halaman khusus

ini halaman khusus

 

Blank Form (#8)

 

 

coba registrasi

Registration

Reportase Topik 7 Peningkatan Kapasitas Daerah dalam Menjalankan Kebijakan Transformasi Sistem Kesehatan Nasional dan UU Kesehatan

Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII topik 7 dilaksanakan pada Rabu, 27 September 2023 secara hybrid. Pada sesi pembukaan oleh dr. Haryo Bismantara, MPH selaku Peneliti Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK FK-KMK UGM menyampaikan perlunya learning from the past dan present, for the future: Mengkaji Pelaksanaan Sister Hospital dan Konsorsium AHS di Provinsi Papua. Dalam 5 tahun terakhir, setiap tahun Indonesia memiliki 3000 lulusan baru dokter spesialis dengan 800 tambahan kuota penerimaan. Upaya transformasi SDM Kesehatan beroperasi dalam mekanisme Supply demand yang kompleks dengan karakteristik berkesinambungan dan melibatkan banyak stakeholders. Koordinasi peningkatan jumlah kuota pendidikan dokter spesialis dibagi ke dalam 6 wilayah dengan tujuan akhir seluruh provinsi dapat secara mandiri merencanakan, memproduksi, mendistribusikan, dan meretensi dokter spesialis.

VIDEO   MATERI

Acara pada hari ini dipimpin oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M. Kes, MAS selaku Ketua PKMK FK-KMK UGM. Andre menyampaikan bahwa isu dokter spesialis tidak hanya meningkatkan jumlahnya tetapi distribusinya serta kesediaan dokter spesialis untuk retensi dalam waktu yang lama di suatu daerah.

Narasumber pertama hari ini adalah dr. Rachmat Andi Hartanto, Sp.BS(K) dari Divisi Bedah Saraf, Departemen Ilmu Bedah FK KMK UGM. Rachmat menyampaikan jumlah spesialis bedah saraf di Indonesia dari 2010-2023 mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Masalahnya adalah distribusi dokter spesialis bedah saraf yang tidak tercapai, bukan produksi. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah menunjukkan bahwa daerah memiliki kekuatan besar. Permasalahan yang biasa terjadi adalah dokter sudah datang ke daerah tetapi fasilitas belum siap maka banyak dokter yang tidak berkenan mengabdi di daerah secara tetap. Rachmat menjelaskan skema pengembangan pelayanan bedah saraf di daerah yang telah dilakukan divisi bedah saraf FK-KMK UGM dengan pemerintah daerah yaitu dengan merekrut residen putra daerah, bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat mendampingi RS tempat asal untuk mengembangkan pembukaan layanan Bedah Saraf. Setelah residen menyelesaikan pendidikannya, akan bekerja di tempat asal dengan sistem pelayanan yang sudah siap.

MATERI

Narasumber kedua adalah Dr. dr. Sudadi, Sp.An., KNA, KAR dari Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK KMK UGM. Sudadi menyampaikan ada 3 skema Model Konsorsium PPDS di Satu Kewilayahan AHS. Konsorsium Pendidikan dokter spesialis merupakan FK ber-PPDS bekerja sama dengan FK terakreditasi A di wilayahnya untuk meningkatkan jumlah wahana PPDS. Manfaat konsorsium adalah untuk menambah jumlah kuota PPDS, lebih cepat dibanding mendirikan prodi baru (jangka pendek), sekaligus membina FK terakreditasi A untuk mempersiapkan diri membuka program PPDS (jangka panjang). Langkah strategis yang dilaksanakan antara lain penguatan suasana akademik dengan menjadi bagian dalam program khusus pelaksanaan putaran pendidikan peserta PPDS Anestesi FK KMK UGM, percepatan pembuatan naskah akademik sesuai peraturan/standar yang berlaku, percepatan peningkatan level akreditasi Pendidikan Dokter FK Universitas Cendrawasih dan RSUD Jayapura.

VIDEO   MATERI

Sesi pembahasan

Dr. dr. A.A.N. Jaya Kusuma, Sp.OG (K), MARS dari ARSPI menyampaikan bahwa menurut UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah. Pimpinan fasyankes atau kepala daerah harus memenuhi kebutuhan insentif, jaminan keamanan, dan keselamatan kerja dokter. Terlebih pada daerah tertinggal, perbatasan atau daerah bermasalah kesehatan perlu adanya insentif khusus, jaminan keamanan, kenaikan pangkat luar biasa, dan perlindungan dalam menjalankan tugasnya.

VIDEO

Pembahas kedua yaitu Dr. dr. Setyo Widi Nugroho, Sp.BS (K) selaku ketua MKKI menyampaikan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam produksi dan distribusi tenaga kesehatan. Selama ini tidak ada koordinasi antara Kemenkes dan Kemendikbudristek. Kurikulum yang sekarang diharapkan bisa berjalan dengan baik karena acuan pendidikan kedokteran mengacu pada acuan global. Perlunya pemetaan kebutuhan dan produksi setiap jenis pelayanan, sinergi pendidikan berbasis universitas dan rumah sakit pendidikan, serta AHS yang saat ini bisa menjadi solusi untuk tetap menjaga kualitas SDM.

VIDEO

Pembahas ketiga yaitu dr. Tommy J. Numberi, Sp.BS dari RSUD Jayapura menyampaikan bahwa kondisi sosial politik di Papua yang cukup dinamis. Jika ganti pimpinan maka kebijakan juga akan berubah, hal ini berdampak pada pengembangan RS dan pendidikan. Program seperti yang UGM lakukan bisa dijalankan di Nabire. Namun, ketika ada pergantian pimpinan maka kebijakan akan berubah. Universitas Cendrawasih akan membuka membuat prodi anestesi dan bedah saraf bamun masih terkendala RS Pendidikan yang belum terakreditasi.

VIDEO

Selanjutnya Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD memaparkan masalah yang dihadapi oleh bedah saraf, Laksono coba memasukkan dalam pasal seperti SIP dokter jika ada di tempat lain/ daerah, serta mekanisme task shifting. Saat ini ada RPP yang disusun dan perlu dicermati pada pasal 749 yang berbunyi dalam keadaan membutuhkan pemenuhan tenaga medis menteri dapat mengeluarkan SIP. BPJS bisa membayar dokter yang bertugas keliling daerah asalkan ada SIP.

Pada sesi penutup, Haryo menyampaikan pendidikan dokter spesialis ini harus dinilai sebagai investasi jangka panjang oleh daerah serta perlunya pemenuhan hak bagi PPDS yang bertugas di daerah dan pelaksanaan program retensi untuk PPDS yang ditugaskan di daerah.

Reporter: drg. Monica Abigail, MPH (PKMK UGM)

 

 

Reportase Topik Penutup: Studi Kasus Penanganan Diabetes Melitus: Social Development dan Implementasi Undang-Undang Kesehatan dalam Konteks Transformasi Kesehatan di Daerah

JKKI – Yogyakarta. Topik penutup pada Forum Nasional JKKI XIII kali ini mengangkat tema Studi Kasus Penanganan Diabaetes Melitus (DM): Social Development dan Implementasi Undang-Undang Kesehatan dalam Konteks Transformasi Kesehatan di Daerah. Moderator yang membawakan sesi ini adalah drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE.

