dibahas bersama pemangku kepentingan, yaitu:

Judul Policy Brief Nama Penulis Waktu Penayangan Video*
Defisit Pembiayaan JKN-KIS: Ancaman dan Peluang untuk Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional Dara Puspita, Rahayu Titis, Mefi Raviqa, Dewa Ngakan Gde Wahyu Mahatma Putra Selasa, 18 Oktober 2022
Pukul 10.45 – 12.00 WIB
Inovasi Pembiayaan Kesehatan untuk Keberlanjutan Layanan Pengobatan Kanker – Adiatma Y. M. Siregar, Chriswardani Suryawati, Mutia A. Sayekti, Donda R.V. Hutagalung, Eka Pujiyanti, Indah P. Suwandi, Sri R. Novita, Irvan J. Prasetyo
Keamanan Data Kesehatan: Tantangan dan Rekomendasi Arah Pengambangan Lutfan Lazuardi, Bagas Suryo Bintoro, Zakiya Ammalia Farahdilla Rabu, 19 Oktober 2022
Pukul 11.20 – 12.45 WIB
Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental Berbasis Telehealth Mandira Ajeng, Rachmayanthy
Data Pelaporan dan Data Survei: Perlukah Dipertentangkan? Luna Amalia, Meilinda, Melyana Lumbantoruan, Nirmala A. Ma’ruf, Novi Budianti, Nurul Puspasari, Syachroni
Strategi Pengembangan Bahan Baku Obat (BBO) Dalam Negeri Pusat Kebijakan Kesehatan Global dan Teknologi Kesehatan, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kamis, 20 Oktober 2022
Pukul 12.00 – 13.20 WIB
Meningkatkan Ketahanan Sektor Farmasi dan Alat Kesehatan melalui Kolaborasi Riset dan Inovasi antara Industri, Peneliti dan Pemerintah Rolando Gultom
Optimalisasi Metode Riset Dalam Pengukuran Kualitas Obat Yusi Anggriani, Yunita Nugrahani, Ayu Rahmawati, Jenny Pontoan, Stanley Saputra
Penguatan layanan  Kesehatan Jiwa Komunitas dan Advokasi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Dewi Wulandari, S.Kep.,Ns.,M.Kes; Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc; Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N, DNSc. Jumat, 21 Oktober, 2022

Pukul 08.00 – 09.00 WIB

Pergeseran Paradigma Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) dalam Penyelenggaraan Posyandu Desi Fitrianeti, SKM, Msi.
Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer Sebagai Upaya Transformasi Layanan Primer Luci Fransisca
Rokok Elektronik: Baju Baru Bisnis Adiktif Indonesian Youth Council For Tobacco Control (IYCTC)
Strategi Penanganan Krisis Kesehatan di Kabupaten Badung Made Agus Sugianto Senin, 24 Oktober 2022

Pukul 08.00 – 09.00 WIB

 

Efektifkah Mengatasi Penyakit TBC Seperti Penanggulangan COVID-19 Sri Siswati
Kebijakan E-Rujukan Balik dari Rumah Sakit ke Puskesmas untuk Kesinambungan Layanan Kesehatan Asriadi Selasa, 25 Oktober 2022
Pukul 08.30 – 09.30 WIB

 

 

 

Penggunaan SPM Kesehatan sebagai Indikator Ketahanan Kesehatan pada Situasi Krisis Kesehatan di Daerah

diselenggarakan oleh:
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerja sama dengan POKJA Bencana FK-KMK UGM

  PENGANTAR

Dewasa ini bencana yang terjadi bukan hanya bencana alam, melainkan juga non-alam seperti wabah COVID-19. Kesiapan pusat layanan kesehatan masyarakat dituntut berpacu dengan kebutuhan yang belum pernah ada sebelumnya, kondisi ini diperparah dengan cukup tingginya angka kematian tenaga kesehatan karena terpapar virus COVID-19. Salah satu faktor yang dapat mencegah hal ini adalah tingginya pemahaman tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas akan standard pelayanan minimum bencana kesehatan. Kerena dengan jelas disebutkan bahwa setiap penduduk yang terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan penduduk yang tinggal di wilayah yang berpotensi bencana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar, dan pemda wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar bagi penduduk terdampak dan penduduk yang tinggal di wilayah yang berpotensi bencana. Fakta yang kita temui adalah meningkatnya frekuensi kejadian bencana, dan banyak Puskesmas tidak mampu bertahan ketika bencana terjadi karena standar pelayanan minimum yang belum optimal dijalankan. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya suatu penguatan sistem ketahanan dan standard pelayanan minimum pelayanan puskesmas oleh dinas kabupaten/kota dalam upaya mewujudkan puskesmas yang tanggap dan tangguh bencana serta sebagai indikasi bahwa sistem kesehatan di daerah terdampak bencana memiliki ketahanan.

Ketahanan kesehatan menjadi sangat penting dalam menghadapi berbagai tantangan dimasa mendatang. Merujuk pada Instruksi Presiden Nomor  Tahun 2019, secara umum ketahanan kesehatan dapat digambarkan sebagai kemampuan nasional dalam menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat dan/atau bencana non-alam akibat wabah penyakit, pandemi global, dan kedaruratan nuklis, biologi, dan kimia yang dapat berdampak nasional dan/atau global. Adanya pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa ketahanan kesehatan masih perlu ditingkatkan baik dari segi sistem kesehatan, fasilitas kesehatan maupun ketersediaan tenaga kesehatan. Salah satu aspek yang sering tidak diperhatikan saat pra-bencana maupun kedaruratan masyarakat adalah penyediaan dan pengelolaan logistik medis dalam menopang ketahanan kesehatan. Rangkaian seminar mengenai SPM kesehatan sebagai indikator ketahanan kesehatan pada situasi krisis kesehatan di daerah ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan upaya ketahanan kesehatan di saat yang di luar kewajaran yaitu situasi krisis kesehatan. Pada seminar ini akan dibahas bagaimana pengalaman terkait pemenuhan SPM kesehatan saat krisis, baik lesson learnt dan best practice termasuk kebijakan-kebijakan dalam menjaga ketahanan kesehatan khususnya selama penanganan bencana seperti alam maupun Covid-19 ataupun situasi bencana dan krisis kesehatan lainnya serta menggunakan SPM kesehatan kabupaten untuk mencapai SPM kesehatan propinsi.

  TUJUAN

  1. Mendokumentasikan lesson learnt dan best practice penggunaan SPM kesehatan kabupaten/kota dan propinsi  saat penanggulangan bencana
  2. Meningkatkan pemahaman peserta dalam menyiapkan program indikator SPM Kesehatan di daerah
  3. Mengidentifikasi perlunya pemahaman terhadap pengorganisasian pendekatan incident command system (ICS) dalam alur manajemen pemenuhan SPM Kesehatan

PROSES KEGIATAN

Kegiatan ini berlangsung dalam dua hari dimana beberapa narasumber akan menyampaikan materi atau bahas diskusi terkait topik kebijakan SPM kesehatan kabupaten/kota dan tools untuk menyiapkan SPM Kesehatan di daerah. Selanjutnya daerah akan mencoba melakukan perhitungan SPM kesehatan sesuai dengan risiko bencana dan krisis kesehatan yang mungkin dihadapi daerah. 

  PESERTA KEGIATAN

Seminar ini terbuka untuk umum. Diharapkan dari dinas kesehatan, puskesmas, pemerhati dan peneliti bidang bencana dan krisis kesehatan, epidemiolog, pengelola logistik medis di fasilitas kesehatan, relawan dan filantropis, ketahanan kesehatan, sistem kesehatan indonesia, serta praktisi dan mahasiswa pascasarjana kesehatan dapat terlibat dalam kegiatan ini.

OUTPUT KEGIATAN

Peserta memahami bagaimana pengalaman dinas kesehatan terkait penyusunan program, pemenuhan SPM kesehatan kabupaten/kota dan propinsi, lesson learnt dan best practice termasuk kebijakan-kebijakan dalam menjaga ketahanan kesehatan di garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat. Kemudian dari hasil diskusi seminar ada pembelajaran dan praktik rekomendasi yang mendukung perningkatan kebijakan ketahanan kesehatan kedepannya.

  WAKTU PELAKSANAAN

Hari, tanggal               : Senin & Kamis / 17 & 20 Oktober 2022
Waktu                         : 09.00 – 11.30 WIB

  AGENDA

WAKTU AGENDA NARASUMBER
SENIN, 17 OKTOBER 2022
09.00-09.05 WIB Pembukaan

Moderator:
Happy R Pangaribuan, MPH

09.05-09.20 WIB Pengantar Wakil Dekan Bidang Kerja Sama, Alumni, dan Pengabdian Masyarakat FK-KMK UGM

09.20-09.50 WIB

09.50–10.05 WIB

Penggunaan Indikator Program SPM Kesehatan saat Penanganan Bencana Erupsi Merapi di Dinas Kesehatan Lumajang.

Diskusi

Bidang Penyusunan Program Dinkes Lumajang

10.0–10.35 WIB
10.35–10.50 WIB

Penyusunan Program SPM Kesehatan di Puskesmas

Diskusi

Madelina Ariani, MPH
10.50–11.20 WIB Penugasan Perhitungan Indikator SPM di Puskesmas
11.20-11.30 WIB Arahan pertemuan 2 dan penutupan Moderator

 

WAKTU AGENDA NARASUMBER
KAMIS, 20 OKTOBER 2022
09.00 – 09.10 Pembukaan

Moderator:
Happy R Pangaribuan, MPH

09.10–09.40 WIB
09.40–09.55 WIB

Sinkronisasi Program SPM Kesehatan di Puskesmas dengan Program SPM Kesehatan saat Penanganan Krisis Kesehatan dan Bencana di Dinas Kesehatan

Diskusi

Gde Yulian Yogadhita, Apt, M.Epid
09.55 10.25 WIB Penugasan Perhitungan SPM kesehatan di Dinas Kesehatan

10.25–10.55 WIB
10.55–11.10 WIB

Pengorganisasian : alur manajemen pemenugan SPM Kesehatan di daerah

Diskusi

dr Bella Donna MKes
11.10 Penutupan Moderator

 

BIAYA KEPESERTAAN : GRATIS

REGISTRASI DARING

Kunjungi laman https://bencana-kesehatan.net

NARAHUBUNG

Hagung Putrasusila
(Kepersertaan)
Telp. 081326116064
E-mail : [email protected]

Gde Yulian Yogadhita
(informasi Konten)
Telp. 08175450684
E-mail [email protected]

 

 

 

Kebijakan Diabetes Melitus di Indonesia

Kondisi pandemi COVID-19 yang menyebabkan banyak gangguan terhadap pelayanan kesehatan dan dampak sosial ekonomi lainnya melahirkan suatu agenda kebijakan Kementerian Kesehatan untuk melakukan transformasi sistem kesehatan. Tujuan dari transformasi sistem kesehatan untuk meningkatkan efektivitas, akuntabilitas, dan pemerataan pelayanan kesehatan. Dampak atau outcome yang diharapkan dari transformasi terdiri dari: meningkatkan kesehatan  ibu, anak, keluarga  berencana dan  kesehatan reproduksi; mempercepat perbaikan  gizi masyarakat; memperbaiki  pengendalian penyakit; terciptanya Gerakan Masyarakat  Hidup Sehat (GERMAS); dan memperkuat sistem  kesehatan &  pengendalian obat dan  makanan. Untuk mencapai outcome tersebut, Kementerian Kesehatan merancang enam pilar transformasi yaitu: 1) pelayanan primer; 2) pelayanan rujukan; 3) sistem ketahanan kesehatan; 4) sistem pembiayaan kesehatan; 5) SDM kesehatan; dan 6) teknologi kesehatan (lihat gambar 1).

