Bukti Baru dari Data Sampel BPJS Kesehatan: Pelayanan Penyakit Katastropik dan Transformasi Kesehatan
Topik 2 pada forum nasional JKKI kali ini mengangkat tema bukti baru dari data sampel BPJS Kesehatan, khususnya pada pelayanan penyakit katastropik dan transformasi kesehatan. Diharapkan dengan memanfaatkan data sampel BPJS Kesehatan dapat menganalisis kondisi beban dalam pelayanan kesehatan, salah satunya menunjang dalam enam transformasi kesehatan yakni pembiayaan kesehatan dalam JKN. Forum Nasional JKKI hari Kedua dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro selaku Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang menyampaikan seluruh lapisan masyarakat sudah dijamin kesehatannya oleh negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, namun masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan keadilan dari pelayanan katastropik.
Bila melihat data sampel tahun 2015 – 2019 mengalami kenaikan besaran klaim, namun pada 2020 biaya klaim mengalami penurunan akibat terdapat pandemi COVID-19. Jika melihat lebih jauh, kenaikan klaim ini banyak terjadi di regional 1 bahkan meningkat tajam besaran klaimnya hingga 2019, dan berbanding terbalik di regional 4 dan 5 cenderung klaim paling rendah bahkan terlihat stagnan. Pada 2020, di seluruh regional biaya klaim menurun karena dampak pandemi COVID-19. Hal ini akan berdampak pada kebijakan untuk equity di daerah dimana salah satu faktor yang mempengaruhi yakni akses layanan. Akses layanan di Jawa dan luar Jawa sudah terlihat perbedaan demografinya. Untuk mengatasi kesenjangan ini, diperlukan peninjauan kembali kebijakan kesehatan yang berlaku saat ini (transformasi kesehatan, khususnya pilar rujukan dan pembiayaan) termasuk meninjau akar penyebab variasi beban penyakit antar provinsi serta memperkuat program dan kebijakan yang bertujuan mengurangi kesenjangan di seluruh Indonesia.
Keynote Speech
Pada sesi ini menghadirkan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD, AAK selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan menyampaikan banyak tantangan dari keadilan, ketersediaan, aksesibilitas, demikian juga mutu proteksi penyakit katastropik sehingga BPJS Kesehatan berfokus dalam preventif-promotif, termasuk screening karena hampir seluruh penyakit katastropik mengalami tren rebound kecuali gagal ginjal.
Hal ini juga ditambah dari perubahan pandemi ke endemi, BPJS Kesehatan ikut terlibat dalam upaya mengendalikan fenomena “rebound” berupa kolaborasi dengan pemangku kepentingan dengan collaborative research, join innovation, publication, policy formulation, dan capacity building termasuk BPJS Kesehatan memiliki program goes to campus, bukan hanya kampus dalam negeri melainkan kampus luar negeri. BPJS Kesehatan berharap melalui upaya ini dapat meningkatkan efektivitas penyusunan dan rekomendasi kebijakan JKN, mendukung perbaikan program JKN (Evidence-Based Policymaking) melalui inovasi berkelanjutan, serta BPJS Kesehatan terbuka melakukan kerja sama dan berkolaborasi dalam pengembangan dan pengolahan analisis data untuk menunjang program JKN.
Sesi Pemaparan
Narasumber pertama, M. Faozi Kurniawan, MPH selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa pada 2019-2021 berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan mengalami peningkatan peserta, khususnya pada regional 1 yang lebih tinggi dan peningkatan ini juga sejalan dengan memadainya fasilitas dan SDM Kesehatan (dokter speasialis) yang cukup sehingga mempengaruhi penyerapan klaim. Bila melihat kondisi klaim FKL seluruh penyakit tahun 2015-2020 terjadi peningkatan kecuali 2020 karena mengalami penurunan klaim akibat pandemi COVID-19 dan turunnya kunjungan ke RS. Provinsi dengan besaran klaim tertinggi tahun 2015-2020 yaitu provinsi Jawa Barat dan paling sedikit adalah Papua Barat. Sedangkan segmen peserta PBPU dan PPU mendominasi pemanfaatan BPJS selama 6 tahun di Jawa Barat.
Bila melihat rata-rata biaya klaim per segmen peserta per jumlah peserta per tahun dan jumlah peserta yang mengakses fasilitas kesehatan didominasi oleh segmen PBPU dan PPU. Berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan 2015-2020, besaran klaim untuk penyakit jantung, kanker dan stroke masih didominasi oleh Regional 1 dibanding Regional 4 dan 5 sehingga belum ada pemerataan pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh kesenjangan kunjungan rujukan antar segmen dan masih didominasi oleh PPU dan PBPU. Selain itu, provinsi yang menerima rujukan pasien dari berbagai provinsi terbanyak yakni DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Maka diperlukan penguatan pilar pembiayaan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kebijakan kompensasi untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah di bidang kesehatan, khususnya dana promotif-preventif, fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.
Narasumber kedua, dr. Yasjudan Rastrama Putra, SpPD selaku Staf Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-KMK UGM mengungkapkan bahwa penyakit kanker terbesar kedua dalam klaim BPJS, dimana jumlah kunjungan juga terbilang tinggi meski terjadi penurunan di 2020 akibat pandemi COVID-19 dan segmen PBPU/mandiri menjadi urutan pertama besar klaim untuk pelayanan kanker. Bila melihat tren segmen tahun 2015-2020 per provinsi, Pulau Jawa dan provinsi Sumatera Utara paling banyak mengajukan klaim kanker dengan dominasi segmen yakni PBPU dan PPU. Selain itu, kenaikan besaeran klaim kanker per regional tahun 2015-2019 masih didominasi regional 1 dengan biaya klaim tertinggi, namun pada 2020, regional 1 dan 4 mengalami kenaikan tahun 2020 sedangkan paling sedikit adalah regional 5 di sepanjang tahun 2015-2020.