Sebagai Ketua PKMK UGM, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes, MAS membuka sesi penutupan Fornas ini dengan menggambarkan bahwa situasi Diabetes Melitus saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, yang berdampak pada prevalensi kasus, komplikasi, kematian, dan anggaran. Penanganan masalah ini memerlukan sebuah gerakan sosial, yang mungkin dipicu oleh pengaruh kebiasaan, mobilitas, dan penilaian individu terhadap kesehatan mereka. Saat ini, dari hasil analisis di Yogyakarta, belum terlihat adanya penggerak yang signifikan, sementara di Balikpapan, telah dimulai berbagai inisiatif gerakan sosial. Muncul pertanyaan tentang bagaimana Daerah Istimewa Yogyakarta/ DIY dapat mengembangkan gerakan sosial serupa untuk mengatasi tantangan ini.

VIDEO   MATERI

Dr. Supriyati, S.os, M.Kes sebagai narasumber kedua berbagi materi terkait Integrasi Pendekatan Budaya dalam Penanganan Diabetes Melitus, yang mengambil pelajaran dari pengalaman di kampus dan masyarakat lokal. Tema ini menunjukkan pentingnya memasukkan aspek budaya dalam pencegahan dan penanganan Diabetes Melitus (DM). Salah satu tantangan yang dihadapi adalah pola makan yang tidak sehat, terutama di kalangan generasi muda yang sering disebut sebagai generasi boba, yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit tidak menular/PTM. Dalam konteks ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil, seperti mengubah budaya baru dengan cara yang memungkinkan, seperti denormalisasi pola makan yang tidak sehat. Selain itu, pendekatan lainnya meliputi mendengarkan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, memanfaatkan jaringan sosial, mengkampanyekan keberhasilan program, melibatkan pemimpin lokal, dan belajar dari pengalaman masyarakat. Dengan cara ini, program ini dapat berlanjut secara berkelanjutan dengan peningkatan yang terus-menerus dilakukan.

VIDEO   MATERI

drg. Emma Rahmi Aryani, MM adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang menjadi narasumber kedua dalam acara ini. Beliau membahas topik “Peran Pemuda dalam Pergerakan Sosial untuk Pengendalian Diabetes Melitus secara Komprehensif, Sesuai dengan Prinsip Transformasi Kesehatan di Kota Yogyakarta.” Emma juga memaparkan data yang menunjukkan peningkatan angka kasus PTM, khususnya DM, di Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun. Prevalensi mencapai 4,9% pada  2018. Oleh karena itu, berbagai pelaku telah terlibat dalam penanganan termasuk pemuda yang memiliki peran penting dalam penanganan permasalahan Diabetes Melitus di Kota Yogyakarta. Mereka terlibat dalam berbagai kegiatan, seperti pelayanan kepada masyarakat, organisasi, kerja sama tim, dan kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran sosial. Beberapa kegiatan konkret yang mereka lakukan meliputi posbindu, skrining di sekolah, program kampus sehat, saka bhakti husada, deklarasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) di kalangan pemuda/remaja, serta skrining dalam pentas seni budaya pemuda.

VIDEO   MATERI

Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA sebagai narasumber ketiga, membahas topik “Memikirikan perubahan Perilaku Konsumsi Gula dalam Komunitas Kampung (Indigenous)” dan isu penting terkaitnya. Isu-isu yang diungkapkan mencakup ketergantungan pada praktik dan pola awam, keberadaan komunitas indigenous di lokasi terisolasi, serta kurangnya pendidikan kesehatan. Selain itu, juga dibahas isu-isu kesehatan yang bersifat spesifik, sosial, dan ekonomi.

Dalam konteks ini, terdapat beberapa strategi yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi kebutuhan dan konteks khusus komunitas tersebut. Strategi-strategi ini termasuk integrasi pengetahuan tradisional ke dalam program kesehatan modern untuk mempermudah penerimaan oleh komunitas, pelatihan dan pemberdayaan pemimpin lokal agar menjadi advokat kesehatan di komunitas mereka, pengembangan program edukasi yang sensitif terhadap budaya, bahasa, dan kepercayaan komunitas, serta kemitraan dengan organisasi lokal yang dapat meningkatkan efektivitas program yang bersifat partisipatif.

VIDEO   MATERI

SESI PEMBAHAS

Pada awal sesi pembahasan, drg. Pembajun Setyaningastutie, M.Kes yang merupakan Kepala Dinas Provinsi DIY, memberikan tanggapannya dengan mengajukan pertanyaan mengenai pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dalam penanganan Diabetes Melitus (DM) serta dampaknya terhadap klaim. Kasus DM di kota Jogja menunjukkan tingkat yang cukup tinggi, hampir dua kali lipat dari rata-rata nasional. Data dari Riskesdas juga menunjukkan penurunan aktivitas fisik di DIY dari 2013 hingga 2018.

Meskipun telah ada upaya penganganan dan pencegahan PTM di populasi yang sehat dan berisiko, serta upaya pengendalian PTM, penanganan DM masih belum cukup efektif. Beberapa inisiatif telah dijalankan, seperti program Gendhis Manis dan promosi kesehatan dengan pendekatan CERDIK. Selain itu, aplikasi Gendhis Manis juga menyediakan beragam layanan informasi dan edukasi mengenai DM dan gaya hidup sehat. Saat ini, sedang dikembangkan program “One Student One Family” yang melibatkan mahasiswa universitas sebagai pendamping keluarga dalam upaya penanganan DM.

VIDEO   MATERI

Penanggap kedua adalah dr.. Arida Oetami, M.Kes yang menjabat sebagai Ketua Dewan Litbang DIY. Dalam presentasinya, pihaknya memberikan contoh budaya minum teh manis dan konsumsi makanan manis yang sangat umum di Jogja (panas legi kentel/ Nasgitel). Arida menekankan bahwa budaya-budaya seperti ini sulit untuk dihilangkan meskipun ada kebijakan nasional dan daerah yang berupaya mengatasi masalahnya. Terdapat berbagai tantangan yang dihadapi dalam penanganan masalah budaya ini, termasuk bagaimana cara berbicara dan memberikan edukasi terkait Diabetes Melitus kepada individu yang masih sehat. Komunikasi yang efektif dalam konteks ini menjadi hal yang sangat penting, dan diperlukan kerja sama antara akademisi dan pemerintah untuk menyesuaikan bahasa yang digunakan. Selain itu, Arida menekankan pentingnya penerapan prinsip Pentahelix untuk memperkuat gerakan sosial dalam penanganan diabetes melitus. Ia juga menyoroti perubahan regulasi di beberapa negara terkait pembatasan konsumsi gula dan garam, yang menjadi tantangan tersendiri bagi wilayah seperti Jogja.

VIDEO   MATERI

Pembahas ketiga adalah Rimawan Pradiptyo, dosen di FEB UGM dan juga inisiator Gerakan Sambatan Jogja/SONJO di Jogja. Rimawan memberikan tanggapannya dengan memfokuskan pada pertanyaan, “Mungkinkah Semua di Gotong-Royongkan? Kompleksitas dalam Membangun Modal Sosial.” Pihaknya  memulai dengan mengidentifikasi tiga masalah kunci di Indonesia, yaitu sektor formal, informal, dan aspek kelembagaan. Rimawan menyoroti pentingnya sektor informal, yang secara signifikan menyumbang pada GDP Indonesia, meskipun memiliki risiko tinggi terhadap penyakit tidak menular seperti Diabetes Melitus (DM).

Rimawan mencatat bahwa meskipun dukungan sosial dapat berperan penting dalam penanganan DM, pendekatan ini cenderung kompleks. Orang seringkali kurang memperhatikan risiko DM sampai mereka mengalaminya sendiri. Oleh karena itu, perlu ditemukan cara untuk mengubah perspektif positif dalam mengatasi masalah DM. Pendekatan yang lebih efektif adalah dengan menekankan manfaat pola hidup sehat, seperti olahraga, dan bagaimana hal itu dapat memberikan dampak positif pada kehidupan mereka, alih-alih hanya mengandalkan pendekatan yang menakutkan atau tidak sesuai dengan pemahaman mereka.