Mewujudkan transformasi sistem kesehatan, Kementerian Kesehatan membutuhkan berbagai dukungan dari pemangku kepentingan. Dukungan yang dibutuhkan khususnya terkait penyediaan evidence-based dan analisis kebijakan dalam melakukan transformasi agar dapat memperkuat enam pilar tersebut dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan yang akan datang. Salah satu tujuan penting yang ingin dicapai dari transformasi kesehatan adalah pengendalian penyakit. Di Indonesia, terdapat peningkatan beban biaya penyakit katastropik terhadap JKN. Dari tahun 2017 ke tahun 2018, terjadi peningkatan berturut – turut 26% (2017), 12% (2018), 15% (2019) dan turun -12% tahun 2020 karena situasi pandemi. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menggambarkan bahwa penyakit katastropik tahun 2020 menempati 25% – 31% dari total beban jaminan kesehatan. Pada tahun 2020, BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya sebesar Rp20,0 triliun atau 25% dari biaya klaim layanan kesehatan JKN-KIS. Beban jaminan kesehatan untuk penyakit katastropik secara nasional dapat dilihat pada Gambar 2.

Sebagian besar penyakit katastropik adalah penyakit tidak menular (PTM) yang memiliki faktor risiko metabolik, lingkungan, dan perilaku. PTM membutuhkan perawatan medis lama dan biaya tinggi, padahal kejadiannya dapat dicegah sejak dini melalui kegiatan promotif dan preventif di masyarakat. Diabetes melitus (DM) adalah penyakit katastropik yang komplikasinya dapat menyebabkan penyakit jantung, gagal ginjal, dan stroke yang berkontribusi tinggi terhadap klaim biaya kesehatan. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2018, prevalensi DM di Indonesia adalah 10,9% atau sekitar 20,4 juta orang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terjadi kenaikan jumlah pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada 2030. Prediksi ini ternyata terbukti dari laporan RISKESDAS yang menunjukkan adanya peningkatan prevalensi DM.

Diabetes melitus adalah penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah yang disertai kondisi penurunan produksi insulin dan/atau resistensi insulin dalam tubuh. Penyakit ini bersifat kronis dan akumulatif, sehingga banyak muncul pada usia lanjut. Penyakit ini juga menghasilkan berbagai tantangan baik dari tingkat prevensi, layanan primer, rujukan, hingga rehabilitatif akibat komplikasi-komplikasi yang mungkin ditimbulkan.  Keterlibatan berbagai pihak, mulai dari pemangku kebijakan, ahli dan klinisi, serta peneliti, dibutuhkan agar manajemen DM di Indonesia dapat ditangani dengan baik dan menurunkan beban kesehatan negara ini.

Tim Analisis Kebijakan FK-KMK UGM untuk Diabetes Melitus akan menyusun sebuah monograf untuk menilik kebijakan yang telah ada di Indonesia, membandingkan dengan situasi di lapangan, dan merumuskan usulan kebijakan untuk memperbaiki manajemen diabetes di Indonesia. Webinar ini hadir sebagai sarana untuk menunjukkan bagaimana mekanisme kajian dari kebijakan (analysis of policy) dan kajian untuk kebijakan (analysis for policy) dapat bergerak berdasarkan bukti ilmiah dan keilmuan klinisi ahli, supaya kebijakan yang hadir dapat selaras dengan kebutuhan dan pedoman tatalaksana yang ada.

  1. Akademisi (dosen dan mahasiswa), peneliti, dan analis kebijakan kesehatan di perguruan tinggi masing-masing provinsi
  2. Peneliti dan analis kebijakan kesehatan, organisasi profesi, dan organisasi non pemerintah
  3. Peneliti dan analis kebijakan kesehatan di lembaga pemerintah pusat dan daerah
  4. Pengambil keputusan bidang kesehatan dan terkait di pemerintah pusat dan daerah
  5. Pemerhati  dan pemangku kepentingan terkait lainnya di bidang kesehatan

Hari, tanggal               : Rabu, 26 Oktober 2022
Waktu                         : 08.45 – 12.45 WIB

PKMK-Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII topik kesembilan dengan judul “Kebijakan Diabetes Melitus di Indonesia” pada Rabu (26/10/2022). Forum nasional ini terselenggara atas kerja sama JKKI, PKMK UGM, mitra, Pokja Endokrin Metabolik FK-KMK UGM serta 11 universitas co-host.

Pengantar

Acara diawali dengan pengantar oleh dr. Vina Yanti Susanti, Sp.PD-KEMD, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Pokja Endokrin Metabolik, yang menyampaikan rangkuman Webinar Dialog Kebijakan Diabetes Melitus (DM) seri 1-9 yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada webinar-webinar sebelumnya, telah dibahas secara komprehensif berbagai analisis kebijakan DM mulai dari level pencegahan, layanan primer, hingga layanan rujukan, serta telah didiskusikan berbagai usulan untuk perbaikan kebijakan DM di masa mendatang. Vina menyimpulkan bahwa diperlukan suatu transformasi kebijakan yang mengedepankan pendekatan inovatif, integratif, dan memiliki kontinuitas yang komprehensif, serta memiliki impact yang dapat diukur dengan indikator-indikator tertentu.

 

Sesi I Analisis Kebijakan DM Tahun 2022 dan Usulan Kebijakan DM untuk Tahun 2023

Memasuki sesi pertama, Dr. Supriyati, S.Sos., M.Kes menyampaikan usulan kebijakan untuk pencegahan DM di Indonesia. Kebijakan dan program pencegahan DM sebaiknya berfokus pada perbaikan gaya hidup, misalnya dengan membangun kesadaran tentang potensi risiko DM; menanamkan gaya hidup sehat sejak dini; meningkatkan akses makanan sehat; dan menciptakan iklim yang mendorong aktivitas fisik di masyarakat. Supriyati mengusulkan tagline khusus sebagai bentuk promosi kesehatan untuk pencegahan DM, yaitu “Cegah DM dengan SAMPerin”.

Melanjutkan materi, dr. Vina Yanti Susanti, Sp.PD-KEMD, M.Sc., PhD menyampaikan usulan kebijakan DM dari segi klinis. Pasien yang terdiagnosis DM telah mengalami kerusakan sel beta pankreas sebesar 50%. Oleh sebab itu, Vina mengusulkan agar pencegahan DM sebaiknya dilakukan saat pasien masih dalam kondisi sehat melalui skrining DM. Selain itu, diperlukan juga kebijakan riset mengenai DM bagi individu dengan komorbiditas, agar dapat diberikan intervensi DM yang tepat sasaran.

Sebagai penutup materi sesi pertama, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD selaku Ketua JKKI mengajak audiens berdiskusi, apakah mungkin menerapkan prinsip-prinsip transformasi kesehatan untuk menahan laju pertumbuhan DM? Laksono mengusulkan penggunaan data lokal untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah dan masyarakat luas agar dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan DM yang baru. Untuk mendukung hal tersebut, perlu dibentuk suatu kelompok jaringan sosial yang memiliki visi mengurangi angka DM di kabupaten/kota.

Kegiatan dilanjutkan dengan tanggapan oleh pembahas dari lembaga penentu kebijakan, yaitu Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI.

 

Sesi II Konsep Jaringan Sosial dalam Pengendalian Penyakit

Pada sesi kedua, Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA membuka sesi dengan memaparkan tentang aksi-aksi masyarakat sipil dalam diabetes-related upstream policies. Terkait kebijakan pencegahan DM di level hulu, masyarakat dapat terlibat dalam membangun solidaritas ketika berhadapan dengan krisis penyakit, membangun kesadaran untuk menerapkan gaya hidup sehat, serta menjadi bagian dari komunitas kebijakan untuk pencegahan DM. Agar masyarakat sipil terpacu untuk mendorong terbentuknya kebijakan pencegahan DM, diperlukan sistem peringkat “kota layak kesehatan” di level nasional, sehingga masyarakat di setiap daerah akan berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik.

Selanjutnya, Amelia Maika, S.Sos., MA. MSc., PhD memaparkan tentang konsep jaringan sosial dalam pencegahan penyakit. Menurut Amelia, jaringan sosial memiliki potensi besar dalam upaya pencegahan penyakit DM, namun dibutuhkan kerja sama banyak pihak dan upaya yang sistematis dan komprehensif dalam membangun jaringan sosial, termasuk meningkatkan kualitas agen dalam jejaring tersebut.

Sebagai tanggapan untuk kedua materi narasumber, Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., PhD mengemukakan bahwa terdapat gap antara pengetahuan klinisi dan akademisi dengan pengetahuan masyarakat tentang DM, sehingga dengan adanya jaringan sosial maka dapat menjembatani gap tersebut.

 

Sesi III Diskusi: Bagaimana Melakukan Pengembangan Kebijakan DM di Indonesia?

Diskusi panel sesi ketiga dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Panelis pertama, Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes selaku Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan menyampaikan mengenai program pengelolaan DM yang sudah digagas oleh BPJS Kesehatan, yaitu Prolanis. Agar Prolanis dapat diakses seluruh masyarakat, BPJS telah melakukan inovasi dengan membentuk grup WhatsApp di level FKTP sehingga memudahkan pasien terhubung langsung dengan tenaga kesehatan. Selain itu, BPJS Kesehatan juga sedang mengembangkan telemedisin untuk memudahkan pemantauan pasien.

Selanjutnya, panelis kedua yakni dr. Raden Bowo Pramono, Sp.PD-KEMD sebagai perwakilan dari Pokja Endokrin Metabolik FK-KMK UGM turut menjelaskan upaya yang telah dilakukan Pokja Endokrin Metabolik untuk menekan prevalensi DM. Pokja tersebut telah memberikan pelatihan kepada puskesmas di wilayah DIY untuk melatih kader Posbindu guna mendeteksi dini penderita DM, sehingga apabila ditemukan kasus DM di Posbindu, maka pasien tersebut dapat langsung dirujuk ke puskesmas. Panelis terakhir, dr. Haryo Bismantara, MPH selaku perwakilan dari Academic Health System (AHS) UGM menyampaikan bahwa untuk ke depannya, kolaborasi AHS akan bersifat kewilayahan, dimana Fakultas Kedokteran/Rumah Sakit Pendidikan akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan dan penelitian kesehatan dengan menyesuaikan kondisi di masing-masing wilayah, termasuk untuk DM.