Sehingga dapat disimpulkan penggunaan layanan kanker belum merata dan hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan dan kurang meratanya SDM layanan kanker dalam penggunaan layanan, maka diperlukan usaha berkelanjutan untuk pemerataan penggunaan layanan kanker berupa pengampuan dan bantuan biaya studi untuksebaran ahli kanker agar sebanding dengan pemanfaatan utilisasi.
Narasumber ketiga, dr. Real Kusumanjaya Marsam, M.Kes, SpJP(K) selaku Dokter Spesialis Penyakit Jantung RSUP Dr Sardjito, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK-KMK UGM menyatakan bahwa hasil Riskedas 2018 beberapa provinsi lebih tinggi dari angka nasional (setidaknya 15 dari 1.000 orang atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung).
Bila melihat RS rujukan layanan jantung, bnayak tersebar di sebagian Pulau Sumatera, Jawa dan Bali. Ketersediaan ini belum banyak, namun diharapkan 24 provinsi di 34 provinsi mampu melakukan layanan jantung secara mandiri. Selain itu, lebih 1.500 dokter di 13 institusi pendidikan di 3 tempat tadi dan masih banyak menumpuk di regional 1. Masalah utama dalam pelayanan jantung di Indonesia adalah masih tingginya biaya pelayanan jantung, sebaran dokter spesialis jantung yang belum memadai dan pemerataan layanan yang masih menumpuk di regional 1. Sehingga upaya yang dapat dilakukan dengan optimalisasi jeajring RS, memudahkan regulasi diaspora kesehatan bagi WNI lulusan luar negeri, menambah jumlah program studi dan beasiswa, serta meningkatkan kemampuan dokter jantung yang sudah ada.
Narasumber keempat, Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.Kes selaku Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) FK-KMK UGM menyatakan bahwa adanya transformasi kesehatan diharapkan kesehatan bisa menyesuaikan dengan dinamika-dinamika yang ada saat ini, sehingga kualitas layanan kesehatan menjadi lebih baik. Selain itu, inovatif funding perlu dibangun namun tidak dapat berjalan sendiri karena perlu keterlibatan stakeholder dari hulu hingga hilir sehingga tidak ada lagi kegiatan yang tidak ada sumber pendanaannya.
Sesi Pembahasan
Terdapat pembahas yang telah hadir pada forum nasional JKKI kali ini yakni pembahas pertama, dr. Yuli Farianti, M.Epid selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK), Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan akan melakukan pengapuan kepada RS di daerah sehingga kualitas layanan bisa tersedia, menghindari angka kematian dan keselamatan pasien mutunya terjaga. Selain itu, data BPJS Kesehatan bisa diakses oleh seluruh daerah, misal kisaran buyer dan penyakit terbanyak sehingga sesi hulu bisa memperkuat promorif-preventif. Untuk mengetahui ekuitas yang belum tersedia di layanan faskes diakibatkan oleh pemertaan faskes dan pemerataan dokter spealias di daerah serta besaran tarif layanan yang kurang, sehingga perlu dilihat lagi oleh BPJS Kesehatan dan tidak ada pasien dirujuk karena tarif layanan yang rendah.
Pembahas kedua, dr. Lily Kresnowati, M.Kes selaku Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa kesenjangan dari sisi pembiayaan, pemanfataan layanan, dan pertumbuhan klaim masih terjadi dikarenakan isu terbesarnya yakni layanan JKN pada aspek ekuiti sehingga engagement bersama stakeholder lain (Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah perku ditingkatkan). Hal ini bisa terlihat masih ada daerah sudah mencapai UHC namun layanan dan faskesnya belum tersedia atau sebaliknya. Selain itu, perluasan akses layanan ini juga dapat memperluas akses BPJS Kesehatan terutama pada layanan jantung yang menjadi prioritas sehingga kita semua perlu mengawal JKN agar ketersediaan akses dari peserta JKN dapat terlayani.
Diakhir sesi, terdapat pertanyaan dari peserta, “Apakah ada arah kebijakan mengenai rujukan di “provinsi kepulauan” mengingat besaran klaim dari Indonesia bagian timur lebih kecil yang kemungkinan disebabkan akses yang sulit antar pulau?”. Lily menjawab, “Natuna dan Morotai bisa menjadi contoh penggunaan ambulans laut sebagai angkutan lokal dan peraturan daerahnya juga untuk ambulans ini. Ambulans laut ini digunakan untuk akses antar kepulauan”. Selain itu, M. Faozi Kurniawan, MPH selaku Peneliti PKMK FK-KMK UGM juga menambahkan, “Kebijakan kompensasi bisa menjadi solusi untuk RS pengampuan yang kesulitan dana. Kebijakan kompensasi bisa menjadi mengatasi equity karena peserta akan dirujuk ke beberapa daerah dan ketika pasien dirujuk, pengantar juga ikut sehingga pendanaan ini perlu diperhatikan. Kebijakan kompensasi bisa menjembatani wilayah kepulauan dan kesenjangan itu sambil menunggu dokter spesialis di provinsi lebih banyak termasuk peralatan”.
Reporter:
Agus Salim, MPH (Divisi Public Health, PKMK UGM)