Pendahuluan
Biaya kesehatan secara global terus meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, peningkatan belanja kesehatan disinyalir telah melampaui laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP). Fenomena ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan layanan kesehatan yang berkualitas semakin mendesak, sementara kemampuan ekonomi untuk menanggung biaya tersebut tidak selalu sebanding. Peningkatan belanja kesehatan ini mencerminkan upaya untuk memperbaiki kualitas dan aksesibilitas layanan kesehatan, namun juga menimbulkan tantangan terkait keberlanjutan pendanaan dan efisiensi penggunaan dana kesehatan. Portal Informasi Indonesia menayangkan tajuk berita “Pelayanan Penyakit Kronis Terus Diperluas” menjadi penguat kebijakan transformasi kesehatan yang sedang dijalankan oleh Kementerian Kesehatan meskipun ada tantangan keterbatasan sumber dana kesehatan.
Kebijakan pendaanan kesehatan menjadi salah satu pilar penting keberlanjutan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia. Penyakit Kanker, Jantung, Stroke, dan Uronefrologi (KJSU) merupakan penyakit katastropik yang mebutuhkan pendanaan yang tinggi. Tantangan dalam pembiayaan berkelanjutan untuk penyakit-penyakit ini masih menjadi isu kritis yang memerlukan perhatian khusus. BPJS Kesehatan menggambarkan bahwa beban penyakit katastropik sangat tinggi memiliki pengeluaran biaya kesehatan paling besar. Kementerian Kesehatan dengan data national health account 2023 (unaudited) menggambarkan kasus stroke dan beban uronefrologi beban dan jumlah kunjungan yang mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Gambar 1. Biaya Pelayanan Kesehatan JKN untuk Kasus, Stroke dan Uronefrologi (KJSU) Tahun 2022 (miliar Rp)
Sumber: Kementerian Kesehatan, 2024.
Gambar 1 diatas menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan kasus stoke dan urenefrologi melalui JKN-BPJS Kesehatan pada 2019-2023 mengalami peningkatan dari sisi belanja dan kunjungan. Tahun 2019 tercatat pada kasus stroke belanja Rp2,7 triliun dengan jumlah kunjungan di FKTL 1,7 juta kunjungan. Angka ini lebih tinggi dari kunjungan di FKTP sebesar 1 juta kunjungan dengan belanja Rp. 0,06 triliun. Tahun 2023 terjadi peningkatan kunjungan di FKTL 3,3 juta dengan belanja 4,2 triliun. Kunjungan di FKTP untuk urenefrologi sebesar 2,4 juta kunjungan dengan belanja
Rp. 0,2 triliun di tahun 2019 dan tahun 2023 kunjungan meningkat menjadi 2,7 juta dengan belanja Rp. 0,4 triliun. Kunjungan untuk urenefrologi di FKTL sebesar 8,5 juta dengan belanja Rp. 8,6 triliun dan tahun 2023 kunjungan menjadi 10,9 juta kunjungan dan belanja Rp. 10,9 triliun. Tinggi belanja dan jumlah kasus dari KJSU seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dalam kondis tidak sehat. Kondisi ini membutuhkan upaya promotif dan preventif yang lebih intensif. Kementerian Kesehatan melalui transformasi kesehatan mencoba untuk meningkatakan upaya promotif dan preventif dan memeratakan pelayanan kesehatan sampai pelosok untuk menekan pertumbuhan penyakit KJSU ini.
Untuk itu, Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) dengan dukungan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada pada 2024 kembali menyelenggarakan seminar melalui Forum Nasional (Fornas) XIV dengan tema “Kebijakan Pembiayaan Berkelanjutan untuk Penyakit Kanker, Jantung, Stroke dan Uronefrologi (KJSU) dalam Sistem JKN: Tantangan dan Peluang”.
Tujuan Kegiatan
Secara umum Fornas XIV bertujuan untuk mengindentifikasi tantangan kesehatan dan strategi dalam pelaksanaan transformasi kesehatan untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Tujuan detail lainnya adalah:
- Mengidentifikasi dan menganalisis tantangan utama dalam pendanaan berkelanjutan untuk penyakit KJSU dalam sistem JKN.
- Mengeksplorasi peluang untuk memperkuat kebijakan pendanaan berkelanjutan bagi penyakit KJSU.
- Merumuskan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pendanaan berkelanjutan bagi penyakit KJSU dalam sistem JKN.