 

Reporter:
Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz (PKMK UGM)

 

 

 

Peran Analis Kebijakan dan Keterampilan yang Dibutuhkan: Penggunaan Data Sekunder Kesehatan dan Teknik Advokasi

Pembangunan kesehatan tidak dapat terlepas dari penggunaan data dan informasi kesehatan. Data kesehatan merupakan angka dan fakta kejadian berupa keterangan dan tanda – tanda, yang secara relatif belum bermakna bagi pembangunan kesehatan. Sedangkan informasi kesehatan merupakan data kesehatan yang sudah diolah dan diproses menjadi bentuk yang bermakna serta bernilai bagi pengetahuan dan pembangunan kesehatan.

Banyak data kesehatan diperoleh baik melalui survey, program surveilans, monitoring, maupun evaluasi yang secara rutin dilakukan oleh otoritas – otoritas kesehatan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Analisis data kesehatan tersebut memegang peranan krusial dalam mendukung proses perencanaan, penganggaran, pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, maupun perbaikan sistem kesehatan dengan didasarkan pada bukti.

Data juga merupakan bagian dari evidence untuk menjadi suatu dasar bukti dalam menyusun dan menetapkan suatu kebijakan melalui analisis. Hasil analisis dapat berupa Knowledge Translation Product (Produk Penerjemahan Pengetahuan) yang memiliki fungsi untuk mengisi gap antara pengetahuan dan kebutuhan praktik yang ditujukan kepada pengambil keputusan dan pemangku kepentingan. Untuk dapat menyampaikan hasil tersebut dibutuhkan strategi advokasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh analis kebijakan. Teknik advokasi ini menjadi penting, karena menjadi jembatan bagi produk penerjemahan pengetahuan yang berisikan usulan rekomendasi untuk masuk ke dalam proses kebijakan pemerintah.

Diskusi topik Fornas 2022 ini bertujuan untuk:

  1. Memahami bentuk dan manfaat dari data sekunder bagi analis kebijakan.
  2. Memahami teknik advokasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh analis kebijakan.

Hari, tanggal               : Rabu, 19 Oktober 2022
Waktu                         : 10.00 – 12.30 WIB

11.30 – 11.40 WIB Penayangan Video Policy Brief I

Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental Berbasis Telehealth - Mandira Ajeng Rachmayanthy

VIDEO

11.40 - 11.50 WIB Penayangan Video Policy Brief II

Data Pelaporan dan Data Survei: Perlukah Dipertentangkan? - Luna Amalia, Meilinda, Melyana Lumbantoruan, Nirmala A. Ma’ruf, Novi Budianti, Nurul Puspasari, Syachroni

VIDEO

11.50 - 12.10 WIB Pembahasan Policy Brief

  1. Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan
  2. Direktorat Tata Kelola Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan

VIDEO

Pembukaan

Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII pada hari ketiga (19/10/2022) mengangkat topik “Peran Analis Kebijakan dan Keterampilan yang Dibutuhkan: Penggunaan Data Sekunder Kesehatan dan Teknik Advokasi”. Acara yang dipandu oleh Mashita Inayah, S.Gz selaku master of ceremony (MC) ini dimulai dengan pembukaan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., sebagai Ketua JKKI. Laksono membuka acara dengan menekankan pentingnya basis bukti atau evidence dan keterampilan advokasi untuk mendukung proses penyusunan kebijakan. Sesi pembukaan diakhiri dengan pertanyaan,”Apakah diperlukan pemisahan profesi/peran sebagai advokator kebijakan dan analis kebijakan?”

VIDEO

Sesi Pemaparan

Acara dilanjutkan dengan paparan dari tiga narasumber. Sesi ini dimoderasi oleh Shita Listyadewi, MM, MPA selaku Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat PKMK. Narasumber pertama untuk sesi ini adalah Dr. dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Dumilah membawakan materi yang bertajuk “Interpretasi Data Kualitatif dan Kuantitatif untuk Analis Kebijakan”. Dumilah berargumen sebuah kebijakan membutuhkan basis bukti berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Lebih jauh lagi, evidence-based policy membutuhkan kompetensi teknis untuk mengintegrasikan pengalaman, pertimbangan, dan ekspertis dengan data yang tersedia untuk memastikan penyusunan kebijakan dilakukan secara objektif dan bukan sekadar berbasis opini.

Mengambil contoh kejadian di Stadion Kanjuruhan, Dumilah menunjukkan bahwa evidence diperlukan secara cepat dari berbagai sumber untuk memungkinkan respon kebijakan yang lebih cepat. Dumilah juga menggunakan contoh dinamika data vaksinasi, mobilitas, dan pertambahan jumlah kasus yang mempengaruhi rekomendasi-rekomendasi terkait kebijakan pencegahan dan respon COVID-19, seperti screening, testing, dan pembatasan perjalanan. Menutup pemaparannya, Dumilah menekankan bahwa profesi advokator sebaiknya tidak dipisahkan dari profesi analis kebijakan. Analisis menghasilkan luaran berupa rekomendasi. Supaya rekomendasi dapat termanfaatkan, diperlukan upaya persuasi atau dorongan atas perubahan. Oleh karena itu, seorang analis kebijakan memerlukan keterampilan untuk juga menjadi advokator kebijakan.

VIDEO   MATERI

Narasumber kedua adalah dr. Likke Prawidya Putri, MPH, Ph.D (cand), Dosen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK), Universitas Gadjah Mada (UGM). Likke memberikan pemaparan yang berjudul “Metode Realist Evaluation untuk Analis Kebijakan”. Likke menyampaikan bahwa realist evaluation (RE) merupakan pendekatan yang berbasis pada realisme, yakni penerimaan akan kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya dan merespon temuan-temuan tersebut.

RE memperhatikan aspek-aspek sosial yang berinteraksi dengan program atau kebijakan. Likke menutup paparannya dengan menekankan bahwa RE tidak berhenti pada kesimpulan “Ya” atau “Tidak”, melainkan juga menjelaskan konteks-konteks pada mana program atau kebijakan dianggap efektif atau tidak efektif.

VIDEO   MATERI

Narasumber ketiga yaitu Gabriel Lele, M.Si, Dr.Phil, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), UGM. Gabriel memberikan pemaparan “Teknik Advokasi Kebijakan untuk Analis Kebijakan”. Senada dengan paparan Dumilah, Gabriel menyampaikan bahwa peran advokator kebijakan tidak bisa dipisahkan dengan peran analis kebijakan. Gabriel mengatakan bahwa analis kebijakan perlu memposisikan dirinya sebagai “policy entrepreneur” supaya hasil-hasil kajian dapat ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan. Titik-titik advokasi dapat bervariasi, misalnya di fase agenda-setting, formulasi alternatif solusi, implementasi, dan evaluasi.

Gabriel menutup paparannya dengan menjelaskan langkah-langkah kunci advokasi yang terdiri atas penentuan masalah kebijakan, memahami lingkungan kebijakan, menentukan target audiens, menentukan target substantif, dan memilih strategi untuk mengatasi masalah. Selain itu, Gabriel juga menekankan bahwa strategi advokasi perlu mempertimbangkan pendekatan akademik-saintifik dan sosial-politik.

VIDEO   MATERI

Setelah pemaparan dari ketiga narasumber, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Sesi ini memunculkan wacana-wacana tentang pentingnya keberpihakan pada publik dalam penyusunan dan analisis kebijakan publik, sensitifitas atas ekologi kebijakan dalam pelaksanaan advokasi atau translasi hasil penelitian untuk penyusunan kebijakan, objektivitas dan independensi analis kebijakan, menginterpretasi hasil secara berimbang, serta penggunaan data yang akurat dan reliabel supaya rekomendasi dapat termanfaatkan, alih-alih terjadi garbage-in-garbage-out.

Presentasi Policy Brief

Setelah sesi pemaparan dan diskusi, acara dilanjutkan dengan presentasi policy brief yang dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Presentasi pertama dibawakan oleh Mandira Ajeng Rachmayanthy dengan topik “Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental Berbasis Telehealth”. Penggunaan fasilitas Telehealth diharapkan dapat menjembatani masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan mental. Telehealth yang berkembang pesat dapat menjangkau wilayah secara luas sehingga menjadi rekomendasi layanan kesehatan dengan mempertimbangkan aspek tata kelola, keuangan, pelayanan dan potensi bahayanya. Oleh karena itu diperlukan regulasi terkait sistem pelayanan kesehatan mental melalui Telehealth yang terintegrasi dengan sistem pemerintah pusat.

Presentasi kedua berjudul “Data Pelaporan dan Data Survei: Perlukah Dipertentangkan?”. Presentasi ini dibawakan oleh Luna Amalia, Meilinda, Melyana Lumbantoruan, Nirmala A. Ma’ruf, Novi Budianti, Nurul Puspasari, dan Syachroni. Data berperan penting sebagai penyusun informasi, baik di skala mikro hingga makro seperti dokumen evaluasi capaian pembangunan kesehatan. Data dari berbagai sumber seringkali dipertentangkan sebagai dualisme data dan informasi seperti pada data rutin dan data survei. Pada dasarnya, data pelaporan rutin dan data survei memiliki karakteristik yang berbeda dan memang tidak untuk dipertentangkan. Oleh karena itu, data pelaporan rutin sebaiknya dipergunakan sebagai bahan perencanaan dan penentuan prioritas program intervensi kesehatan. Sedangkan data survei sebagai bahan evaluasi dampak kinerja pembangunan kesehatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari persepsi adanya dualisme data.

VIDEO

Setelah pemaparan policy brief, acara selanjutnya adalah pembahasan oleh Farida Sibuea, SKM, M.Sc.PH. selaku Ketua Tim Kerja Analisis Data, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan dan dr. Monika Saraswati Sitepu, M.Sc selaku Ketua Tim Kerja Integrasi Pelayanan Primer Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. Farida menyatakan bahwa ada hal penting dalam Telehealth yaitu perlindungan data. Data kesehatan harus disimpan di dalam negeri dan bukan luar negeri karena hal ini telah diatur dalam undang-undang PP Nomor 71 Tahun 2019. Sedangkan terkait pelaporan data rutin, diperlukan penguatan data rutin karena akan mewakili apa yang ada di lapangan sehingga data rutin dapat mewakili data survei. Namun, beberapa indikator kesehatan tetap perlu dilakukan survei sebagai kontrol. Monika menambahkan bahwa layanan kesehatan mental masuk ke dalam pelayanan kesehatan minimal. Namun, dalam policy brief tersebut perlu ditambahkan pendeteksian masalah jiwa di layanan primer dan untuk mengoptimalkan Telehealth perlu didukung infrastruktur yang memadai. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas data rutin perlu dukungan pemerintah daerah yang dapat mendorong pemanfaatan data rutin dengan lebih baik.

VIDEO

Selanjutnya, Tri Muhartini, MPA menyimpulkan hasil diskusi pada kegiatan ini bahwa data rutin yang selalu diperbaharui dan data survei yang tersedia akan mendukung transformasi sistem kesehatan dan membantu dalam penyusunan analisis kebijakan. Materi dan detail kegiatan Fornas XII dapat diakses di https://fornas.kebijakankesehatanindonesia.net. Salam Sehat!