VIDEO   MATERI

Wrap up

Sesi kesimpulan disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD dengan harapan untuk Pengembangan Kebijakan Kesehatan Indonesia Berdasarkan UU Kesehatan 2023 sebagai Knowledge Management. Isu undang-undang kesehatan sangat luas, , antar kementerian, dan lainnya. Bagaimana kita membuat program kesehatan yang lebih spesifik. Ada berbagai penanganan di UU, meski terdapat berbagai undang- undang terkait PTM yang akan disesuaikan. Pelaksanaan undang-undang sendiri melalui tahap panjang, mulai agenda setting, perumusan kebijakan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasu, perubahan kebijakan dan pilihan pada kebijakan diteruskan atau dihentikan. Hal itu dapat dilihat dari dua model pelaksanaan penaganann DM antara Balikpapan dan Yogyakarta yang memiliki perbedaan mencolok terkait budaya, partisipasi masyarakat, kepemimpinan daerah, dan ketersediaan anggaran.

Pelaksanaan undang-undang itu sendiri melibatkan serangkaian tahapan yang panjang, mulai dari pengaturan agenda, perumusan kebijakan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, hingga kemungkinan perubahan atau penghentian kebijakan. Ini bisa dilihat dalam dua model pelaksanaan penanganan Diabetes Melitus (DM) antara Balikpapan dan Yogyakarta, yang memiliki perbedaan mencolok terkait budaya, partisipasi masyarakat, kepemimpinan daerah, dan ketersediaan anggaran.

Untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan, akan ada sebuah saluran komunikasi melalui website khusus. Ini akan membantu membentuk Community of Practice (CoP), yang merupakan kelompok yang mendalami isu tertentu dan berbagi pengetahuan. CoP ini bersifat transdisipliner, dengan anggotanya berasal dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang yang berbeda, namun saling terkait.

Untuk informasi lebih lanjut, peserta dapat mengakses website khusus yang telah disediakan, terutama untuk permintaan sertifikat yang memiliki SKP, pengembangan CoP, dan pengelolaan pengetahuan lebih lanjut.

VIDEO   MATERI

Reporter: Faisal Mansur, MPH (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

coba halaman

Bab Judul Diskusi Pasal Paragraf
Bab I Ketentuan Umum    
Bab II Upaya Kesehatan    
Bab III Pengelolaan Tenaga Medis dan Kesehatan    
Bab IV Fasilitas Pelayanan Kesehatan    
Bab V Kefarmasian, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan    
Bab VI Sistem Informasi Kesehatan    
Bab VII Penyelenggaraan Teknologi Kesehatan    
Bab VIII Penanggulangan Kejadian Luar Biasa dan Wabah    
Bab IX Pendanaan Kesehatan    
Bab X Partisipasi Masyarakat    
Bab XI Pembinaan dan Pengawasan
 
 
Bab XII Ketentuan Peralihan    
Bab XIII Ketentuan Penutup    

Reportase Topik 5 Integrasi Kebijakan Tenaga Cadangan Kesehatan dalam Kerangka UU Kesehatan 2023 dengan Rencana Kontijensi Kesehatan di Daerah

PKMK – Pada Selasa, 26 September 2023 pukul 13.00 – 15.00 WIB telah terlaksana Seminar Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (Fornas JKKI) XIII dengan topik “Integrasi Kebijakan Tenaga Cadangan Kesehatan dalam Kerangka UU Kesehatan 2023 dengan Rencana Kontijensi Kesehatan di Daerah”. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid, yakni bertempat di Auditorium Lantai 1 Gedung Tahir Foundation Sisi Utara dan melalui zoom meeting serta youtube streaming. Topik ini diselenggarakan oleh Divisi Manajemen Bencana Kesehatan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) bekerja sama dengan Kelompok Kerja (Pokja) Bencana FK-KMK UGM.

Kegiatan dibuka dengan Pengantar yang disampaikan oleh Sutono, S.Kp., M.Sc., M.Kep selaku Ketua Pokja Bencana FK-KMK UGM. Indonesia dengan beragam jenis potensi bencana yang dimiliki, memacu semua komponen bangsa untuk selalu siap siaga. Kebijakan Tenaga Cadangan Kesehatan (TCK) telah berlangsung selama satu tahun, meski secara mengikat baru tertuang di UU Kesehatan No.17 tahun 2023 yang diresmikan pertengahan tahun ini. Kehadiran kebijakan tersebut sejalan dengan upaya penanggulangan krisis kesehatan di Indonesia. Sutono menyampaikan, dukungan dan upaya peningkatan kapasitas penanggulangan krisis kesehatan terus digalakkan oleh berbagai pihak, termasuk Pokja Bencana FK-KMK UGM yang melakukan pendampingan di daerah, rumah sakit, puskesmas, bahkan komunitas warga. Salah satu bentuk tindak lanjut dari kerja sama di kalangan akademisi adalah pelaksanaan seminar yang bekerja sama dengan Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM.

VIDEO

Acara dilanjutkan dengan sesi inti yang dimoderatori oleh Madelina Ariani, SKM., MPH., selaku Ketua Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM. Materi pertama, tentang “Progres implementasi kebijakan Tenaga Cadangan Kesehatan dalam Kerangka UU Kesehatan 2023 hingga saat ini” disampaikan oleh Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Dr. Sumarjaya, S.Sos., S.K.M., M.M., Mfp, Cfa. Kebijakan TCK termasuk dalam pilar transformasi sistem ketahanan kesehatan. Setelah berlangsung selama 1 tahun, saat ini telah terdapat 11.724 individu yang tergabung dalam dashboard TCK yang terdiri dari tim dan EMT, tenaga kesehatan dan non nakes. TCK terus dikembangkan, dibina, dan ditingkatkan kapasitasnya agar siap ketika dimobilisasi.

VIDEO   MATERI

 

Selanjutnya, disampaikan materi tentang “Integrasi TCK pada Rencana Kontijensi Kesehatan atau Dinkes Disaster Plan” yang diawali oleh Provinsi Papua Barat. Frans Abidondifu, S.KM.,M.Epid menyampaikan bahwa saat ini telah diterbitkan SK tim EMT dan RHA Provinsi, yang menunjukkan bagaimana integrasinya di dalam Renkon atau Dinkes Disaster Plan. Hadirnya kebijakan TCK menurut Frans sangat membantu meningkatkan ketahanan sistem kesehatan daerah. Papua Barat berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas TCK di daerahnya. Namun, perlu dikomunikasikan apakah kegiatan simulasi dan pelatihan peningkatan kompetensi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah.

VIDEO   MATERI

Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Kudiyana, SKM., M.Sc melanjutkan paparan tentang Integrasi Kebijakan TCK dengan Renkon di daerahnya. Berbeda dengan Papua Barat, DIY telah memiliki sistem PSC 119 dan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu yang mampu mengkolaborasikan seluruh komponen ambulans, EMT, dan tim RHA di seluruh wilayah. Seperti Papua Barat, selanjutnya DIY merencanakan untuk melakukan gladi/simulasi penanggulangan krisis setelah menyelesaikan inventaris/pemetaan SDM TCK untuk meningkatkan kapasitas TCK.