Target peserta
Fornas XIV diharapkan dapat melibatkan pemangku kepentingan dari pengambil keputusan, akademisi, penyedia layanan kesehatan, peneliti, pemerhati dan masyarakat secara luas. Detail target pemangku kepentingan yang akan dilibatkan sebagai pembicara dan/atau peserta sebagai berikut:
- Pengambil Keputusan/Pemerintah: Kementerian/ Lembaga terkait kesehatan
- Akademisi (Dosen dan Mahasiswa) di Universitas, Poltekkes dan STIKES
- Fasilitas Kesehatan (RS dan Puskesmas/Klinik)
- Tenaga Kesehatan (Dokter, Perawat dan Bidan)
- Peneliti di Pusat Penelitian dan Think Tank
- Organisasi Masyarakat Sipil ASN
Informasi Ujian
Untuk mendapatkan sertifikat ber-SKP pada kegiatan ini , peserta dapat mempelajari kembali video dan materi yang sudah tersedia.
ujian akan diselenggarakan pada 5 – 17 November 2024 melalui Plataran sehat kemenkes RI.
Pukul (WIB) |
Agenda |
Penanggung jawab |
REPORTASE | ||
13.00 – 13.05 |
Pembukaan: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, Ph.D |
|
13.05 – 13.35 |
Keynote Speaker: “Kebijakan BPJS Kesehatan untuk Penyakit KJSU untuk Mendukung Transformasi Kesehatan” |
|
13.35 – 14.05 |
Perkembangan Penyakit KJSU dalam Sistem JKN – Data Sample BPJS Kesehatan 2015-2022 |
|
14.05 – 15.05 |
Pembahas: Kesiapan klinisi untuk Pemerataan Pelayanan KJSU di Indonesia Kesiapan BPJS Kesehatan untuk Kebijakan KJSU Kementerian Kesehatan Kesiapan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota sebagai Respon Kebijakan KJSU Kementerian Kesehatan |
|
15.05 – 15.45 |
LMS Plataran Sehat
Kontak Person
Cintya / 082221377408
Reportase Kegiatan
Topik 1 Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XIV tahun 2024 mengambil subtema “Kebijakan Pembiayaan Berkelanjutan untuk Penyakit Kanker, Jantung, Stroke, dan Uronefrologi (KJSU) dalam Sistem JKN: Tantangan dan Peluang” telah diselenggarakan pada Senin (14/10/2024) pukul 13.00-16.00 WIB secara hybrid. Acara ini dipandu oleh Via Angraini, SKM selaku master of ceremony (MC).
Acara diawali dengan pembukaan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., staf khusus Menteri Kesehatan Republik Indonesia Bidang Ketahanan (Resiliency) Industri Obat dan Alat Kesehatan. Laksono membuka acara dengan menekankan bahwa penggunaan data dalam pengambilan keputusan sangat penting untuk mendorong respon-respon terhadap isu kesehatan. Tantangan utama saat ini mencakup peningkatan beban penyakit terkait perilaku kesehatan, kurangnya pemerataan rumah sakit dan tenaga kesehatan, serta isu pembiayaan berupa peningkatan klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK). Fornas diharapkan dapat berujung pada tindak lanjut yang nyata berupa aktivitas-aktivitas saintifik yang mendukung pengambilan keputusan berbasis data.
Acara dilanjutkan dengan paparan narasumber dan pembahasan yang dimoderasi oleh Ester Febe, MPH yang merupakan peneliti di PKMK FK-KMK UGM. Acara diawali dengan keynote speech dari Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc. PhD selaku direktur utama BPJS Kesehatan. Dalam paparannya, Ali menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan terus mengembangkan layanan berbasis data, termasuk juga untuk penyakit KJSU, dengan fokus pada pembiayaan berkelanjutan dan akses yang merata. Meskipun biaya pelayanan terus meningkat, BPJS Kesehatan tetap berkomitmen menjaga keadilan akses kesehatan bagi semua orang dengan semangat nonprofit. Program seperti Prolanis dan skrining kesehatan melalui aplikasi mobile JKN kini juga memungkinkan masyarakat sehat untuk memanfaatkan layanan BPJS, yang terus berkembang dan mendapat pengakuan internasional.