Reporter:
Monita Destiwi, MPA dan Mentari Widiastuti, MPH (Divisi Public Health, PKMK)

 

 

 

 

Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Saat Krisis Kesehatan dengan Digitalisasi Peta Respon

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK – KMK UGM), Pokja FK-KMK UGM dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) mengawal transformasi system Kesehatan di mana salah satunya adalah memperkuat ketahanan tanggap darurat Kesehatan. Ketahanan kesehatan menjadi sangat penting dalam menghadapi berbagai tantangan dimasa mendatang. Merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 4/2019, secara umum ketahanan kesehatan dapat digambarkan sebagai kemampuan ketahanan nasional dalam menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat dan/atau bencana non-alam akibat wabah penyakit, pandemi global, dan kedaruratan nuklis, biologi, dan kimia yang dapat berdampak nasional dan/atau global. Adanya pandemic Covid-19 menunjukkan bahwa ketahanan kesehatan masih perlu untuk ditingkatkan baik dari segi sistem kesehatan, fasilitas kesehatan maupun ketersediaan tenaga kesehatan. Salah satu aspek yang sering tidak diperhatikan saat pra-bencana maupun kedaruratan masyarakat adalah penyediaan dan pengelolaan surge capacity, yaitu kapasitas tenaga kesehatan dalam menopang ketahanan tanggap darurat kesehatan yang dalam pengelolaannya dibutuhkan penyusunan peta respon.

Seminar mengenai digitalisasi peta respon saat tanggap darurat krisis Kesehatan untuk meningkatkan akses layanan Kesehatan ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi dampak ketidaksiapan terhadap pemenuhan dan pengelolaan SDM Kesehatan saat penanggulangan bencana, tidak hanya pada ketidak efektivan dan ketidak efisien distribusi SDM Kesehatan yang berakibat kelangkaan di satu sisi dan overloaded di sisi yang lain, namun juga hilangnya nyawa masyarakat bahkan tenaga kesehatan karena kondisi tanggap darurat Kesehatan yang belum dapat dikatakan aman dan belum terpetakan. Pada seminar ini akan dibahas bagaimana pengalaman pengalaman terkait penyusunan peta respon, lesson learnt, best practice termasuk inovasi kebijakan-kebijakan dalam transformasi digitalisasi penyusunan peta respon sehingga dapat menjaga ketahanan tanggap darurat kesehatan.

Tujuan seminar ini adalah untuk mendiskusikan apa yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki dalam penyusunan peta respon yang dapat meningkatkan meningkatkan akses layanan Kesehatan sebagai penopang ketahanan tanggap darura kesehatan sebagai salah satu sendi penanggulangan bencana secara umum.

Seminar ini terbuka untuk umum.
Diharapkan pemerhati dan peneliti bidang bencana dan krisis kesehatan, epidemiolog, pengelola logistik medis di fasilitas kesehatan, relawan dan filantropis, ketahanan kesehatan, sistem kesehatan indonesia, serta praktisi dan mahasiswa pascasarjana kesehatan dapat terlibat dalam kegiatan ini.

Hari, tanggal               : Senin, 24 Oktober 2022
Waktu                         : 08.00 – 12.00 WIB

Sesi Penayangan Policy Brief
08.00 – 08.05 Moderator: apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid
08.05 – 08.25 Penayangan video policy brief

Strategi penanganan krisis kesehatan di Kabupaten Badung oleh Made Agus Sugianto

VIDEO

Efektifkah menangani penyakit TBC seperti penanggulangan Covid-19, oleh Sri Siswati

VIDEO

08.25 – 08.45 Pembahasan policy brief

VIDEO

Sesi Presentasi Policy Brief

Kegiatan ini diselenggarakan oleh PKMK UGM, Pokja Bencana FK-KMK UGM, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia beserta mitra dan 11 universitas co-host melalui Zoom Seminar dan Live Streaming. Rangkaian kegiatan dimoderatori oleh apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid. Sesi pertama diawali dengan pemutaran dua video policy brief berjudul “Strategi Penanganan Krisis Kesehatan di Kabupaten Badung” dan “Efektifkah Mengatasi Penyakit TBC seperti Penanggulangan COVID-19”.  Pada sesi diskusi policy brief, disampaikan bahwa kesiapsiagaan mitigasi bencana dan krisis kesehatan sangat penting disiapkan sejak dini artinya saat pra krisis kesehatan. dr Eko Medistianto, M.Epid selaku pembahas dari Pusat Krisis Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI menambahkan pada policy brief ada baiknya diidentifikasi juga jenis potensi lainnya yang dapat menyebabkan krisis kesehatan. Eko setuju dengan rekomendasi policy brief yang menyatakan sangat perlu dikembangkan sistem informasi surveilans berbentuk peta dan sangat disarankan sekali menyusun rencana kontigensi. Unsur pentahelix juga harus saling berkolaborasi dalam penangguangan krisis kesehatan.

Sesi Pemaparan

Sesi selanjutnya adalah seminar topik Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Saat Krisis Kesehatan dengan Digitalisasi Peta Respon yang dibuka oleh Sutono, S.Kp, M.Sc, M.Kep selaku ketua Pokja Bencana FK-KMK UGM. Pada sesi ini dipaparkan materi terkait : (1) Kebijakan Peta Respon Krisis Kesehatan oleh dr Eko Medistianto, M.EpidI; (2) Penyusunan Peta Respon saat bencana Gempa Mamuju oleh drg. Asran Masdy, SKG, MAP sebagai Kepala Dinas Provinsi Sulawesi Barat; (3) Penyusunan Peta Respon saat bencana Erupsi Semeru oleh dr. Bayu Wibowo IGN sebagai Kepala Dinas Kabupaten Lumajang; dan (4) Penggunaan Teknologi Informasi dalam Penyusunan Peta Respon Krisis Kesehatan oleh Setiaji, ST, M.Si sebagai Staf Ahli Menkes Bidang Teknologi Kesehatan Digital Transformation Office (DTO).

Pengalaman penyusunan peta respon di Sulawesi Barat, peta respon disusun satu hari setelah terjadi Gempa Sulawesi Barat. Dinas kesehatan langsung melakukan kajian cepat untuk menilai daerah mana saja yang terdampak gempa, bagaimana kejadian bencana berdampak pada fasilitas kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan yang masih bisa digunkanan dan kapasitas SDM yang siap bertugas menangani korban bencana.

Dari peta respon Dinas Kesehatan dapat mengetahui potensi, kapasitas, kesenjangan yang terjadi, tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan kebutuhan logistik. Hal tersebut juga dialami oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang saat penanganan Erupsi Gunung Semeru. Pada saat tanggap darurat, dinas kesehatan melakukan rapid health assessment untuk mengidentifikasi permasalahan kesehatan kemudian mengaktifkan klaster kesehatan / HEOC. Tim HEOC setiap hari rapat untuk upadate data bencana dan kebutuhan penanganan bencana. Saat itu tim HEOC didampingi dan dibantu oleh relawan FK-KMK UGM, Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten Lumajang serta MDMC. Salah satu kegiatan HEOC ini adalah penyusunan peta respon, sehingga semua pusat informasi tentang penyebaran relawan dapat dilihat pada pesta respon di HEOC.

Peta risiko dibuat pada saat pra krisis kesehatan yang memuat risiko bahaya, kerentanan dan kapasitas sehingga ada visualisasi yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pelaku manajemen darurat kesehatan menyusun peta respon di HEOC saat tanggap darurat bencana. Dalam rangka respon cepat dibutuhkan suatu peta yaitu peta respon. Artinya peta risiko dan peta respon berbeda, peta risiko disusun saat pra krisis kesehatan sementara peta respon saat krisis kesehatan (tanggap darurat bencana).

Teknologi akan menjadi kekuatan penunjang transformasi kesehatan. Tantanagan data kesehatan dan kebencanaan adalah data yang tidak terintegrasi dan terstandarisasi. Bisnis proses tata Kelola data kesehtaan dan kebencanaan masih belum sepenuhnya terdigitalisasi dengan baik. Harapannya command center di daerah dapat digabungkan dengan kirisis kesehatan sehingga data dan informasi yang dikeluarkan dapat sama dan terintergrasi. Dashboard satu data kesehatan menjadi harapan bersama, seluruh data yang terintegrasi dengan satu sehat ditampilkan dalam dashboard data kesehatan. Seluruh sistem terkait dashboard dan analisis data di Kemenkes menjadi satu di dalam Dashboard Satu Data Kesehatan.

 

Reportase : Happy R Pangaribuan, MPH
(Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM)

 

 

 

Pengembangan Layanan Unggulan Rumah Sakit & RS Khusus dalam merespons Transformasi Layanan Rujukan

Kementerian Kesehatan mencanangkan 6 Pilar Transformasi Sistem Kesehatan dimana hal ini merespon dari kejadian pandemi COVID-19 yang telah menyebabkan gangguan terhadap pelayanan kesehatan dan memiliki dampak sosial lainnya. Transformasi sistem kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas, akuntabilitas dan pemerataan pelayanan kesehatan. Salah satu pilar yang dicanangkan adalah Transformasi Layanan Rujukan, yaitu dengan perbaikan mekanisme rujukan dan peningkatan akses dan mutu layanan rumah sakit.

Terbitnya PP 47 tahun 2021  tentang penyelenggaraan bidang perumahsakitan yang merupakan turunan dari UU Ciptakerja, mengubah klasifikasi rumah sakit yang sebelumnya mengatur tentang tingkat pelayanan masing-masiing kelas rumah sakit, saat ini memberikan kebebasan kepada penyelenggara bidang perumahsakitan untuk menentukan pelayanan yang akan disediakan dan diunggulkan. Di lain sisi, penyelenggaraan layanan rujukan  harus memberikan kemudahan kepada penduduk Indonesia dalam mengakses pelayanan kesehatan dari sisi jarak maupun kualitas. Transformasi layanan rujukan ini, merupakan momentum bagi rumah sakit untuk melakukan tinjauan ulang dalam meyusun strategi pengembangan layanan sehingga dapat menjadi jembatan bagi keberhasilan transformasi layanan rujukan  dalam transformasi sistem kesehatan.  Fokus kementian kesehatan dalam transformasi layanan rujukan menitikberatkan kepada pengembangan layanan dalam menangani 9 penyakit prioritas, sehingga dari berbagai pihak memerlukan kontribusi dan sinergi sehingga fokus penanganan 9 penyakit prioritas ini dapat terlaksana dengan efektif.

  1. Meningkatkan pemahaman berbagai pihak mengenai pilar transformasi layanan rujukan yang dicanangkan kementrian kesehatan
  2. Mendorong rumah sakit agar lebih siap merespon transformasi layanan rujukan
  3. Mendorong rumah sakit untuk melakukan tijauan kembali rencana strategis pengembangan rumah sakit

  1. Rumah Sakit Jejaring Rujukan JKN
  2. Dinas Kesehatan Provinsi & Kabupaten/Kota
  3. Pusat penelitian kesehatan
  4. Asosiasi profesi kesehatan
  5. Asosiasi pelayanan kesehatan
  6. Mahasiswa S2 dan S3 kebijakan kesehatan masyarakat

Hari, tanggal               : Selasa, 25 Oktober 2022
Waktu                         : 08.00 – 12.00 WIB

Sesi I: Presentasi Policy Brief
08.35 – 09.00 WIB 
  • Presentasi Policy Brief
    Kebijakan E-Rujukan Balik dari Rumah Sakit ke Puskesmas untuk Kesinambungan Layanan Kesehatan - Asriadi

VIDEO

  • Pembahasan Policy Brief
    Dr. dr. Youth Savitri, MARS

VIDEO

Kegiatan forum nasional XII hari ini memasuki topik ke-8 dengan judul Pengembangan Layanan Unggulan Rumah Sakit dan RS Khusus dalam Merespons Transformasi Layanan Rujukan yang diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM bekerja sama dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, mitra dan 11 universitas co-host melalui zoom meeting dan live streaming.