VIDEO   MATERI

 

Lalu Madahan, SKM., MPH dari Provinsi Nusa Tenggara Barat menyampaikan bahwa daerahnya telah memiliki roadmap tangguh bencana yang melibatkan TCK di dalamnya. NTB juga telah memetakan SDM Kesehatan pada kondisi normal dan surge capacity jika terjadi bencana sesuai jenis bencana yang menjadi hasil analisis risiko Provinsi NTB. Meski begitu, Lalu Madahan menyampaikan bahwa beberapa tantangan yang dihadapi NTB adalah masih tingginya ego sektoral di internal Dinas Kesehatan, sistem SPGDT yang belum terkoneksi sepenuhnya, dan hambatan birokrasi.

VIDEO   MATERI

 

Materi ketiga dipaparkan oleh Sutono, S.Kp., M.Sc., M.Kep., terkait “Penguatan kapasitas jejaring AHS UGM untuk mendukung kebijakan TCK”. AHS UGM (Academic Health System UGM) adalah bentuk kerjasama antara institusi pendidikan tinggi, rumah sakit, dan pemerintah. Salah satu topik prioritasnya adalah tanggap darurat bencana kesehatan yang di dalamnya memuat misi mengintegrasikan kebijakan TCK di wilayah kerjanya. Sutono menyampaikan, saat ini telah dilakukan sosialisasi pembentukan EMT di RS jejaring AHS yang selanjutnya akan dilakukan pendampingan pembentukan EMT.

VIDEO   MATERI

 

Pembahas topik ini, yakni Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid selaku Konsultan Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM menyampaikan bahwa belajar dari kejadian Bencana Gempa Bumi Cianjur, terdapat 4 konsep TCK yakni TCK untuk fungsi RHA (Rapid Health Assessment), TCK sebagai tenaga inti di faskes masing-masing, TCK sebagai tenaga cadangan di daerah yang memerlukan bantuan, dan TCK melalui sistem komando HEOC. Gde menyampaikan kebijakan TCK sudah diamini oleh daerah, namun bagaimana kemudian daerah dapat menggunakan dashboard TCK dan peningkatan kapasitas serta penggunaannya pada fase krisis kesehatan perlu dikawal.

Pembahas berikutnya, Drs. Pangarso Suryotomo selaku Direktur Kesiapsiagaan BNPB menuturkan bahwa TCK menjadi bagian penting dari penanggulangan bencana kesehatan. Pangarso menyoroti bagaimana peran antar pihak dalam mengaktifkan TCK yang belum terlihat dalam paparan masing-masing daerah yang perlu ditilik kembali pada Renkon Daerah, terutama kaitannya dengan Klaster Kesehatan. Dalam mandat Renkon Bencana, tiap bencana memiliki rencana sendiri, sehingga peran TCK harus didefinisikan pula tiap jenis bencana yang dimaksud. Meski tenaga sudah ada, tapi seringkali rencana kebencanaan belum tersusun dengan baik. Sehingga rencana kontijensi yang berbentuk single hazard harus dikombinasikan dengan risiko lainnya membentuk rencana aksi dan SOP untuk TCK, serta dapat digunakan untuk menyusun rencana peningkatan kapasitas dan latihan.

VIDEO   MATERI

Dari topik ini, kita melihat bahwa Kebijakan TCK telah terintegrasi dalam Rencana Kontijensi Daerah dan disambut baik oleh daerah. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menindaklanjuti Rencana Kontijensi menjadi Rencana Aksi dan SOP yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar untuk membentuk pelatihan dan rencana peningkatan kapasitas TCK di daerah.

 

 

 

Reportase Topik 6 Pengembangan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) Amanah UU Kesehatan Nomor 17/ 2023 untuk Memperkuat Pendanaan Kesehatan dalam Kerangka Implementasi Transformasi Kesehatan

Dalam sesi pembukaan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD selaku Ketua JKKI menyampaikan bahwa pembiayaan kesehatan menjadi salah satu tantangan dalam transformasi kesehatan di Indonesia. Menurut Laksono, situasi anggaran pemerintah Indonesia dengan pertumbuhan GDP yang tinggi namun pendapatan perpajakan terus menurun. Di sisi lain, pendanaan swasta belum banyak berperan di tengah pertumbuhan APBN yang semakin tinggi. Pada UU Kesehatan tahun 2009 telah memuat mandatory spending kesehatan dari APBN dan APBD. Namun, ada kesalahpahaman dalam memahami mandatory spending. Kondisi pendanaan kesehatan Indonesia juga masih under spending sehingga perlu memeratakan pendanaan pemerintah dan BPJS Kesehatan. Pendanaan tersebut perlu dikaitkan dengan kinerja. Untuk itu, Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) perlu dikembangkan hingga sampai 5 tahun.

VIDEO   MATERI

Narasumber pertama disampaikan oleh M Faozi Kurniawan, SE. Akt, MPH dari PKMK FK-KMK UGM. Faozi menyatakan terdapat kenaikan APBN dan APBD setiap tahun yang belum berdampak pada outcome kesehatan. UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 menjadi peluang untuk mendorong lintas Kementerian/Lembaga untuk melaksanakan sinkronisasi dan koordinasi dalam mencapai kinerja kesehatan. Regulasi ini mengamanatkan agar pemerintah pusat dan daerah dalam mengalokasikan anggaran kesehatan baik dari APBN maupun APBD harus sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja. RIBK ini akan memperjelas arah kebijakan dan strategi di RPJMD dan Renstra Dinas Kesehatan. Selain itu, akan pemerataan pelayanan kesehatan untuk mencapai outcome kesehatan yang diharapkan.

VIDEO   MATERI

Narasumber kedua disampaikan oleh Indra Yoga, SKM, MKM, Tim Health Account dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Kesehatan dan Desentralisasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Yoga menyatakan Menteri Kesehatan mengarahkan agar meningkatkan kualitas belanja dan kualitas layanan menjadi perhatian. Salah satu faktornya adalah belanja kesehatan yang terus meningkat namun perbaikan capaian kesehatan masih terbatas. Melalui penguatan Transformasi Kesehatan dan dukungan lintas sektor mendorong untuk melakukan transformasi penganggaran dari mandatory spending menjadi penganggaran berbasis kinerja yang disusun dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK). Ada 4 Prinsip dalam RIBK antara lain 1) Penganggaran berbasis kinerja; 2) penganggaran kolaboratif; 3) penerapan penganggaran jangka menengah; dan 4) sinkronisasi belanja pusat dan daerah. Kedepannya, RIBK akan menjadi acuan lintas sektor dalam perencanaan dan pengalokasian anggaran untuk mencapai target bidang kesehatan.

VIDEO   MATERI

Narasumber ketiga disampaikan oleh Dr. dr. Dwi Handono. M.Kes selaku Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM. Dwi menyampaikan bahwa definisi, tujuan dan kedudukan Rencana Induk Bidang Kesehatan perlu diperjelas. Selain itu, RIBK berpotensi terjadi duplikasi dengan Renstra Kemenkes dan KL dan di level daerah berpotensi terjadi reaksi negatif dari bidang lain. Usulan menu DAU Spesifik grant bidang kesehatan dari Kemenkes dan Kemenkeu berdampak pada prioritas daerah serta kesehatan akan mendominasi RPJMD. Tantangannya, upaya kesehatan yang tidak diprioritaskan serta tidak jelas pendanaannya.