Acara dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber, yakni M. Faozi Kurniawan, SE.,Akt., MPH, peneliti di PKMK FK-KMK UGM. Dalam paparannya yang berjudul “Perkembangan Penyakit KJSU dalam Sistem JKN: Data Sampel BPJS Kesehatan 2015-2022”, Faozi menjelaskan bahwa sejak tahun 2014 hingga 2023, berbagai faktor mempengaruhi pendapatan dan belanja BPJS Kesehatan, termasuk perbedaan belanja dan iuran antar segmen peserta. Dalam konteks KJSU, pengeluaran katastropik sangat tinggi, terutama pada pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL). Faozi menekankan perlunya kajian lebih mendalam mengenai segmen dan kelas dengan belanja yang besar. Dengan mengeksplorasi data sampel BPJS Kesehatan, Faozi memaparkan adanya tren kenaikan kunjungan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) setiap tahun, termasuk kunjungan sehat. Jika data dipecah secara agregat berdasarkan wilayah, penduduk di regional 1 (Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta) memiliki akses ke FKTP dan, terutama, FKTL yang lebih baik dibandingkan regional lainnya. Terkait dengan hal tersebut, regional 1 juga memiliki klaim KJSU yang tertinggi. Faozi menutup paparannya dengan menekankan bahwa disparitas antar segmen, kelas, dan regional perlu menjadi masukan dalam membuat kebijakan-kebijakan untuk mencegah defisit.
Sesi pembahasan menghadirkan tiga orang penanggap, yakni Dr. dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT (ketua umum Ikatan Dokter Indonesia/IDI), dr. Mokhamad Cucu Zakaria (Asisten Deputi Bidang Kebijakan Penjaminan Manfaat Rujukan BPJS Kesehatan), dan drg. Dyah Mayun Hartanti, MMR (Kepala bidang pelayanan kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul). Dalam tanggapannya yang bertema “Kesiapan klinisi untuk Pemerataan Pelayanan KJSU di Indonesia”, Adib menggarisbawahi bahwa optimasi peran sumber daya manusia kesehatan (SDMK) memerlukan dukungan pilar sistem kesehatan lain, seperti infrastruktur dan perbekalan fasilitas kesehatan, tata kelola, dan pembiayaan. Selain itu, ketersediaan fasilitas pendukung di daerah (misalnya sarana pendidikan) dan jenjang karir juga diperlukan untuk menjamin ketersediaan SDM Kesehatan yang memadai bagi penanganan penyakit KJSU. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan tata kelola SDM Kesehatan berbasis data BPJS Kesehatan terkait kasus KJSU untuk memenuhi kebutuhan spesialis di setiap daerah melalui kolaborasi antara pemerintah dan organisasi profesi.
Tanggapan selanjutnya diberikan oleh dr. Muhammad Cucu Zakaria, AAAk yang mengatakan bahwa tingginya persentase kepesertaan BPJS Kesehatan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi individu untuk mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas ketika mengalami penyakit katastropik, termasuk KJSU. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan terus bekerja sama dengan berbagai pihak agar berbagai tindakan terkait KJSU, salah satunya pelayanan canggih (kateterisasi, kemoterapi, dan radioterapi), dapat tersedia secara merata. Salah satu upaya yang ditempuh adalah perluasan kerja sama dengan berbagai jenis fasilitas kesehatan. Di samping kerja sama dengan berbagai pihak, Cucu juga menekankan perlunya standarisasi penjaminan tindakan KJSU.
Sebagai penanggap ketiga, drg. Dyah Mayun Hartanti, MMR menceritakan upaya-upaya yang telah ditempuh oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul dalam memperkuat layanan KJSU. Beberapa upaya tersebut adalah memfasilitasi pendidikan dokter spesialis, mengawal peluang anggaran di pusat dan daerah, serta mengambil peluang fellowship dan pelatihan (melalui peran Rumah Sakit Umum Daerah/RSUD Wonosari). Namun demikian, Dyah mengakui masih adanya tantangan dari segi SDMK, yakni rendahnya keterisian lowongan dokter spesialis dokter umum di puskesmas terpencil. Selain itu, pelayanan kanker belum bisa diberikan karena kurangnya SDM Kesehatan, sarana, prasarana, dan pembiayaan terkait hal ini. Dyah berharap kebijakan-kebijakan dari pusat, terutama terkait SDM Kesehatan, dapat diarahkan untuk mendukung pelayanan KJSU di daerah.
Sesi dilanjutkan dengan kegiatan tanya-jawab dengan peserta di lokasi maupun peserta yang hadir secara online. Dalam sesi diskusi, muncul bahasan-bahasan terkait kontrak Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), tugas belajar SDMK, peran rumah sakit swasta dalam pelayanan KJSU, serta proporsi peserta JKN dalam kasus-kasus KJSU. Acara ditutup dengan pesan dari moderator bahwa di tengah berbagai tantangan pembiayaan KJSU, terdapat peluang-peluang yang dapat dieksplorasi bersama-sama oleh sektor publik dan swasta.
Reporter: Mentari Widiastuti (Divisi Public Health, PKMK)