25 Oktober 2021

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan webinar mengenai Kebijakan JKN untuk Keadilan Sosial: Implementasi Pemenuhan Supply Side dan Cost-Sharing berdasarkan Data Rutin Kesehatan dan DaSK untuk Penguatan JKN. Webinar ini merupakan topik kelima dari rangkaian Forum Nasional yang ke XI yang telah terselenggara sejak 11 Oktober 2021.

Pembukaan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Acara dibuka dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD mengenai Implementasi Supply Side, Cost Sharing dan Prospek UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan data rutin Kesehatan dan DaSK untuk penguatan JKN.  Seperti yang telah disampaikan dalam sesi – sesi sebelumnya bahwa dalam membuat keputusan itu ada faktor – faktor yang melatarbelakangi seperti faktor nilai-nilai apa yang dianut, kemudian terdapat bukti – bukti ilmiah dalam berbagai bentuk seperti analisis data, penelitian kebijakan dan analisis kebijakan. Penggunaan jenis data pada pengambilan keputusan ini menarik untuk dibahas. Pada Fornas JKKI ke XI ini data yang digunakan lebih banyak kepada data rutin. Kecenderungan lain yang umumnya digunakan dalam penggunaan data adalah dengan menggunakan survei keputusan kebijakan dan data rutin digital untuk keputusan kebijakan. Kedua data ini memiliki ciri khas masing  -masing dan umumnya akan lebih tepat jika dipergunakan seperti di bawah ini.

Kali ini topik yang dibahas Penguatan Kebijakan JKN maka penggunaan data Susenas dan Data Rutin Kemenkes dan BPJS menjadi hal penting. Seperti untuk mengetahui persebaran RS dan besaran klaim. Misalnya untuk menunjukkan pertumbuhan RS per Regional, melalui data SIRS contohnya, disebutkan bahwa pertumbuhan yang pesat terletak pada Regional 1 atau di Jawa. Kemudian Biaya Klaim BPJS Kesehatan berdasarkan Provinsi yang diambil dari Data Rutin BPJS menunjukkan peningkatan biaya pelayanan dari 2015 ke 2018, dan paling banyak diklaim oleh peserta yang berasal dari Jawa. Melalui data – data ini dapat dianalisis apa yang menjadi penyebab rendahnya klaim dari wilayah lainnya? Apakah itu karena ketersediaan RS yang perlu ditambah, dokter spesialis atau sarana dan prasarana?. Secara lebih khusus lagi, kondisi di DIY dan NTT dimana tergambar dengan jelas persebaran pelayanan jantung juga lebih banyak di Jawa dan di NTT sendiri melalui data rutin BPJS justru mengalami penurunan klaim. Setelah dilihat lebih dalam, terlihat bahwa kebijakan kompensasi tidak dijalankan. Laksono menutup pengantar webinar dengan mengajak seluruh peserta diskusi untuk melihat apakah dalam penguatan resiliensi juga terkandung prinsip “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Kemudian, acara dilanjutkan dengan presentasi Policy Brief.

SESI I Sesi Keynote Speech

Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD, AAK

Direktur Utama BPJS Kesehatan yaitu Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD, AAK. Memberikan beberapa poin penting mengenai capaian yang telah dilakukan oleh BPJS. Hal yang pertama adalah mengenai peningkatan mutu dengan berbagai macam inovasi teknologi dan evolusi industri, termasuk antrian yang lama. Beberapa peserta protes karena ia menjadi peserta BPJS berdampak pada antrian yang memakan waktu 5 – 6 jam untuk mengantri. Melalui Mobile JKN yang telah dikembangkan, peserta bisa mengetahui nomor antriannya dan dilayani pukul berapa sehingga bisa memotong antrian yang panjang tersebut. Kemudian, kedua mengenai pengembangan engagement dengan pemangku kepentingan yang lain, salah satunya dengan menghadiri langsung Fornas JKKI XI untuk menjalin relasi dan berkolaborasi.