VIDEO   MATERI

 

Narasumber ke-4 disampaikan oleh Setiyo Harini, SKM., M.Kes selaku Kepala Bidang Perencanaan Program, Dinas Kesehatan DI Yogyakarta. Setyo menyampaikan fase perencanaan dimulai dari fase tradisional hingga money follow result untuk mencapai efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas. Kondisi di daerah, sumber anggaran kesehatan yang bervariasi memiliki keunikan masing-masing sehingga perlu menjadi perhatian dalam penyusunan perencanaan. Berbagai regulasi pendanaan kesehatan menuntut pemerintah daerah untuk adaptif, selektif dan Inovatif. Adanya RIBK membuat daerah menyesuaikan kembali perencanaan penganggarannya yang berdampak juga pada perencanaan tahunan dan jangka menengah OPD di daerah. Di sisi lain, pola pikir RIBK juga sudah sejalan dengan arahan Gubernur DIY untuk menyelaraskan program dan kegiatan dari semua sektor untuk masyarakat yang sehat. 

VIDEO   MATERI

 

Sesi Pembahas

Pembahas pertama disampaikan oleh Pugo Sambodo, SE. PhD selaku Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Pugo menyampaikan pentingnya peran swasta dalam RIBK. Terjadinya underspending untuk bidang kesehatan sehingga perlu cara untuk menstimulasi swasta/NGO/BUMN/BUMD bisa lebih banyak berkontribusi. Selain itu, perlu mendorong pertumbuhan fasilitas kesehatan swasta untuk mengurangi kesenjangan layanan kesehatan. Dari sisi performance based budgeting, membutuhkan pemikiran yang matang sebelum diimplementasikan di tengah keterbatasan kapasitas pemerintah daerah.

VIDEO   MATERI

 

Pembahas kedua disampaikan oleh Dr. dr. Sutopo Patria Jati, M.M., M.Kes selaku Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. Sutopo menyampaikan RIBK perlu ada sinkronisasi antara pusat dan daerah utamanya sinkronisasi kegiatan prioritas bidang kesehatan dalam RPJMN 2025-2029. Di sisi lain, kebijakan lain yang relevan seperti SPM dan 23 upaya kesehatan dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2013, serta enam pilar transformasi kesehatan agar dapat dijadikan acuan untuk penyusunan RIBK. Sinkronisasi ini penting untuk menghindari overlapping dalam isi RIBK.

VIDEO   MATERI

 

Penutup disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD. Prof. Laksono menyampaikan closing statement bahwa RIBK merupakan sesuatu yang baru yang masih disusun regulasi turunannya dalam bentuk Peraturan Presiden yang akan dilaksanakan pada  2024. Akan muncul berbagai potensi tantangan dalam implementasi RIB seperti sumber dana yang beragam, penguatan pendanaan di pusat dan daerah, serta peran stakeholder non kesehatan. Adanya RIBK diharapkan memberikan dorongan untuk peran-peran multi stakeholder untuk kesehatan dan membangun konsolidasi pemerataan layanan kesehatan.

VIDEO   MATERI

 

Reporter: Candra, MPH (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

Reportase Topik 4 Peluang Memperbaiki Ekosistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Pasca Ditetapkannya UU No.7/2023 tentang Kesehatan

Topik 4 Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia mengangkat judul “Peluang Memperbaiki Ekosistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Pasca Ditetapkannya Undang-Undang Kesehatan”. Kegiatan tersebut diselenggarakan pada selasa 26 September 2023, pukul 10.00-12.00 WIB, bertempat di Auditorium Gedung Tahir Lantai 1 FKKMK UGM.

Topik 4 ini dibuka oleh Ni Luh Putu Eka Andayani, SKM., M.Kes. (Kepala Divisi Manajemen RS PKMK FKKMK UGM). Dalam pembukaannya, Putu menyampaikan bahwa Indonesia sudah beranjak dari negara berkembang menjadi negara maju, namun banyak hambatan yang saat ini masih dihadapi. Hambatan tersebut antara lain masih adanya kesenjangan baik infrastruktur, SDM, pendidikan maupun akse kesehatan yang belum merata di berbagai daerah. Permasalahan di atas menjadikan Indonesia kehilangan opportunity cost yang besar. Beranjak dari hal tersebut, Kementerian Kesehatan RI melakukan revisi kebijakan jangka panjang melalui transformasi kesehatan. Transformasi ini tentunya akan berdampak pada ekosistem layanan kesehatan khususnya terkait dengan rujukan. Disisi lain, Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang baru saja disahkan. Dalam forum ini, diharapkan akan muncul masukan dan pemikiran terkait dengan aturan turunan khususnya terkait pada ekosistem rujukan pelayanan kesehatan.

VIDEO   MATERI

 

SESI PEMAPARAN

Eniarti, Sp. KJ, M.Sc., MMR. (Direktur RSUP Dr. Sardjito)

Beranjak ke narasumber pertama adalah dr. Eniarti, Sp. KJ, M.Sc., MMR. (Direktur RSUP Dr. Sardjito) mengangkat judul “ Konsep dan Tata Kelola Pengampuan Layanan Unggulan Kanker di Indonesia: Bagaimana optimalisasinya?”. Eniarti menyampaikan pengalaman implementasi transformasi kesehatan di RSUP Dr. Sardjito sejak 2022. Sebagai rumah sakit vertikal, RSUP Dr. Sardjito ditunjuk oleh Kementrian Kesehatan RI menjadi pengampu layanan unggulan kanker berbagai rumah sakit di daerah, antara lain di Yogyakarta, Kalimantan dan Sulawesi. Dalam pengampuan tersebut, RSUP Dr. Sardjito melakukan assessment terhadap rumah sakit yang diampu kemudian penentuan strata layanan unggulan kanker, dan dilanjutkan dengan upaya pemenuhan peralatan dan SDM. Selain itu, RSUP Dr. Sardjito juga melakukan MOU dengan kepala daerah dalam hal agar memiliki kesepahaman dalam pengembangan rumah sakit layanan unggulan kanker.

VIDEO   MATERI

 

Novita Krisnaeni, M.P.H. (Direktur RSUD Sleman)

Narasumber kedua dr. Novita Krisnaeni, M.P.H. (Direktur RSUD Sleman) menyampaikan materi dengan judul “Penerjemahan Transformasi Layanan Rujukan di Rumah Sakit Daerah: Studi Kasus Pengembangan Layanan Kanker”. Novita menyampaikan pengalaman RSUD Sleman dalam menerapkan transformasi layanan unggulan kanker. RSUD Sleman merupakan rumah sakit yang diampu oleh RSUP Dr. Sardjito dalam pengembangan layanan unggulan kanker. Saat ini RSUD Sleman merupakan rumah sakit madya layanan unggulan kanker, dengan strata tersebut RSUD Sleman masih belum puas, hal ini dikarenakan strata madya hanya memberikan layanan bedah dan kemoterapi. Ke depan RSUD Sleman berencana akan mengembangkan layanan radioterapi. Keseriusan ini ditunjukkan dengan sudah dipersiapkannya lahan untuk pengembangan layanan radioterapi.

VIDEO   MATERI

 

drg. Yuli Astuti Saripawan, M.Kes (Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan)

Narasumber ketiga drg. Yuli Astuti Saripawan, M.Kes (Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan) menyampaikan materi “Gambaran Besar Transformasi Layanan Rujukan sebagai Amanat UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan”. Yuli menyampaikan kebijakan-kebijakan terkait layanan rujukan yang saat ini ada dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Selain itu, Yuli juga menjelaskan pengembangan fasilitas layanan kesehatan pada UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dimana pada 2024 Kemenkes mengembangkan jumlah fasilitas layanan kesehatan, jejaring pengampuan layanan prioritas, transformasi layanan RS vertikal dan penguatan teknologi informasi pelayanan spesialistik.

