19 November 2020

Tujuan dari pertemuan ini untuk membahas mengenai pentingnya pendekatan knowledge management untuk memperkuat sistem kesehatan dalam merespon pandemi COVID-19. Laksono berharap pengetahuan dapat dipergunakan dan disimpan dengan baik, mengingat bahwa COVID-19 adalah hal yang baru dan belum dikenal sebelumnya dan menyimpan sejumlah risiko yang tadinya belum diketahui oleh berbagai pihak. Harapannya knowledge bisa dijadikan sebagai sarana untuk mempersingkat waktu pandemi COVID-19 sebab datanya sangat berguna untuk penanganan.

dr. Trisa Wahjuni Putri menyampaikan Pendekatan Pengembangan Manajemen Pengetahuan untuk Intitusi dan Tenaga Kesehatan. Walaupun belum terlalu familiar dengan topik ini, Trisa mencoba menjelaskan hasil kerja dari biro hukum dan organisasi Kemenkes yang telah melakukan reviu regulasi terhadap SDM. Pada aspek pemenuhan SDM kesehatan yang berhasil didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia untuk penanganan COVID-19 adalah berjumlah 20.000 yang terdiri dari relawan, dokter internship dan tim Nusantara Sehat. Hal ini bukannya tanpa kekurangan, ternyata dalam penguatan laboratorium masih belum sempurna padahal ada target untuk PCR. Sejak saat itu juga muncul penguatan SDM Analis Laboratorium (ATLM). Dokter internship yang tadinya ditujukan untuk proses kemahiran, kemudian dijadikan tenaga yang dimobilisasi untuk menyelesaikan pandemi.

Kemudian Trisa juga menjelaskan mengenai aspek perlindungan yang mana dalam masa pandemi seperti ini provider safety adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Aspek keamanan tenaga kesehatan terkait dengan peningkatan kapasitas, Kemenkes berhasil melatih tenaga kesehatan yang akan dikirim ke faskes – faskes yang membutuhkan , seperti pembekalan PPI dan pelatihan vaksinator yang telah melebihi target dalam waktu beberapa bulan. Terakhir yaitu mengenai sistem Informasi, Kemenkes mengembangkan chatbot untuk akselerasi sistem informasi.

Pemateri selanjutnya, yaitu dr. Detty Siti Nurdiati, MPH., Ph.D., Sp. OG(K) sebagai ketua Cochrane Indonesia (CI) menjelaskan mengenai peran Cochrane untuk memperkuat Knowledge Management bagi Klinisi. Detty mengelaborasikan peran CI sebagai organisasi non-profit yang menghasilkan systematic review di bidang kesehatan yang ditujukan untuk memberikan evidence bagi pengambilan keputusan klinis, kebijakan maupun pendidikan klinis. Pada saat pandemi COVID-19, CI juga merancang clinical Q&A yang bisa membantu klinisi di lapangan. Sebagaimana diketahui bahwa klinisi memiliki jadwal yang padat, terlebih dalam situasi pandemi seperti ini format jurnal terlalu panjang untuk dibaca sehingga dibutuhkan format yang lebih sederhana dan mudah dipahami.

Clinical Q&A ini merupakan living systematic review yang artinya dapat diperbarui setiap hari tergantung pada primary research yang masuk setiap harinya. CI juga membuka konsultasi cara membaca dan membuat evidence yang baik. Pada proses knowledge management yang dilakukan oleh CI, terdapat 4 strategi yaitu produksi evidence, bagaimana evidence mudah diakses, advokasi evidence bagi pengambil kebijakan dan bagaimana membentuk organisasi efektif dan sustainable. Detty juga mengungkapkan, bahwa saat ini pengakses terhadap Cochrane menurun setelah sebelumnya di awal Maret menunjukkan grafik yang sangat tinggi kemudian November semakin rendah. Dugaannya terdapat fatigue dalam pendekatan pengetahuan.

Narasumber ketiga yaitu dr. Lutfan Lazuardi, Ph.D yang merupakan dosen di FK – KMK UGM menjelaskan pentingnya Rumah Sakit untuk menjaga dan mengelola data yang ada di institusinya, sebab RS adalah lembaga yang kaya akan data. Salah satu institusi dalam RS yang memiliki peran strategis untuk melakukan hal tersebut adalah perpustakaan. Sayangnya posisi perpustakaan saat ini seringkali pasif dan hanya digunakan sebagai pelengkap untuk syarat akreditasi. Oleh sebab itu, terdapat inisiasi dari PKMK yang dilaksanakan oleh Lutfan yaitu pelatihan dalam rangka penguatan kapasitas SDM perpustakaan di RS dan pengembangan website manajemencovid.net serta pengembangan masyarakat praktisi.