Pembukaan

Rangkaian kegiatan diawali dengan pembukaan yang disampaikan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes, MAS selaku direktur PKMK FK-KMK UGM. Andreasta menyampaikan bahwa transformasi kesehatan yang telah dilaksanakan Kementerian Kesehatan dengan seluruh jajaran di daerah bermuara pada pelayanan kesehatan. Dalam pengembangan layanan unggulan membutuhkan kajian-kajian agar dapat mewujudkan harapan-harapan masyarakat dalam transformasi layanan kesehatan.

VIDEO

 

Sesi I: Presentasi Policy Brief

Kegiatan presentasi policy brief dimoderatori oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, M.Kes selaku Kepala Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK FK-KMK UGM. Pada sesi ini, terdapat satu policy brief terpilih yaitu Kebijakan E-Rujukan Balik dari Rumah Sakit ke Puskesmas untuk Kesinambungan Layanan Kesehatan oleh Asriadi. Setelah sesi penayangan video presentasi policy brief, dilanjutkan dengan sesi pembahasan yang disampaikan oleh Dr. dr. Youth Savitri, MARS selaku Kasubdit Pengelolaan Rujukan dan Pemantauan Evaluasi RS, Kementerian Kesehatan RI. Youth menyampaikan bahwa proses rujuk balik dari rumah sakit ke layanan primer seperti puskesmas masih terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi salah satunya adalah kemampuan puskesmas dalam memberikan obat maupun tindakan seperti yang pasien dapatkan saat di rumah sakit.

VIDEO

Sesi pembahasan kedua disampaikan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, MKes, MAS selaku direktur PKMK FK-KMK UGM. Andreasta menyampaikan bahwa dalam proses layanan rujukan pasien merupakan milik sistem, sehingga semua layanan kesehatan akan berusaha yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan serta kenyamanan pasien. Andreasta juga menambahkan bahwa sistem e-rujukan membutuhkan infrastruktur, sehingga hal tersebut menjadi tantangan di beberapa tempat tertentu.

Sesi II: Peran Dinas Kesehatan Provinsi dalam Mendukung Transformasi Layanan Rujukan

Sesi II pada webinar hari ini disampaikan oleh drg. Yuli Kusumastuti Iswandi Putri, M.Kes selaku Kabid Yankes Dinkes Provinsi DIY yang membahas mengenai Peran Dinas Kesehatan Provinsi dalam Mendukung Transformasi Layanan Rujukan. Yuli menyampaikan bahwa pada 2024 terdapat 4 penyakit katastropik yang akan lebih difokuskan yaitu penyakit kanker, jantung, stroke, dan uro-nefrologi. Kemudian dinas kesehatan memetakan rumah sakit dan puskesmas dalam strata dasar, madya, utama, dan paripurna. Berdasarkan ketetapan kementrian kesehatan, strata paripurna akan dilakukan oleh rumah sakit vertikal. Di DIY rumah sakit vertikal yang dimaksud adalah RSUP Dr. Sardjito. Yuli juga menjelaskan bahwa akan mendorong beberapa rumah sakit berdasarkan hasil self assessment terkait kesiapan dan kemampuan melakukan layanan prioritas. Untuk layanan jantung akan berada di RSUD Kota Jogja dengan strata madya. Layanan uro-nefrologi akan berada di RSUD Panembahan Senopati dengan strata madya. Pada RSUD Wates akan memberikan layanan stroke dalam strata utama. Sedangkan pada RSUD Sleman akan memberikan layanan kanker dalam strata utama.

VIDEO   MATERI

Sesi III: Peran RS Pusat dalam mendukung Transformasi Layanan Rujukan

Kegiatan pada ini dimoderatori oleh M.Faozi Kurniawan, MPH selaku Peneliti PKMK FK-KMK UGM. Pada sesi III paparan materi disampaikan oleh Dr. dr. Sri Mulatsih, Sp.A(K)., MPH selaku Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan dan Penunjang RSUP Dr. Sardjito dengan judul Peran RS Pusat dalam mendukung transformasi layanan rujukan. Sri menyampaikan bahwa sistem rujukan yang efektif dapat terjalin dengan baik apabila terdapat hubungan yang erat diantara semua tingkat perawatan kesehatan, individu menerima perawatan terbaik, terdapat sistem rujukan yang mampu menjadi indikator kinerja keseluruhan sistem kesehatan dan mencerimnkan kemampuan pemerintah untuk mengelola semua subsistem dan aktor yang terlibat dalam proses rujukan.

Sri juga menyampaikan bahwa dalam transformasi layanan rujukan terdapat beberapa kegiatan prioritas yaitu pemenuhan sarana prasarana, alkes, obat, dan BMHP; Penguatan tatakelola manajemen dan pelayanan spesialistik; serta penguatan mutu RS, layanan unggulan, dan pengembangan layanan lainnya. Sri juga memparkan tugas RSUP Dr. Sarjito pada transformasi layanan rujukan ini yaitu pengampu RS regional di wilayahnya; rujuk balik; pengembangan layanan unggulan subspesialistik; penyusunan SPO rujukan, penyiapan SDM, sarana prasarana, dan sistem informasi; pengembangan HTA terutama produk dalam negri; dan penerapan HBL.

VIDEO   MATERI

Di akhir sesi, terdapat pertanyaan yaitu “Bagaimana strategi untuk daerah-daerah dengan hambatan finansial dalam membangun sistem SisRUTE hospital?” Sri menjawab beberapa kegiatan perlu dimodifikasi untuk memangkas biaya seperti self assessment yang biasanya dilakukan dengan berkunjung secara langsung diubah menjadi pertemuan jarak jauh. Kemudian untuk program, tergantung dari pihak rumah sakit yang menetukan terkait program apa yang akan dikembangkan, sehingga dapat menyusun skala prioritas. Terkait anggaran biaya, kebijakan tetap berada di pihak rumah sakit, namun rumah sakit atau pemda dapat mengajukan keringanan dalam hal tertentu sehingga hal tersebut dapat didiskusikan lebih lanjut di luar kebijakan rumah sakit.

VIDEO

 

Reporter:
Annisa Leny Saraswati, S.Kep
Divisi Manajemen Rumah Sakit, PKMK UGM

 

 

 

 

Kebijakan Industri Farmasi, Alat Kesehatan, dan Fitofarmaka di Indonesia: Tantangan untuk Meningkatkan Ketahanan

Di dalam RPJMN 2020-2024 ada situasi kekawatiran akan deindustrialisasi di Indonesia. Oleh karena itu di dalam RPJMN 2020-2024 pemerintah Indonesia bertekad melakukan akselerasi industri. Akselerasi Industri mencakup: (1) industri pengolahan hulu agro, kimia dan logam; dan (2) industri pengolahan yang memiliki kontribusi nilai tambah dan daya saing yang tinggi. Kelompok ke dua ini mencakup: industry makanan minuman, farmasi dan alat kesehatan, alat transportasi termasuk yang berbahan bakar listrik, elektrikal dan elektronik, mesin dan peralatan, tekstil dan produk tekstil, dan alas kaki. Industri farmasi mencakup: obat Kimiawi, obat Herbal, Vaksin, dan obat Biotech. Industri Alat Kesehatan terdiri atas 11 Bahan Baku yang berbeda- beda. Besaran ekonomi Sektor Industri obat dan Alat Kesehatan relative masih belum tinggi. Obat (non Jamu) sekitar Rp 80 Triliun, Jamu sekitar Rp 20 Triliun, Dalam hal ini penjualan fitofarmaka masih sangat rendah yang belum tercatat secara baik. Alat Kesehatan sekitar Rp 43 Triliun.

Ekosistem Industri obat dan Alat Kesehatan 

Industri obat dan alat Kesehatan mempunyai ciri yang sangat kuat dalam menjamin keselamatanan pengguna industry. Oleh karena itu ekosistem Industri Farmasi-ALkes mempunyai system regulasi yang sangat kuat. Ada pihak regulator yang berusaha menjamin mutu dan keselamatan produk farmas. Ekosistem terdiri atas: Pihak Regulator yaitu di industri Farmasi: oleh BPOM dan di industri Alat kesehatan oleh Kementerian Kesehatan. Disamping kebijakan keselamatan dan mutu produk, industry farmasi dan alkes memnpunyai kebijakan penggunakan produk dalam negeri yang diatur oleh kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan TKDN ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian. Operator-operator dalam industry Farmasi sangat banyak mulai dari importir industri farmasi: IPMG, gabungan pabrik dalam negeri di GP Farmasi, GP Jamu, kelompok distributor, retail/apotik sampai ke pelayanan Kesehatan. Operator Alat Kesehatan juga mirip. Ada yang berkumpul di Gakeslab, APAKSI, dan berbagai perusahaan lainnya. Pendana industry obat antara lain: BPJS, pemerintah pusat dan daerah, dan masyarakat yang membeli langsung. Peneliti dan Inventor: BRIN, Kemendikbud-riset, Industri. Juga ada kelompok-kelompok profesi dan pengguna di masyarakat. Secara proses produksi, industri obat dan alkes sangat panjang. Industri obat dari hulu ke hilir dapat digambarkan sebagai berikut:

Berdasarkan pengalaman saat Covid19,  aspek ketahanan Industri Obat dan Alkes menjadi hal strategis namun masih menghadapi tantangan berat. Walaupun usaha penggunaan produk local sudah dipicu sejak tahun 2009, situasi saat ini untuk Farmasi dan Alat Kesehatan masih dikuasai oleh industri asing, dari hulu sampai hilir. Kandungan local dalam produksi obat dan alat Kesehatan masih rendah. Oleh karena itu disamping kebijakan ijin edar oleh BPOM (obat) dan Kemenkes (untuk alkes), pemerintah melakukan Kebijakan TKDN yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian dan berbagai kebijakan terkait dengan penjualan-pembelian. Kebijakan TKDN merupakan instrumen kunci untuk kemandirian Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Didukung oleh Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 yang menyatakan minimal 40%. Saat ini sudah ada formulasi TKDN untuk industry farmasi, namun belum ada yang khusus untuk Alkes.