VIDEO   MATERI

 

SESI TANGGAPAN

Pada sesi tanggapan, dr. Bambang Wibowo, Sp.OG(K), MARS (Ketua PERSI), menyampaikan bahwa UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan masih memerlukan aturan pendukung terutama terkait dengan layanan rujukan. Kebijakan implementasi layanan rujukan saat ini masih berfokus pada input saja (SDM peralatan dan sarana prasarana), ke depan harapannya bisa melakukan pendekatan dalam proses dan outcome-nya. Selain itu, integrasi antara pengembangan layanan dan penetapan tarif perlu untuk segera dilakukan. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah kode etik rujukan, jangan sampai rujukan menjadikan kerugian kepada pasien dan keluarganya.

VIDEO   MATERI

 

Sementara itu, dr. Zainoel Arifin, M.Kes (Ketua ARSADA) memberikan tanggapan bahwasanya transformasi sistem kesehatan memberikan peluang yang luas bagi rumah sakit daerah untuk mengembangkan layanan sesuai dengan keunggulannya. Hambatan yang sering dihadapi rumah sakit daerah antara lain regulasi, dukungan pemerintah daerah, pemenuhan SDM, tarif INACBG’s, kredensialing pengembangan layanan oleh BPJS yang lama. Harapan dari ARSADA hambatan dapat untuk diurai dan menjadikan rumah sakit daerah lebih mudah dalam menjalankan transformasi kesehatan.

VIDEO   MATERI

Haryo Bismantara, MPH (Peneliti Divisi Rumah Sakit, PKMK FK-KMK UGM) memberikan tanggapan berupa wacana apakah rumah sakit dapat diredefinisi sebagai medical center? Apakah dalam tranformasi kesehatan terutama layanan rujukan dapat melibatkan swasta dan rumah sakit pendidikan? Apakah rumah sakit perguruan tinggi negeri dapat menjadi pembina bagi rumah sakit lain? Pada penutupnya Haryo menyampaikan bagaimana menerjemahkan transformasi layanan rujukan dari program yang pusat-sentris menjadi program mandiri yang dikelola oleh pemerintah daerah.

VIDEO   MATERI

Pada sesi diskusi dan tanya jawab,  Cahyana dari UKDW menyampaikan bagaimana posisi rumah sakit pendidikan dan rumah sakit swasta dalam ekosistem layanan rujukan ini? Apakah ada peluang untuk dilibatkan dan ikut berkembang bersama-sama dengan rumah sakit pemerintah. Yuli menanggapi bahwa dalam UU Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan rumah sakit yang disebutkan tidak spesifik ke rumah sakit pemerintah saja, sehingga pada dasarnya ada peluang ke depan untuk melibatkan rumah sakit swasta/nirlaba dan pendidikan dalam jejaring rumah sakit rujukan.

Reporter: Barkah Wahyu P, SE, Ak (Divisi Manajemen Rumah Sakit, PKMK UGM)

 

 

Reportase Topik 2 Transformasi Sistem Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Obesitas di Indonesia

Masih dalam rangkaian acara Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia 2023, Pusat Kebijkan dan Manajemen Kesehatan FK–KMK UGM dan JKKI menyelenggarakan seminar “Transformasi Sistem Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Obesitas di Indonesia” pada Senin (25/9/2023).  Kegiatan ini merupakan topik 2 dalam forum nasional JKKI tahun ini.

Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS selaku Ketua Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), FK-KMK UGM saat membuka seminar ini, terkait isu obesitas saat ini diperlukan aturan turunan agar Undang-Undang Kesehatan 2023 ini menjadi aturan teknis yang dapat diimplementasikan di lapangan. Salah satunya agar akses pangan dapat diakses oleh semua kalangan. Setelah memiliki UU yang kuat, maka berikutnya adalah bagaimana membuat ekosistem yang baik untuk pencegahan dan pengendalian obesitas dengan menajamkan kontekstualisasi di Indonesia dalam adaptasi strategi dari negara lain.

VIDEO

 

Alison Feeley, Ph.D selaku Nutrition Specialist Regional Office UNICEF juga menambahkan bahwa banyak sekali tantangan yang harus dihadapi khususnya pada anak dan remaja dalam hal pencegahan dan pengendalian obesitas. Konflik yang muncul adalah fastfood, menyebabkan banyak sekali malnutrisi. Terlebih paparan informasi makanan yang tidak sehat, termasuk di media sosial. Sehingga hak anak-anak untuk mendapat makanan sehat tidak terlalu diperhatikan dan pada akhirnya sangat berisiko mengalami malnutrisi.

VIDEO

 

 

Kegiatan seminar di sesi pertama ini dipandu oleh Tri Muhartini, MPA selaku moderator. Narasumber pertama yaitu Dr. dr. Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD-FINASIM menyampaikan bahwa adanya keterpaparan dan kerentanan terpadu maka timbul potensial dampak dari Diabetes Melitus, yakni obesitas. Berdasarkan peta persebaran dampak di Kota Semarang, terlihat adanya warna merah yang menunjukkan wilayah yang perlu diwaspadai. Pada paparan pertama ini, ketersediaan data terbaru baik itu mengenai aktivitas fisik maupun konsumsi makanan yang paling banyak dipesan, dapat menciptakan suatu program yang inovatif, antara lain: Program Layanan Warga Semarang Sehat Setiap Waktu (Lawang Sewu) yang ditujukan untuk masyarakat umum dan Pelayanan & Edukasi Kesehatan Terpadu Pelajar (Piterpan). Per 2023, kegiatan tersebut telah dilakukan di 177 kelurahan dan terdapat peningkatan pengetahuan gizi pada pelajar.

VIDEO   MATERI

 

Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes menyatakan bahwa secara umum, Indonesia memiliki rapor merah terkait kesiapan terhadap pencegahan dan pengendalian obesitas. Untuk itu, Indonesia mencoba mengejar ketertinggalan dengan merevisi target RPJMN dan juga Renstra terkait capaian skrining obesitas dan PTM. Hal serupa juga diintegrasikan dengan enam pilar transformasi kesehatan dengan arah kebijakan yang spesifik sebagai bentuk komitmen pemerintah. Tidak hanya itu, strategi pencegahan dan pengendalian obesitas dibagi menjadi dua yaitu ditujukan kepada populasi sehat berupa promosi kesehatan yang dilakukan di Posyandu maupun Posbindu PTM dan ditujukan kepada populasi dengan obesitas melalui pengendalian faktor risiko PTM terintegrasi yang dapat dilakukan di FKTP.

VIDEO   MATERI

 

Digna Niken Purwaningrum, MPH., Ph.D pada sesi ini menyampaikan determinan terjadinya obesitas di Indonesia berdasarkan kerangka siklus kehidupan dan sosio-ekologi. Langkah ke depan yang perlu dilakukan adalah mengintegrasikan dengan transformasi kesehatan pada pilar satu yaitu menangani obesitas sebelum penyakit penyerta muncul, pada pilar keempat yaitu alokasi anggaran BPJS Kesehatan untuk obesitas, pada pilar kelima yaitu melibatkan kontribusi dari psikolog untuk mengatasi secara komprehensif dan pilar keenam yaitu adanya aplikasi atau platform untuk deteksi dini mandiri, monitoring dan promosi kesehatan. Transformasi kesehatan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang valid dan reliable yang kemudian dapat diramu menjadi kebiijakan obesitas ke depannya.