Hal yang ketiga adalah mengenai perluasan kepesertaan, yang harapannya dapat sesuai dengan capaian yang terdapat di dalam RPJMN yaitu mencapai kepesertaan hingga 98% pada 2024. Keempat adalah menjaga keberlanjutan (sustainability) dari program JKN, dapat dilihat bahwa pemanfaatannya sempat turun di awal pandemi COVID-19 namun sudah rebound.  Ghufron juga mengungkapkan, selain 4 capaian tersebut terdapat capaian lain dari BPJS Kesehatan selama masa pandemi COVID-19. Seperti penyediaan telemedicine, monitoring status kesehatan peserta, penambahan iterasi obat, display ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, display kepastian jadwal operasi dan digitalisasi proses kredensialing dan verifikasi klaim.

Terkait dengan perbaikan kebijakan JKN untuk mencapai keadilan sosial, berbagai pemangku kepentingan seperti Kemenkes, DJSN, Bappenas dan Kemenko PMK dalam proses membahas upaya strategic purchasing dalam Program JKN. Hal – hal yang dibahas meliputi peninjauan manfaat program JKN sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar sesuai dengan Perubahan Kedua Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Kemudian adanya perluasan akses dengan peserta melalui perluasan kerjasama FKTP. Lalu yang ketiga adalah perumusan pengembangan sistem pembayaran seperti KBK, penyesuaian tarif pelayanan di seluruh level faskes, serta aplikasi urun biaya untuk peserta JKN. Perumusan untuk memperbaiki belanja kesehatan tersebut akan mempengaruhi iuran bagi peserta JKN, begitu juga penetapan tarif pelayanan kesehatan dalam JKN yang perlu dihitung dengan cermat serta komprehensif. Tentunya dengan menggunakan pendekatan aktuaria, harapannya supaya program JKN dapat berjalan secara berkelanjutan. Capaian tersebut dapat diraih dengan dukungan seluruh stakeholders secara bersama – sama untuk meningkatkan akses serta kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan demi keberlangsungan dan keberlanjutan program JKN.

SESI II

dr. Tiara Marthias, MPH, PhD

Pada kesempatan ini dr. Tiara Marthias, MPH, PhD memberikan penjelasan mengenai ketersediaan Pelayanan Kesehatan dan Isu keadilan dalam penyebaran SDM dan Fasilitas Kesehatan untuk kasus Jantung, KIA dan Kanker. Didasarkan pada berita dan data yang ada, terlihat bahwa keterbatasan dan masalah pemerataan SDM Kesehatan secara kontinyu terjadi, begitu juga dengan kesiapan fasilitas kesehatan yang bervariasi antar wilayah di Indonesia. Sejumlah data rutin dari Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) dapat dilihat bahwa sejumlah daerah tidak mempunyai akses ke layanan bedah jantung dan vaskuler. Keadaan di tiap daerah itu bervariasi, ada daerah yang memiliki akses, ada daerah yang tidak memiliki akses sama sekali dan ada daerah yang tidak memiliki akses namun harus berpindah ke daerah lain untuk mendapatkan akses.

Melalui Riskesdas tahun 2018 prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat dari tahun ke tahun, dan di Indonesia terdapat kurang lebih dua juta penduduk yang menderita penyakit tersebut. Di daerah NTT dan Papua misalnya, dapat dilihat di peta persebaran SDM Kesehatan di atas bahwa persebarannya belum merata sehingga ada dugaan bahwa under diagnosis dapat terjadi di kedua wilayah tersebut karena kurangnya SDM Kesehatan. Begitu juga dengan timpangnya pelayanan kateterisasi jantung antar daerah karena jenis rumah sakit yang dapat melayani kateterisasi jantung tidak merata. Hal ini juga terjadi pada pelayanan untuk KIA dan kanker. Ketersediaan SDM Kesehatan untuk ibu hamil dan bersalin memiliki persebaran yang variatif dan persebarannya masih didominasi Jawa. Perbandingannya dapat digambarkan dengan ketersediaan SDM Kesehatan untuk KIA di DKI Jakarta dengan Papua Barat, di Jakarta sendiri setidaknya terdapat 1400 nakes per 50 kilometer persegi, sedangkan di Papua Barat tersedia 35 SDM kesehatan untuk tiap 5000 kilometer persegi. Rumah sakit yang memiliki layanan kanker juga sebagian besar tersebar di Jawa dan Bali. Sementara persebaran layanan bedah onkologi untuk Kanker masih terpusat di Jawa, Sumatera dan sebagian Sulawesi.