Melihat pengalaman sektor lain yang menggunakan TKDN sebagai milestone diharapkan produk-produk sediaan farmasi diberi target TKDN sebagai pemicu oleh pemerintah, dimana kegiatan ditangani sebagai Proyek Pengembangan dengan indikator TKDN. Dengan target TKDN, diharapkan ada percepatan Penelitian sediaan farmasi di berbagai komponen proses. Akan tetapi TKDN sebagai target pengembangan masih belum cepat untuk meningkatkan ketahanan industry khususnya alkes. Oleh karena itu ada Kebijakan Procurement dalam bentuk E-Catalog dengan Kebijakan Freezing dan unfreezing yang diprakarsi oleh Kementerian Koordiantor Maritim dan Investasi. Di tahun 2022 kebijakan lebih ketat untuk pembelian produk dalam negeri dilakukan dengan dasar Inpres 2/2022. Dalam Inpres ini Menteri Kesehatan diperintah untuk:

  1. Menyederhanakan persyaratan dan mempercepat proses penerbitan perizinan berusaha produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi;
  2. mempercepat penayangan katalog sektor kesehatan (sediaan farmasi dan alat kesehatan) produk dalam negeri; dan
  3. memperbarui kebijakan dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.

Kebijakan ini mungkin berhasil dan mungkin gagal. Namun saat ini nada kebijakan sudah berubah dari himbauan (Persuasi) ke nada-nada memaksa. BPKP, Irjen akan memeriksa pembelian alat Kesehatan dan obat oleh organisasi pelayanan Kesehatan pemerintah yang terkena Inpres. Kondite direksi akan dinilai. Bagaimana ke depannya? Apakah Kebijakan Inpres 2 tahun 2022, yang didahului berbagai kebijakan lain akan berhasil? Sangat tergantung pada kualitas monitoring kebijakan ini. Yang diharapkan adalah Kinerja Pembelian Alat Kesehatan

dan BMHP dalam negeri dipantau dengan ketat. Penggunaan akan dapat dilihat per RS, dengan klasemen Kelas A/B/C/D, akan dapat dilihat per produk kegiatan, dan akan dapat dilihat setiap saat. Oleh karena itu data pemantauan dapat menjadi bahan keputusan misalnya: penetapan DAK di tahun depan, kondite direksi, dan berbagai tindakan lainnya.

  1. Akademisi (Dosen dan mahasiswa), peneliti dan analis kebijakan kesehatan di perguruan tinggi masing-masing provinsi
  2. Peneliti dan analis kebijakan kesehatan di Think Tank, Organisasi Profesi, dan Organisasi non pemerintah
  3. Peneliti dan analis kebijakan kesehatan di lembaga pemerintah pusat dan daerah
  4. Pengambil keputusan bidang kesehatan dan terkait di pemerintah pusat dan daerah
  5. Pemerhati dan pemangku kepentingan terkait lainnya di bidang kesehatan

Hari, tanggal               : Kamis, 20 Oktober 2022
Waktu                         : 08.00 – 13.15 WIB

12.40-13.10 Presentasi Policy Brief

Strategi Pengembangan Bahan Baku Obat (BBO) Dalam Negeri
Pusat Kebijakan Kesehatan Global dan Teknologi Kesehatan, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan

VIDEO

Meningkatkan Ketahanan Sektor Farmasi dan Alat Kesehatan melalui Kolaborasi Riset dan Inovasi antara Industri, Peneliti dan Pemerintah - Rolando Gultom

VIDEO

Optimalisasi Metode Riset Dalam Pengukuran Kualitas Obat
Yusi Anggriani, Yunita Nugrahani, Ayu Rahmawati, Jenny Pontoan, Stanley Saputra

VIDEO

Pembahas: 

Direktorat Jenderal Kefarmasiaan dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan

20 Oktober 2022

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan pembukaan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-12 topik kelima dengan judul “Kebijakan Industri Farmasi, Alat Kesehatan, dan Fitofarmaka di Indonesia: Tantangan untuk Meningkatkan Ketahanan” pada Kamis (20/10/2022). Penyelenggaraan forum ini dilakukan oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, PKMK UGM dengan mitra InaHEA serta 11 universitas co-host.

Sambutan

Acara diawali dengan sambutan dari Dr. Dra. Lucia Rizka Andalucia, Apt, M.Pharm, MARS selaku Dirjen Farmalkes Kemenkes RI menyampaikan apresiasi atas terlaksananya acara ini, karena menambah minat praktisi yang memiliki keinginan terlibat dalam ketahanan industri obat dan alat kesehatan. Selama pandemi, terdapat banyak masalah dan kerapuhan yang terjadi pada berbagai produk obat dan alat kesehatan.

Kemenkes mengupayakan untuk terus mendorong pertumbuhan industri farmasi dan alat kesehatan, dengan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri dan menekan impor, dan akhirnya mencapai ketahanan industri. Selain peran Kemenkes, tentu diperlukan peran serta berbagai aktor mulai dari pelaku industri, peneliti, akademisi, dan pemangku kebijakan. Sinergi dari berbagai pihak tentu akan membantu percepatan proses teraihnya ketahanan. Rekomendasi yang bisa terbentuk dari acara ini juga dinantikan agar dapat membantu menyusun strategi langkah Kemenkes selanjutnya.

VIDEO

Pengantar Diskusi

Acara kedua adalah pendahuluan yang merupakan sesi diskusi panel yang difasilitasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Industri obat dan alkes adalah topik yang hangat untuk dibahas. Peningkatan penggunaan produk dalam negeri merupakan salah satu faktor ketahanan, tapi di sisi lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana sebuah negara dapat tahan terhadap goncangan (misalkan pada kondisi pandemi).

Pembukaan seminar menghadirkan 3 narasumber ahli dalam industri obat dan alat kesehatan, yakni Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG(K)-FER, MPH; Prof. Dr. Dra. Sri Suryawati, Apt; dan Dr. I Gede Made Wirabrata, S.Si., Apt., M.Kes., M.M., M.H. Prof. Budi menyatakan ketahanan industri obat dan alkes adalah keniscayaan dan harus dilakukan oleh Indonesia, yang memiliki target market yang strategis. Terdapat 3 hal yang sangat penting, antara lain; data, development, dan delivery. Surya melanjutkan dengan tanggapan terhadap peran kebijakan untuk industri farmasi. Saat ini, industri membutuhkan kebijakan untuk menyatukan stake holder supaya dapat mencapai tujuan bersama, yakni ketahanan. Penyusunan kebijakan yang menyatukan berbagai kepentingan diikuti dengan regulasi untuk produk terstandar harus segera dikerjakan. Namun, Surya juga optimis bahwa Indonesia dapat meraih ketahanan industri obat dan alkes. Di sisi lain, Wira, selaku Kepala BKPK Kemenkes, menyampaikan bahwa Kemenkes berupaya memetakan dari tahun ke tahun dan bagaimana melengkapi kekurangan yang ada baik dari segi logistik/data bahan baku, kebijakan dan regulasi, sampai pada tahap pengembangan dan distribusi.

VIDEO

Bagian I

Selepas sesi pendahuluan, dilanjutkan dengan sesi utama bagian I. Sesi ini dipandu oleh Dr. Rimawati, S.H., M.Hum. Narasumber pertama, yakni Drs. Pamian Siregar, M.B.A. selaku Dirut PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, menyampaikan bahwa menurut perspektif industri dalam ketahanan farmasi berdasarkan perhitungan ekonomi, penting sekali untuk mengamankan bahan baku obat. Setelah pandemi, hal ini menjadi lebih jelas lagi dan menjadi kunci bagi ketahanan industri farmasi.

VIDEO   MATERI

Narasumber kedua adalah Anda Waluyo Sapardan, yang merupakan CEO SEHATI dan TeleCTG, menyebutkan dalam mewujudkan ketahanan, diperlukan komitmen penuh dari semua pemangku kepentingan, khususnya kepastian penyerapan dan penggunaan produk oleh pemerintah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan kepastian regulasi, forum dialog lintas sektor, termasuk memasukkan unsur kepemilikan teknologi, dan pemberian sanksi bagi pelanggar pengguna produk alkes nasional.

VIDEO   MATERI

Narasumber terakhir dari sesi ini adalah Dr. Riza Noer Arfani, M.A., menjelaskan tentang tantangan perdagangan internasional setelah adanya TRIPs yang dicanangkan oleh WTO. Dua kunci agenda yang harus disiapkan, yakni terkait sustainabilitas dan replikabilitas. Pertama, perlu dilakukan peningkatan kapasitas pemangku kebijakan terkait dan pemerintahan di bawahnya dengan skema konsorsorium. Kedua, terkait replikabilitas, adalah melakukan replikasi sektor dan regional yang memiliki konteks mirip serta mengambil contoh terbaik mereka, dan memastikan pemerintah dapat mengadopsi, menginternalisasi, dan mengintegrasikan inisiatif kepada rencana pembangunan ke depan.

VIDEO

Bagian II

Room A: Fokus Industri Alat Kesehatan

Kegiatan dipandu oleh dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, M.Sc., Ph.D., Sp.A. Materi pertama disampaikan oleh Dr. Hargo Utomo, M.B.A selaku Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM. Menurut Hargo, kompetisi industri alat kesehatan nasional saat ini masih didominasi oleh produk asing. Untuk itu, diperlukan penguatan kapasitas industri alat kesehatan domestik untuk menyokong ketahanan industri kesehatan nasional dan meraih kepercayaan publik, terhadap produk-produk alat kesehatan dalam negeri untuk mendorong inovasi industri alat kesehatan di Indonesia. Roy Himawan, S.Farm., Apt., MKM selaku Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI melanjutkan dengan menyampaikan Kemenkes RI mengusung program prioritas untuk mewujudkan ketahanan industri alkes dalam negeri. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, terutama karena ekosistem industri bahan baku alat kesehatan belum siap untuk menunjang pengembangan industri alat kesehatan di Indonesia. Materi terakhir disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD. Sebagai penutup, kebijakan Inpres Nomor 2 Tahun 2022 terbit sebagai panduan menuju ketahanan sudah baik, namun saat ini masih berada dalam tahap awal pelaksanaan. Masih diperlukan kolaborasi lintas pihak agar dapat terwujud dan tentunya saling melengkapi kekurangan yang ada.

Room B: Fokus Industri Farmasi

Dalam forum dengan fokus industri farmasi yang dipandu oleh dr. Lukman Ade Chandra, M.Med., M.Phil. Pembicara pertama, Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes dari Universitas Pancasila, memaparkan hasil penelitian yang dilakukannya. Poin penting yang dihasilkan diantaranya; (1) sudah terjadi tier-system dalam obat-obatan, (2) Obat yang berada di luar Formularium Nasional, memiliki pangsa pasar tersendiri baik di dalam maupun luar negeri, (3) Hingga saat ini belum ada data besar dan konsisten terkait data volume dan value obat-obatan, serta (4) Belum tersedia sistem nasional untuk memantau pasar farmasi.