VIDEO   MATERI

 

Sesi Diskusi

Pada sesi ini, sejumlah pakar dari UGM memberikan tanggapan. Prof. dr. Madarina Julia, Sp.A(K), MPH., Ph.D. selaku penanggap menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dalam pencegahan obesitas. Beberapa diantaranya yakni manajemen BBLR menggunakan data terbaru, karena hingga saat ini belum ada program terkait pemberian makanan pada bayi BBLR agar tidak menjadi calon obesitas. Sementara dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH., Ph.D menambahkan perilaku yang sifatnya voluntary behavior, seringkali tidak disadari bahwa perilaku tersebut dapat memicu suatu masalah. Oleh karena itu, program yang dirancang harus mendorong partisipasi masyarakat dan peran Kementerian dan Dinas Kesehatan berfungsi sebagai pengawas, sehingga tidak berfokus di pusat.  Penanggap ketiga yaitu dr. Irma Sri Hidayati, M.Sc., Sp.A. menyampaikan bahwa sesungguhnya pencegahan atau deteksi dini ini dapat dilakukan melalui integrasi layanan primer.

VIDEO

Pada sesi kedua, Astrid Citra Padmita, S.KM, M.Sc memimpin jalannya diskusi. Narasumber pertama pada sesi kedua yaitu David Colozza, Ph.D selaku Nutrition Section, UNICEF Indonesia. Strategi pencegahan obesitas yang dapat diadaptasi di Indonesia ini masih memerlukan penilaian secara holistik untuk bisa mendukung lingkungan yang dapat menekan angka obesitas melalui empat aspek yaitu: dukungan kebijakan dan pemerintah terutama kolaborasi lintas sektor dan kapasitas dan kesadaran di level lokal. Kedua yaitu sistem dan pelayanan Kesehatan yang mendorong adanya ketersedian dan kualitas dari program spesifik obesitas. Ketiga yaitu kebijakan gizi spesifik, utamanya yaitu cukai pada makanan berpemanis dan pemberian insentif untuk makanan sehat. Keempat yaitu kebijakan gizi sensitif terkait program perlindungan sosial dan kedaruratan, regulasi terkait aktivitas fisik dan akses minum yang aman.

VIDEO   MATERI

 

Narasumber kelima pada seminar ini yaitu Dr. Saipin Chotivichien dari Director of Bureau of Nutrition, Department of Health, Thailand. Program utama di Thailand terkait obesitas yang dapat dijadikan pembelajaran untuk Indonesia terbagi menjadi lima fokus utama yaitu pertama regulasi terkait cukai pada minuman berpemanis dan pembatasan iklan makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi perilaku Kesehatan pada anak. Kedua, ketersediaan Healthy Choice pada kantin sehat. Ketiga kampanye nasioanal aktivitas fisik, “Kao-Ta-Jai” yaitu national step challenge. Keempat yaitu kebijakan pelabelan makanan berupa logo pilihan makanan lebih sehat dan kelima adalah intervensi berbasis lokasi misalnya pemberian makanan pada pada 2500 HPK dan kebijakan di lingkungan sekolah berupa Global Standards for Health Promoting School (GSHPS), Sistem Monitoring Pertumbuhan, Program Pemberian Makanan di sekolah dan One School One Health Teacher yang bertanggung jawab atas literasi kesehatan siswa.

VIDEO   MATERI

 

Reporter:
Dian Puteri Andani (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

Reportase Topik 3 Transformasi Layanan Primer Melalui Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer yang Tercermin dalam UU Kesehatan

Forum Nasional (Fornas) Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XIII tahun ini diselenggarakan oleh JKKI bekerjasama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada dengan tema “Peningkatan Kapasitas Daerah dalam Menjalankan Kebijakan Transformasi Sistem Kesehatan Nasional dan UU Kesehatan”. Fornas XIII JKKI digelar selama 3 hari yaitu pada 25 – 27 September 2023 dengan 7 topik dan 1 agenda penutup. Pada 25 September 2023 pukul 13.00 – 15.00 WIB diselenggarakan salah satu rangkaian Fornas JKKI XIII yaitu Kegiatan Topik 3 terkait pelayanan Kesehatan primer yang berjudul “Transformasi Layanan Primer Melalui integrasi Pelayanan Kesehatan Primer yang Tercermin dalam UU Kesehatan”. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid.

Tujuan pelaksanaan kegiatan topik 3 adalah memberikan penjelasan konsep dan pelaksanaan integrasi layanan primer (ILP), pemaparan terkait best practice pelaksanaan ILP di Kabupaten Sumbawa Barat serta peran konsorsium dalam perluasan ILP. Sandra Frans, MPH selaku MC kegiatan topik 3 dan dimoderatori oleh Mentari Widyastuti, MPH. Adapun beberapa narasumber yaitu dr. Feby Anggraini, MKK, selaku Kasubag Administrasi Umum Direktorat Tata Kelola Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Dr. dr. Trihono, M.Sc. selaku Senior Technical Advisor Thinkwell Institute dan Sulastri, SKM selaku Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu, terdapat juga pembahas yang memberikan tanggapannya terkait topik 3 yaitu Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, M.A., selaku Ketua Program Studi IKM, FK-KMK, UGM, Shita Listyadewi selaku Konsultan PKMK UGM, dan Aufia Espressivo selaku Research and Development Manager CISDI.

Pembukaan Fornas JKKI XIII Topik 3 diawali dengan sambutan oleh Shita Listyadewi sebagai Wakil Direktur PKMK FK-KMK UGM. Gambaran terkait rangkaian kegiatan fornas JKKI XIII dapat dicek melalui website berikut www.kebijakankesehatanindonesia.net. Fornas XIII berusaha membahas terkait kasus-kasus “akar rumput” yang muncul dimasyarakat, tenaga kesehatan, kader kesehatan sehingga memicu adanya proses pemantauan dan evaluasi kebijakan untuk melihat apakah kebijakan atau konsep yang dimunculkan di UU Kesehatan dapat diimplementasikan secara baik. Topik 3 membahas terkait transformasi layanan primer. Transformasi kesehatan dilakukan untuk memperkuat sistem kesehatan dan salah satunya berfokus pada transformasi layanan primer yang merupakan salah satu pilar yang menopang sistem kesehatan dan memiliki banyak komponen. Integrasi pelayanan kesehatan primer memiliki beberapa poin kunci yaitu pendekatan siklus hidup, mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memperkuat pemantauan wilayah setempat.

VIDEO

SESI PEMAPARAN

Pada sesi pertama, dr. Feby Anggraini, MKK, menjelaskan terkait kebijakan integrasi pelayanan kesehatan primer. Latar belakang perlunya pendekatan integrasi layanan kesehatan primer adalah 1) 12 indikator standar pelayanan minimal (SPM) tahun 2020 – 2022 belum ada yang memenuhi target 100%, SPM ini adalah standar layanan yang menjadi tolak ukur keberhasilan pelayanan kesehatan di daerah, 2) berdasarkan pemetaan life cycle, sebagian besar penyakit yang terjadi di Indonesia merupakan penyakit yang dapat dicegah, 3) terjadi perubahan pola penyakit dan 4) beban pembiayaan terbanyak dari penyakit tidak menular. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan baru untuk memperluas jangkauan layanan FKTP di setiap kelompok usia, tidak hanya melalui puskesmas/ klinik saja, namun dipermudah sampai tingkat desa/kelurahan melalui Pustu, Poskesdes, dan Posyandu. Tranformasi akan dilakukan melalui siklus hidup, dengan pendekatan 5 klaster yaitu klaster manajemen, ibu dan anak, usia dewasa dan lansia, penanggulangan penyakit menular dan lintas klaster. Pada 2019 dilaksanakan uji coba ILP di 9 lokus puskesmas dan diharapkan pada 2024 dapat dilakukan scale up ILP secara nasional. Terdapat tujuh poin penting yang dibutuhkan untuk keberhasilan ILP yaitu : adanya regulasi, anggaran untuk pengembangan ILP, pemenuhan SDM, infrastruktur (sarpras dan alkes), implementasi ILP di daerah dilakukan sesuai dengan komitmen pemda/pemkab, monev yang rutin dilakukan, serta digitalisasi agar data PWS dan monev dapat ditelusuri melalui dashboard. Integrasi layanan primer butuh banyak dukungan dan penguatan dari sektor lainnya sehingga dapat menuju Indonesia Sehat.