Tujuan pertama pelatihan tersebut, secara spesifik adalah untuk mengembangkan perpustakaan dan melakukan eksperimen model manajemen pengetahuan. Pelatihan ini dilaksanakan selama 10 minggu yang diikuti oleh 5 tim yang berasal dari RS maupun organisasi penelitian yang bersedia untuk diintervensi pada perbaikan manajemen knowledge-nya. Pelatihan tersebut terdiri dari 2 modul, yaitu penguatan kapaistas SDM perpustakaan dan pengembangan rencana bisnis perpustakaan yang harapannya bisa membantu klinisi dan Knowledge Management RS. Setelah pelatihan selesai, terdapat pendampingan. Setelah adanya pelatihan, peserta memiliki rencana untuk mengembangkan insfrastruktur perpustakaan digital, cafe knowledge, pengembangan website diseminasi pengetahuan dan bervisi menjadi digital library.

Lutfan juga menyampaikan bahwa pengembangan website manajemencovid.net pada awal pandemi masih dimasukkan apa adanya, namun berdampak pada sulitnya pencarian arsip terhadap kegiatan, artikel yang telah disleenggarakan sebelumnya. Sebagaimana hal tersebut maka Lutfan mengembangkan taksonomi, karena pentingnya label atau tagging supaya mempermudah pencarian. Selain taksonomi, juga dilengkapi dengan metadata untuk mengklasifikasikan bentuk arsip (buku, artikel, diseminasi penelitian, dan lain – lain).

Sukirno, SIP., MA yang merupakan Ketua Perpustakaan FK – KMK UGM menjelaskan materi mengenai knowledge management untuk menanggapi pandemi COVID-19. Menurutnya, meskipun banyak kegiatan yang dibatasi karena ada pembatasan sosial, ada kegiatan yang tidak berhenti yaitu belajar mengajar dan penelitian. Aktivitas ilmiah ini terus berjalan sehingga dibutuhkan inovasi dalam perpustakaan. Selama ini perpustakaan dianggap pasif, namun sejak adanya Undang – Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan membantu perkembangan institusi perpustakaan di Indonesia. Terdapat 4 fungsi dalam perpustakaan, yaitu untuk pendidikan, penelitian, pelestarian informasi dan rekreasional. Perpustakaan memiliki 4 model yaitu konvensional, digital, hybrid dan virtual. Saat ini perpustakaan konvensional dikembangkan menjadi digital yang memiliki beberapa keuntungan seperti hemat ruang, biaya lebih murah, akses ganda dan tidak dibatasi ruang dan waktu.

Peran perpustakaan digital adalah menghimpun dan menyediakan informasi dalam format digital, bertransformasi dalam mengorganisasi informasi yang memadai dengan memperhatikan metadata, sistem temu kembali dan jaringan informasi. Selain itu, mendiseminasikan koleksi digital yang dapat diakses masyarakat secara cepat dan akurat, melakukan koleksi secara digital untuk menyelamatkan nilai-nilai informasi yang diharapkan serta menerapkan regulasi hak akses pada masyarakat sehingga terhindar dari etika informasi, masalah hak cipta dan plagiarisme. Digital aset management adalah informasi atau pengetahuan itu sendiri, proses mengcreate perpus digital, memilih apa yang akan dipakai dan bagaimana cara merawatnya.

Prof. Adj. Hans Wijaya sebagai pembahas pertama menggarisbawahi bahwa dalam kondisi pandemi seperti ini banyak hal yang belum diketahui baik oleh RS maupun pasien. Pandemi juga membuat tipe virus, terapi diagnostik selalu berubah sehingga klinisi butuh belajar. SDM Kesehatan lebih berharga dibanding gedung maupun teknologi yang canggih sehingga bagaimana caranya untuk membangun manusia – manusia ini agar tetap belajar.

Disini tantangannya adalah mampukan akademisi, lembaga penelitian, lembaga pendidikan menjadi penjembatan terhadap celah yang ada, yaitu mengisi pengetahuan yang sifatnya terapan dan tidak lagi dasar karena klinisi saat ini membutuhkan informasi yang cepat dan mudah dipahami untuk diterapkan di lapangan. Hendro Subagyo, M.Eng memaparkan bahwa benar adanya metadata dan taksonomi sangat membantu dalam pencarian arsip yang telah lalu dan masih dibutuhkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes menuturkan bahwa knowledge kita belum banyak berkembang, dan sering kita melihat action yang dijalankan tetapi tidak didukung dengan evidence yang memadai.

Banyak negara yang melakukan berbagai macam hal, sehingga modellingnya membuat kita bingung. Manakah yang hendak diikuti?. Andreas juga berpendapat, bahwa RS harus berani untuk berinvestasi dalam pengembangan KM sendiri karena RS adalah tempat yang kaya data. Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D mengungkapkan bahwa unutk mencapai yang dikonsepkan oleh Sukirno dalam transformasi perpustakaan digital membutuhkan waktu yang tidak sedikit namun mungkin untuk dilaksanakan. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa belum semua organisasi pelayanan kesehatan menerapkan prinsip KM termasuk dalam penanganan COVID-19.

Reporter: Eurica Stefany Wijaya, MH

 

MATERI PRESENTASI DAN VIDEO 
Semua materi presentasi dan Video rekaman dapat diakses pada link berikut

KLIK DISINI