Prof. Ascobat Gani

Topik yang diangkat oleh Prof. Ascobat Gani adalah mengenai Strategi Pemenuhan Supply Side untuk Penguatan JKN. Masalah utama pada sisi supply  adalah pada ketersediaan layanan, akses kepada layanan dan mutu layanan sehingga menurut Ascobat azas ekuitas dan keadilan bagi semua JKN belumlah terpenuhi. Apabila dilihat pertumbuhan puskesmas di Indonesia naik secara perlahan, setiap tahun mulai 2015 hingga 2019 tidak lebih dari 200 puskesmas per tahun. Rasio puskesmas di Indonesia, rata – rata terdapat 1.40 Puskesmas di tiap kecamatan namun lain halnya dengan Papua Barat yang hanya tersedia 0.28.

Mutu Puskesmas yang sudah terakreditasi di Indonesia sudah mencapai 90 persen. Kemudian masalah mengenai persebaran dan ketersediaan SDM Kesehatan dapat digambarkan bahwa ketersediaan dokter di Indoneisa itu bisa tidak merata karena ada masalah distribusi dan semakin ke daerah timur pendistribusiannya semakin kurang. Sementara untuk layanan KIA, sepert bidan dan perawat jumlahnya saat ini berlebihan namun distribusinya tidak merata dan sama seperti ketersediaan dokter, di wilayah timur persebarannya kurang merata. Sementara gambaran fasilitas kesehatan yang tersedia saat ini memiliki masalah dengan kredensialing BPJS Kesehatan dan Akreditasi untuk klinik swasta. Sementara pada tingkat RS, ada permasalahan mengenai kurangnya supply tempat tidur di beberapa daerah seperti Riau, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Lampung, Jawa Barat, Banten, NTT dan NTB.

Kemudian presentase dokter spesialis yang tersedia di RS, didapati dari dat Ditjen Pelayanan Kesehatan tahun 2019 bahwa rata – rata RS kelas C tidak punya dokter spesialis, dan di daerah timur pun juga memiliki masalah yang sama. Masalah kecukupan dokter spesialis dikarenakan lulusan yang ada masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan dan meningkatnya lansia dan angka Penyakit Tidak Menular. Saran yang dapat diberikan dengan adanya persoalan ini adalah dengan menambah jumlah puskesmas di beberapa daerah hingga mencapai rata – rata nasional. Kemudian meningkatkan akreditasi puskesmas khususnya di di beberapa daerah. Masalah persebaran SDM Kesehatan dapat diatasi dengan melanjutkan program Nusantara Sehat dan membuat rancangan Peraturan Daerah mengenai Pindah Tempat Kerja dalam kabupaten. Selain itu, Klinik Pratama dapat ditingkatkan perannya dengan membantu klinik pratama untuk meraih akreditasi atau memberikan insentif agar klinik swasta di daerah terpencil dapat turut berperan untuk meraih keadilan sosial tersebut. Pemangku kewenangan juga bisa melakukan redistribusi peserta BPJS dari puskesmas yang terlampau padat kepada klinik pratama agar terdapat pembagian yang rata. Sementara untuk persoalan pemenuhan jumlah dokter spesialis dapat diatasi dengan memberikan beasiswa untuk belajar spesialis dengan ikatan dinas untuk kembali ke daerah yang kurang memiliki dokter spesialis saat sudah lulus.