VIDEO

Pada sesi kedua, Dr. dr. Trihono, M.Sc., memaparkan terkait integrasi pelayanan kesehatan primer dan peran Konsorsium Pelayanan Kesehatan Primer di Indonesia. Terdapat 6 pilar transformasi kesehatan yaitu transformasi layanan primer, layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, SDM Kesehatan dan teknologi kesehatan. Dari keenam pilar tersebut, transformasi layanan primer dan digitalisasi kesehatan merupakan pilar yang penting dan memiliki tantangan yang besar pada pelaksanaan transformasi kesehatan. Integrasi pelayanan kesehatan primer berbasis wilayah melibatkan puskesmas, pustu prima dan posyandu dengan pendekatan life cycle. Namun, pelayanan untuk remaja/usia sekolah dan usia produktif kurang berkembang jika berbasis wilayah, sebaiknya layanan untuk remaja, intervensi dilakukan di sekolah melalui UKS/M sedangkan usia produktif perlu dijangkau melalui upaya kesehatan kerja (UKK) ditempat kerja berkolaborasi dengan sektor lain. Posyandu saat ini masih terpecah-pecah yaitu ada posyandu untuk balita, lansia, posbindu PTM dan posyandu remaja, sehingga dengan adanya transformasi layanan kesehatan maka posyandu akan diintegrasikan menjadi 1 agar menjadi efektif dan efisien dimana posyandu akan melayani seluruh siklus hidup. Pilot ILP yang dilaksanakan di 9 Kabupaten membuktikan bisa menangkap “missing service” pelayanan kesehatan di masyarakat. Konsorsium sebagai mitra untuk belajar bersama terkait transformasi pelayanan kesehatan primer. Saat ini dilakukan di 4 kabupaten (Badung, Pidie, Sumbawa Barat dan Garut) dimana melibatkan pemerintah tingkat nasional, daerah, ThinkWell, universitas dan NGO.

VIDEO   MATERI

Pada sesi ketiga, Sulastri, SKM menyampaikan terkait best practice penerapan integrasi pelayanan Kesehatan primer di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Sejak tahun 2017, KSB telah menerapkan posyandu keluarga dengan pendekatan pelayanan pada siklus hidup dan telah berkembang menjadi posyandu keluarga gotong royong dalam upaya memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Fokus transformasi pelayanan kesehatan primer di KSB adalah 100% masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan primer berkualitas, tersedia 9 unit faskes primer dengan fasilitas dan SDM terstandarisasi dan diharapkan 100% wilayah dan kondisi kesehatan penduduk termonitor secara berkala.  Pelaksanaan ILP di KSB mendapatkan dukungan kuat oleh pimpinan daerah,  dukungan regulasi, dukungan pendanaan, serta dukungan sektor luar (CSR). Beberapa upaya yang telah dilakukan dinkes untuk mempercepat penerapan ILP di KSB yaitu : (1) Pendataan SDM, infrasturktur, sarana prasarana  dan alkes di semua puskesmas, (2) Melaksanakan sosialisasi di tingkat kecamatan, (3) Penataan pelayanan ruangan di puskesmas sesuai klister, (4) Melakukan pertemuan dengan puskesmas baik daring maupun luring, (5) Melakukan advokasi dan koordinasi dengan pemerintah desa (melalui puskesmas), (6) Pendampingan ILP ke puskesmas dan posyandu prima, (7) Melakukan kunjungan kaji banding, (8) FGD tindak lanjut ILP, (9) Pelatihan dan peningkatan kapasitas kader posyandu prima dan posyandu keluarga gotong royong, (10) komitmen bersama kepala dinas kesehatan dan kepala puskesmas se-KSB dalam penerapan ILP. Namun dalam pelaksananaya terdapat kendala yang dihadapi dalam penerapan ILP di KSB yaitu masih adanya ego program dan digitalisasi kesehatan.

VIDEO   MATERI

SESI TANGGAPAN

Pada sesi selanjutnya, Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, M.A. memberikan tanggapan terkait Pembelajaran Penguatan Sistem Kesehatan Daerah dalam  kaitannya untuk Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer. Terdapat beberapa isu di daerah dalam hal penerapan ILP yaitu transformasi masih berpusat ke nasional sehingga kurang terlihat peran pemda, tantangan birokrasi masih sangat terlihat terutama dari sistem pelaporan dan efektivitas anggaran, perfomance based minim karena birokrasi program yang masih dominan. Dalam pelaksanaan transformasi layanan kesehatan perlu adanya pola transformasi yang kuat dimana perlu adanya case manager ditingkat desa yang dapat mengukur perfomance based yang berbasis keluarga atau berbasis desa selain berbasis penyakit. Selain itu, upaya transformasi harus jelas sistematika pelaksanaannya sehingga desa/daerah (pimpinan) harus dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri bukan diserahkan kepada puskesmas atau tingkat diatasnya dan konsep tenaga kesehatan adalah yang membantu atau mendukung untuk menyelesaikan masalah yang ada.

VIDEO   MATERI

Pembahas selanjutnya disampaikan oleh Shita Listyadewi tentang peran universitas dalam pilot project terkait integrasi pelayanan kesehatan primer. Adapun peran universitas melalui konsorsium universitas untuk evaluasi IPKP adalah menilai kinerja sistem kesehatan dari kabupaten ke puskesmas sampai tingkat desa (Pustu) dan dusun (Posyandu), melakukan analisis efek pembiayaan kesehatan terhadap kinerja sistem kesehatan, melakukan analisis impelementasi pilot IPKP dan potensi perluasan IPKP serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk mendukung keberlanjutan IPKP. Selain itu, universitas berperan aktif dalam diskusi pakar pembahasan RPP dan regulasi pemerintah selanjutnya, di UGM telah mengembangkan platform untuk mendukung implementasi IPKP, knowledge management dan knowledge sharing mengenai ILP yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran oleh banyak pihak, memberikan kesempatan bagi mahasiswa pascasarjana untuk terlibat dalam penelitian dan pemantauan ILP di daerah.

VIDEO   MATERI

Selanjutnya terkait Peran Kader Kesehatan  dalam transformasi layanan Kesehatan Primer dibahas oleh oleh Aufia Espressivo. Peran kader yang diperoleh dari hasil pembelajaran Survei Nasional Puskesmas selama pandemi COVID-19 yang dapat dijadikan masukan dalam integrasi layanan kesehatan primer yang melibatkan kader Kesehatan adalah kader berperan dalam aktivitas surveilans berbasis masyarakat dan memastikan layanan esensial di puskesmas. Terdapat beberapa hal yang diperlu diperhatikan ketika melibatkan kader adalah memberikan rekognisi pada kader berdasarkan tanggung jawab yang diberikan, membentuk mekanisme remunerasi sesuai beban kerja, melakukan pengawasan yang terdokumentasi dengan jelas.

VIDEO   MATERI

 

Reporter : Siti Nurfadilah H. (Divisi Public Health, PKMK UGM)