Selanjutnya, Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS selaku Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes menyampaikan saat ini Kemenkes sudah memiliki roadmap kemandirian industri farmasi. Selain itu, telah terdapat regulasi capaian TKDN Bahan Baku Aktif/API. Obat dengan TKDN BBO >52%, akan diprioritaskan tersedia di pasar. Kemenkes juga telah menyediakan formularium nasional dan etalase katalog sektoral untuk membantu penyedia layanan dan konsumen untuk memilih produk dalam negeri. Terakhir, Mahadi Margiono selaku Associate Director, Business Solution IQVIA menjelaskan industri farmasi di Indonesia memiliki grafik pertumbuhan stabil hingga pertengahan 2022, terutama ditunjang oleh kelompok obat etikal domestik dan dua gelombang COVID-19 dalam 12 bulan terakhir, meski pertumbuhannya tidak secepat Malaysia dan Singapura dalam hal persentase. Dari segi pasokan, pertumbuhan dalam kelompok obat etikal dipengaruhi oleh obat generik tak bermerk. Sedangkan dari segi permintaan, sektor RS sangat tergantung pada e-katalog sedangkan produk-produk non e-katalog ketersediaan dan permintaannya stabil di toko-toko obat.

Room C: Fokus Industri Herbal dan Fitofarmaka

Prof. I Ketut Adnyana, M.Si., Ph.D, Dekan Farmasi ITB mengawali diskusi dengan menyampaikan potensi pengembangan industri herbal di Indonesia yang menjanjikan. Upaya pengembangan industri herbal dan kesehatan tradisional bahkan menjadi salah satu fokus transformasi ekonomi di Provinsi Bali, seperti yang disampaikan Guru Besar FMIPA Universitas Udayana, Prof. apt. Dr.rer.nat I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si. Upaya tersebut dilakukan dengan penguatan industri obat tradisional; penguatan pelayanan kesehatan tradisional; dan penguatan Bali Mahosadhi (Balinese Wellness).

Dari sudut pandang praktisi, Dr. dr. Eti Nurwening Sholikhah, M.Kes, M.Med.Ed menjelaskan perlunya pemutakhiran kurikulum obat herbal yang saat ini masih dikembangkan mandiri oleh masing-masing institusi Fakultas Kedokteran dalam rangka meningkatkan penggunaan obat herbal di masyarakat. Ni Kadek Wrditiani, S.Farm, M.Sc. selaku moderator juga berpendapat diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak demi kemajuan industri obat herbal dan fitofarmaka di Indonesia.

Reporter: dr. Alif Indiralarasati (PKMK UGM)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengembangan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) Provinsi Bersama Perguruan Tinggi di Indonesia dalam Program Mitra DaSK

Pada  2019 Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM atas dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI) mengembangkan Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) yang berisikan: (1) Data yang terkait dengan indikator-indikator pembangunan kesehatan, beban penyakit, dan berbagai data lain termasuk penggunaan fasilitas kesehatan di sistem kesehatan Indonesia; dan (2) Berbagai penelitian kebijakan, analisis kebijakan, dan rekomendasi kebijakan berbasis data untuk berbagai masalah dan tantangan prioritas di sistem kesehatan.  DaSK berada di website www.kebijakankesehatanindonesia.net.

DaSK memiliki dua tingkatan yaitu Provinsi dan Nasional yang dikelola dan dikembangkan oleh PKMK FK-KMK UGM. Namun, untuk pengembangan DaSK provinsi membutuhkan keterlibatan perguruan tinggi yang berada di setiap provinsi Indonesia. DaSK provinsi sendiri menyediakan laman yang berisikan data sistem kesehatan tingkat provinsi dan dokumen penelitian kebijakan, analisis kebijakan, serta Policy Brief / Policy Memo. Ketersediaan DaSK Provinsi dapat membantu pengambil keputusan di daerah dan nasional dalam menetapkan kebijakan kesehatan dan transformasi sistem kesehatan yang berbasis bukti. Untuk itu, kehadiran perguruan tinggi yang berkomitmen mengelola dan mengembangkan DaSK Provinsi menjadi harapan untuk menjadi anggota program Mitra DaSK .

Tujuan Kick-off Mitra DaSK di Provinsi adalah mengajak perguruan tinggi untuk bersama-sama mengelola DaSK  dan menggunakan untuk:

  1. Menyediakan data sistem kesehatan provinsi yang terintegrasi dan terbaru untuk mendukung pengambilan keputusan tingkat nasional dan daerah;
  2. Meningkatkan kemampuan akademisi untuk memonitor dan mengevaluasi kebijakan Kesehatan nasional dan daerah, termasuk kebijakan Transformasi Kesehatan;
  3. Meningkatkan kemampuan akademisi untuk menulis artikel jurnal tentang kebijakan Kesehatan dan policy brief.

Hari, tanggal               : Selasa, 18 Oktober 2022
Waktu                         : 13.00 – 14.30 WIB

18 Oktober 2022

Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo menjelaskan universitas berperan mendorong berbagai rekomendasi berbasis data sekunder di level nasional dan provinsi. Hal ini berpotensi digunakan universitas lain sehingga utilitasnya dapat digunakan secara luas. Untuk kebijakan nasional dan daerah sehingga dapat melakukan monitoring aktif di daerah yang dilakukan pihak akademisi,peneliti dan student. Dalam melakukan monitoring aktif, dan di daerah yang dilakukan pihak akademik, peneliti, dan student. Utilisasinya masih belum maksimal pada data di Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Oleh karena itu munculnya dashboard DaSK.

VIDEO

 

Sensa Gudya Sauma Syahra menjelaskan Digital Data Corner (DDC) dilatarbelakangi biological/ medical information  menjadi big data terbesar, sumber data penelitian dan data sekunder semakin banyak di lingkup penelitian kesehatan serta perlu pengelolaan yang optimal untuk big data kesehatan. Produk dari DDC adalah website DaSK. DDC ini memiliki layanan data warehouse, pelatihan dan tutorial, serta konsultasi dan pendampingan. Data Visualization ini https://dashboard.digitaldatacorner.net/

VIDEO   MATERI

 

dr Lutfan Lazuardi, PhD menjelaskan banyak data kesehatan tersedia dan salah satu strateginya visualisasinya. Mengembangkan visualisasi dengan dashboard untuk memudahkan pemangku kebijakan dan peneliti untuk memvisualisasikan datanya. DaSK tersedia banyak data dan berkontribusi mendapatkan informasi dari universitas. Kita dapat berkolaborasi meningkatkan cakupan dan mutu bagi universitas. DaSK dimanfaatkan oleh peneliti, students dan akademisi.

VIDEO   MATERI

 

Tri Murhatini, MPA menjelaskan analisis kebijakan provinsi diharapkan berkolaborasi di universitas masing-masing provinsi sehingga dapat mengelola dashboard provinsi masing-masing. Tujuan mitra DaSK yaitu menyediakan data sistem kesehatan provinsi yang terintegrasi dan terbaru, meningkatkan kemampuan akademisi untuk melakukan riset kebijakan dalam konteks kebijakan kesehatan nasional dan daerah, serta meningkatkan kemampuan akademisi dalam menulis artikel.

VIDEO   MATERI

 

Reporter:
Ardhina Nugrahaeni, MPH (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

 

 

Bukti Baru dari Data Sampel BPJS Kesehatan: Pelayanan Penyakit Katastropik dan Transformasi Kesehatan

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK – KMK UGM) dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) secara berkelanjutan untuk memonitor keberlangsungan dan keadilan penyelenggaraan program JKN dan pencapaian Universal Health Coverage (UHC). Bukan hanya keadilan antar segmen peserta melainkan juga keadilan antar daerah.

Monitor program JKN yang dilakukan PKMK salah satunya dengan dengan memanfaatkan data sampel BPJS Kesehatan untuk menganalisis kondisi beban pembiayaan pelayanan kesehatan. Data tersebut di monitoring karena setiap tahunnya mengalami peningkatan dan menambah beban pembiayaan kesehatan. Pelayanan katastropik merupakan pelayanan yang paling banyak dimanfaatkan dalam dana JKN. Tahun 2017 ke tahun 2018 terjadi peningkatan berturut – turut 26% (2017), 12% (2018), 15% (2019) dan turun -12% tahun 2020 karena situasi pandemi. Data BPJS Kesehatan menggambarkan bahwa penyakit katastropik tahun 2020 menempati 25% – 31% dari total beban jaminan kesehatan. Beban jaminan kesehatan untuk penyakit katastropik secara nasional dapat dijelaskan dalam gambar 1.

Gambar 1. Beban Jaminan Kesehatan untuk Penyakit Katastropik (juta rupiah) dengan data sampel 1%.

Peningkatan beban pembiayaan pelayanan katastropik ini menjadi masalah karena keuangan negara (APBN) tidak memiliki sumber pendapatan yang masih terbatas. Selain itu, kondisi pandemi COVID-19 membuat pembiayaan kesehatan memiliki prioritas tambahan untuk penanganan wabah. Sementara sebelum pandemi COVID-19 pembiayaan kesehatan memiliki beban besar untuk penanganan defisi JKN. Kondisi kebutuhan untuk defisit JKN ini dapat kembali meningkat setelah pelayanan kesehatan di RS untuk pengobatan katastropik kembali normal.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk peningkatan beban pembiayaan dalam JKN. Upaya terbaru yang menjadi fokus pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan saat ini adalah transformasi sistem kesehatan untuk merespons berbagai tantangan masa depan. Terdapat enam pilar transformasi yang akan dilakukan, salah satunya pilar pembiayaan kesehatan untuk memastikan pembiayaan yang memadai, adil, efektif dan efisien. Transformasi tersebut akan dicapai melalui enam strategi, antara lain: 1) Akselerasi produksi National Health Account (NHA); 2) Menjaga kecukupan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); 3) Meningkatkan manfaat promotif preventif melalui JKN dan Standar Pelayanan Minimal; 4) Insentif berbasis kinerja; 5) Peningkatan Koordinasi Antar Penyelenggara Asuransi (JKN dan Asuransi Kesehatan Swasta); dan 6) Kajian Teknologi Kesehatan (HTA) (Kementerian Kesehatan, 2022). Untuk itu, PKMK FK-KMK UGM mengajak pengambil keputusan dan berbagai pemangku kepentingan berdiskusi dalam Forum Nasional ke-12 membahas kondisi pembiayaan pelayanan katastropik dalam JKN dan penanganan yang akan dilakukan melalui transformasi pembiayaan kesehatan.

  1. Memperkuat pelaksanaan JKN dengan memanfaatkan data sampel BPJS Kesehatan
  2. Mengidentifikasi ide kebijakan untuk penanganan beban pelayanan penyakit katastropik
  3. Mendukung transformasi kesehatan dalam pilar pembiayaan kesehatan

Hari, tanggal               : Selasa, 18 Oktober 2022
Waktu                         : 09:00 – 12:00 WIB

10.45 – 10.55 WIB Penayangan Video Policy Brief I

Defisit Pembiayaan JKN-KIS: Ancaman dan Peluang untuk Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional
(Dara Puspita, Rahayu Titis, Mefi Raviqa, Dewa Ngakan Gde Wahyu Mahatma Putra)

VIDEO

10.55 – 11.05 WIB Penayangan Video Policy Brief II

Inovasi Pembiayaan Kesehatan untuk Keberlanjutan Layanan Pengobatan Kanker
(Adiatma Y. M. Siregar, Chriswardani Suryawati, Mutia A. Sayekti, Donda R.V. Hutagalung, Eka Pujiyanti, Indah P. Suwandi, Sri R. Novita, Irvan J. Prasetyo)

VIDEO

11.05 – 11.30 WIB Pembahasan Policy Brief

  1. Mokhamad Cucu Zakaria - BPJS Kesehatan

VIDEO

Topik 2 pada forum nasional JKKI kali ini mengangkat tema bukti baru dari data sampel BPJS Kesehatan, khususnya pada pelayanan penyakit katastropik dan transformasi kesehatan. Diharapkan dengan memanfaatkan data sampel BPJS Kesehatan dapat menganalisis kondisi beban dalam pelayanan kesehatan, salah satunya menunjang dalam enam transformasi kesehatan yakni pembiayaan kesehatan dalam JKN. Forum Nasional JKKI hari Kedua dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro selaku Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang menyampaikan seluruh lapisan masyarakat sudah dijamin kesehatannya oleh negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, namun masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan keadilan dari pelayanan katastropik.