M. Faozi Kurniawan, S.E., Akt., MPH

Bahasan yang disampaikan oleh narasumber ketiga yaitu Faozi Kurniawan, S.E., Akt., MPH.  mengenai situasi 4 tahun pelayanan kankes dan jantung, situasi pelayanan kesehatan di Indonesia dan Kebijakan Kompensasi untuk Daerah yang belum memenuhi standar akses pelayanan kesehatan. Selama 2015 hingga 2018 klaim BPJS untuk pelayanan kardiovaskuler meningkat tajam pada beberapa provinsi seperti Banten, DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan sementara pada proinvsi lain cenderung rata atau menurun. Ini menujukkan sebagian besar klaim tertinggi masih didominasi oleh Jawa, terlihat dalam klaim antara DI. Yogyakarta dengan NTT. Klaim yang diajukan oleh NTT kurang lebih separuh dari yang diklaim oleh D.I Yogyakarta. Sementara pada klaim berdasarkan kepesertaan selama 4 tahun dengan jumlah terbanyak adalah segmen PBPU, kemudian diikuti PPU dan yang paling rendah mengklaim adalah segmen PBI APBD. Gambaran tersebut juga mencerminkan klaim pelayanan kardiovaskuler yang lebih banyak di klaim oleh PBPU. Pada layanan kanker juga didapati gambaran yang mirip dengan layanan jantung.

Kemudian, situasi kebutuhan pelayanan kesehatan di Indonesia sendiri diwarnai oleh faktor – faktor yang variatif. Seperti kebutuhan mendesak untuk sisi supply, kondisi geografis yang beragam, kebutuhan SDM Kesehatan dan kebutuhan sarana dan prasarana. Kebutuhan – kebutuhan ini dapat diatasi dengan beragam cara, misalnya dengan intervensi peningkatan supply side dan demand side pelayanan kesehatan. pada sisi supply, dapat diberikan layanan lebih dekat dengan rumah dengan cara mengirim tenaga kesehatan dan pekerja kesehatan komunitas untuk masyarakat yang tinggal di daerah dengan kondisi geografis yang sulit dan terbatas secara finansial. Pada sisi demand, dapat diberikan bantuan berupa insentif untuk memperlancar akses transportasi untuk masyarakat yang tinggal di daerah sulit agar mereka terpenuhi kebutuhan pelayanan kesehatannya. Kebijakan kompensasi yang demikian sebaiknya segera diterapkan karena hal ini merupakan perintah dari peraturan perundang-undangan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah dengan kategori terpencil dan kepulauan serta terpencil dan sangat terpencil. Selain mngirimkan nakes, yang dapat dilakukan untuk memenuhi pelayanan kesehatan adalah menyediakan faskes tertentu seperti faskes bergerak. Oleh sebab itu, rumusan kebijakan kompensasi perlu dirumuskan dengan tepat.

Hal yang dibutuhkan dalam Implementasi Kebijakan Kompensasi antara lain, regulasi bentuk kompensasi, standar tarif pelayanan kesehatan, peran dinkes serta asosiasi faskes dan organisasi profesi. Alokasi dana daerah juga perlu dipertimbangkan untuk menerapkan kebijakan kompensasi dengan mempersiapkan misalnya, PAD kota/ kabupaten, DAK Non Fisik APBD, DAU dari lintas sektor. Dana Kapitasi dari BPJS kesehatan yang dapat dipergunakan untuk kunjungan prolanis, kegiatan Puskesmas prolanis dan kunjungan rumah. Kesimpulannya, langkah yang perlu dilakukan adalah mengimplementasikan pemberian kompensasi berdasarkan regulasi, memberikan pedoman teknis dan menjelaskan kriteria daerah penerima serta mekanismenya dan mencari sumber dana dari Kapitasi dan Perencanaan APBD.