Bila melihat data sampel tahun 2015 - 2019 mengalami kenaikan besaran klaim, namun pada 2020 biaya klaim mengalami penurunan akibat terdapat pandemi COVID-19. Jika melihat lebih jauh, kenaikan klaim ini banyak terjadi di regional 1 bahkan meningkat tajam besaran klaimnya hingga 2019, dan berbanding terbalik di regional 4 dan 5 cenderung klaim paling rendah bahkan terlihat stagnan. Pada 2020, di seluruh regional biaya klaim menurun karena dampak pandemi COVID-19. Hal ini akan berdampak pada kebijakan untuk equity di daerah dimana salah satu faktor yang mempengaruhi yakni akses layanan. Akses layanan di Jawa dan luar Jawa sudah terlihat perbedaan demografinya. Untuk mengatasi kesenjangan ini, diperlukan peninjauan kembali kebijakan kesehatan yang berlaku saat ini (transformasi kesehatan, khususnya pilar rujukan dan pembiayaan) termasuk meninjau akar penyebab variasi beban penyakit antar provinsi serta memperkuat program dan kebijakan yang bertujuan mengurangi kesenjangan di seluruh Indonesia.

VIDEO   MATERI

Keynote Speech

Pada sesi ini menghadirkan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD, AAK selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan menyampaikan banyak tantangan dari keadilan, ketersediaan, aksesibilitas, demikian juga mutu proteksi penyakit katastropik sehingga BPJS Kesehatan berfokus dalam preventif-promotif, termasuk screening karena hampir seluruh penyakit katastropik mengalami tren rebound kecuali gagal ginjal.

Hal ini juga ditambah dari perubahan pandemi ke endemi, BPJS Kesehatan ikut terlibat dalam upaya mengendalikan fenomena “rebound” berupa kolaborasi dengan pemangku kepentingan dengan collaborative research, join innovation, publication, policy formulation, dan capacity building termasuk BPJS Kesehatan memiliki program goes to campus, bukan hanya kampus dalam negeri melainkan kampus luar negeri. BPJS Kesehatan berharap melalui upaya ini dapat meningkatkan efektivitas penyusunan dan rekomendasi kebijakan JKN, mendukung perbaikan program JKN (Evidence-Based Policymaking) melalui inovasi berkelanjutan, serta BPJS Kesehatan terbuka melakukan kerja sama dan berkolaborasi dalam pengembangan dan pengolahan analisis data untuk menunjang program JKN.

VIDEO

Sesi Pemaparan

Narasumber pertama, M. Faozi Kurniawan, MPH selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa pada 2019-2021 berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan mengalami peningkatan peserta, khususnya pada regional 1 yang lebih tinggi dan peningkatan ini juga sejalan dengan memadainya fasilitas dan SDM Kesehatan (dokter speasialis) yang cukup sehingga mempengaruhi penyerapan klaim. Bila melihat kondisi klaim FKL seluruh penyakit tahun 2015-2020 terjadi peningkatan kecuali 2020 karena mengalami penurunan klaim akibat pandemi COVID-19 dan turunnya kunjungan ke RS. Provinsi dengan besaran klaim tertinggi tahun 2015-2020 yaitu provinsi Jawa Barat dan paling sedikit adalah Papua Barat. Sedangkan segmen peserta PBPU dan PPU mendominasi pemanfaatan BPJS selama 6 tahun di Jawa Barat.

Bila melihat rata-rata biaya klaim per segmen peserta per jumlah peserta per tahun dan jumlah peserta yang mengakses fasilitas kesehatan didominasi oleh segmen PBPU dan PPU. Berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan 2015-2020, besaran klaim untuk penyakit jantung, kanker dan stroke masih didominasi oleh Regional 1 dibanding Regional 4 dan 5 sehingga belum ada pemerataan pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh kesenjangan kunjungan rujukan antar segmen dan masih didominasi oleh PPU dan PBPU. Selain itu, provinsi yang menerima rujukan pasien dari berbagai provinsi terbanyak yakni DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Maka diperlukan penguatan pilar pembiayaan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kebijakan kompensasi untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah di bidang kesehatan, khususnya dana promotif-preventif, fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.

VIDEO   MATERI

Narasumber kedua, dr. Yasjudan Rastrama Putra, SpPD selaku Staf Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-KMK UGM mengungkapkan bahwa penyakit kanker terbesar kedua dalam klaim BPJS, dimana jumlah kunjungan juga terbilang tinggi meski terjadi penurunan di 2020 akibat pandemi COVID-19 dan segmen PBPU/mandiri menjadi urutan pertama besar klaim untuk pelayanan kanker. Bila melihat tren segmen tahun 2015-2020 per provinsi, Pulau Jawa dan provinsi Sumatera Utara paling banyak mengajukan klaim kanker dengan dominasi segmen yakni PBPU dan PPU. Selain itu, kenaikan besaeran klaim kanker per regional tahun 2015-2019 masih didominasi regional 1 dengan biaya klaim tertinggi, namun pada 2020, regional 1 dan 4 mengalami kenaikan tahun 2020 sedangkan paling sedikit adalah regional 5 di sepanjang tahun 2015-2020.

Sehingga dapat disimpulkan penggunaan layanan kanker belum merata dan hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan dan kurang meratanya SDM layanan kanker dalam penggunaan layanan, maka diperlukan usaha berkelanjutan untuk pemerataan penggunaan layanan kanker berupa pengampuan dan bantuan biaya studi untuksebaran ahli kanker agar sebanding dengan pemanfaatan utilisasi.

VIDEO   MATERI

Narasumber ketiga, dr. Real Kusumanjaya Marsam, M.Kes, SpJP(K) selaku Dokter Spesialis Penyakit Jantung RSUP Dr Sardjito, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK-KMK UGM menyatakan bahwa hasil Riskedas 2018 beberapa provinsi lebih tinggi dari angka nasional (setidaknya 15 dari 1.000 orang atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung).

Bila melihat RS rujukan layanan jantung, bnayak tersebar di sebagian Pulau Sumatera, Jawa dan Bali. Ketersediaan ini belum banyak, namun diharapkan 24 provinsi di 34 provinsi mampu melakukan layanan jantung secara mandiri. Selain itu, lebih 1.500 dokter di 13 institusi pendidikan di 3 tempat tadi dan masih banyak menumpuk di regional 1. Masalah utama dalam pelayanan jantung di Indonesia adalah masih tingginya biaya pelayanan jantung, sebaran dokter spesialis jantung yang belum memadai dan pemerataan layanan yang masih menumpuk di regional 1. Sehingga upaya yang dapat dilakukan dengan optimalisasi jeajring RS, memudahkan regulasi diaspora kesehatan bagi WNI lulusan luar negeri, menambah jumlah program studi dan beasiswa, serta meningkatkan kemampuan dokter jantung yang sudah ada.

VIDEO   MATERI

Narasumber keempat, Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.Kes selaku Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) FK-KMK UGM menyatakan bahwa adanya transformasi kesehatan diharapkan kesehatan bisa menyesuaikan dengan dinamika-dinamika yang ada saat ini, sehingga kualitas layanan kesehatan menjadi lebih baik. Selain itu, inovatif funding perlu dibangun namun tidak dapat berjalan sendiri karena perlu keterlibatan stakeholder dari hulu hingga hilir sehingga tidak ada lagi kegiatan yang tidak ada sumber pendanaannya.

VIDEO   MATERI

Sesi Pembahasan

Terdapat pembahas yang telah hadir pada forum nasional JKKI kali ini yakni pembahas pertama, dr. Yuli Farianti, M.Epid selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK), Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan akan melakukan pengapuan kepada RS di daerah sehingga kualitas layanan bisa tersedia, menghindari angka kematian dan keselamatan pasien mutunya terjaga. Selain itu, data BPJS Kesehatan bisa diakses oleh seluruh daerah,  misal kisaran buyer dan penyakit terbanyak sehingga sesi hulu bisa memperkuat promorif-preventif. Untuk mengetahui ekuitas yang belum tersedia di layanan faskes diakibatkan oleh pemertaan faskes dan pemerataan dokter spealias di daerah serta besaran tarif layanan yang kurang, sehingga perlu dilihat lagi oleh BPJS Kesehatan dan tidak ada pasien dirujuk karena tarif layanan yang rendah.

Pembahas kedua, dr. Lily Kresnowati, M.Kes selaku Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa kesenjangan dari sisi pembiayaan, pemanfataan layanan, dan pertumbuhan klaim masih terjadi dikarenakan isu terbesarnya yakni layanan JKN pada aspek ekuiti sehingga engagement bersama stakeholder lain (Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah perku ditingkatkan). Hal ini bisa terlihat masih ada daerah sudah mencapai UHC namun layanan dan faskesnya belum tersedia atau sebaliknya. Selain itu, perluasan akses layanan ini juga dapat memperluas akses BPJS Kesehatan terutama pada layanan jantung yang menjadi prioritas sehingga kita semua perlu mengawal JKN agar ketersediaan akses dari peserta JKN dapat terlayani.

VIDEO

Diakhir sesi, terdapat pertanyaan dari peserta, “Apakah ada arah kebijakan mengenai rujukan di “provinsi kepulauan” mengingat besaran klaim dari Indonesia bagian timur lebih kecil yang kemungkinan disebabkan akses yang sulit antar pulau?”. Lily menjawab, “Natuna dan Morotai bisa menjadi contoh penggunaan ambulans laut sebagai angkutan lokal dan peraturan daerahnya juga untuk ambulans ini. Ambulans laut ini digunakan untuk akses antar kepulauan”. Selain itu, M. Faozi Kurniawan, MPH selaku Peneliti PKMK FK-KMK UGM juga menambahkan, “Kebijakan kompensasi bisa menjadi solusi untuk RS pengampuan yang kesulitan dana. Kebijakan kompensasi bisa menjadi mengatasi equity karena peserta akan dirujuk ke beberapa daerah dan ketika pasien dirujuk, pengantar juga ikut sehingga pendanaan ini perlu diperhatikan. Kebijakan kompensasi bisa menjembatani wilayah kepulauan dan kesenjangan itu sambil menunggu dokter spesialis di provinsi lebih banyak termasuk peralatan”.

Reporter:
Agus Salim, MPH (Divisi Public Health, PKMK UGM)