Sesi Pembahas

Diwakili oleh Renova dari Kementerian PPN/Bappenas, pihaknya menyetujui bahwa isu pemerataan supply side selalu menjadi tantangan dari dulu hingga desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi menjadi tantangan yang lebih karena ada pembagian peran sehingga komunikasi antar level pemerintahan harus kuat. Pandemi COVID-19 juga menjadi pembelajaran bagi kita karena beban pelayanan kesehatan semakin besar dengan supply side yang tidak merata. Renova menyebutkan bahwa Indonesia memerlukan percepatan dalam pemenuhan supply side. Pada reformasi SKN ada 8 agenda besar yang telah dijelaskan oleh para narasumber. Seperti bagaimana pemenuhan SDM Kesehatan, pemenuhan pelayanan primer dan sekunder, pelayanan kesehatan di DTPK, ketahanan kesehatan, dan inovasi pembiayaan. Pemenuhan supply side memang perlu dilihat dari gambaran yang lebih besar, dari hulu ke hilir. Tenaga kesehatan tidak bisa hanya dipikirkan akan ditaruh dari barat ke timur karena dari sisi produksinya juga bermasalah yang membuat jumlah SDM nya kurang. Bappenas sedang mencanangkan mengenai pendidikan spesialis berbasis rumah sakit yang saat ini masih dalam tahap pembicaraan awal dan perlu kajian lebih lanjut. Peran lintas sektor juga perlu dibangun, misalnya dalam pendistribusian SDM yang perlu dikomunikasikan dengan Kemenpan/RB. Kemudian, di sisi pembiayaan terdapat problem berupa efektivitas dimana pemerintah pelru menjamin apakah dana-dana yang tersedia itu mengarah pada tujuan pencapaian. Komunikasi data menjadi hal yang penting, bukan hanya pendukung untuk membantu mengatasi persoalan pemenuhan hal – hal ini. Usul yang disampaikan oleh PKMK FK – KMK UGM melalui community health worker tadi bisa dijadikan sebuah gagasan yang menarik.

Eddy Junaidi dari Asosiasi Klinik Indonesia menanggapi beberapa hal dari apa yang disampaikan oleh narasumber. Menurutnya masalah mengenai pendidikan dokter spesialis yang dijelaskan oleh Prof. Ascobat Gani benar adanya, dan secara teknis paradigma dokter yang telah lulus umumnya akan menganggap pendidikannya sebagai investasi karena kuliahnya saja sudah mahal. Lalu mengenai cost sharing Eddy menanggapi bahwa apabila kebijakan ini diterapkan maka peraturan perundang – undangan mengenai JKN harus direvisi, konsekuensi yang terjadi berarti masyarkat tidak wajib untuk menjadi peserta. Kemudian, apa yang wajib? Bagi masyarakat yang tidak mampu tidak perlu cost sharing, karena yang mampu bisa menggunakan asuransi lain. Cost sharing perlu dikaji kembali, di bagian mananya akan diterapkan? Apakah untuk obat – obatan yang mahal seperti kanker?. Lalu masalah pengelolaan pasien antara puskesmas dan klinik swasta, Eddy berwacana bagaimana jika promotif dan preventif pun bisa dimasukkan ke klinik swasta. Eddy juga mengkritisi soal kewenangan IDI yang melebar pada pengelolaan faskes, yang semestinya tidak menjadi ruang lingkup IDI.

Heru Ariyadi

Heru Ariyadi dari Asosiasi Rumah Sakit Daerah mengutarakan beberapa pendapat mengenai materi-materi yang telah dijelaskan oleh narasumber sebelumnya. Seperti redistribusi nakes ke daerah – daerah yang secara gaji sudah mencukupi, namun terdapat keresahan dari dokter – dokter spesialis mengenai persoalan pribadi seperti bagaimana kualitas pendidikan anak kedepannya?. Kemudian mengenai supply side kompensasi menurutnya tidak mudah sehingga harus dikaji kembali. Hal yang harus dikaji adalah APBD, yang baru bisa dianggarkan ketika ada pedoman pengelolaan keuangan dari Kemendagri. Saat tidak disebut dalam mata anggaran maka agak sulit. Pemerintah Kabupaten dan Kota merasa sudah berkontribusi untuk PBI APBD. Hal ini nantinya juga akan berkaitan dengan kriteria daerah terpencil, yang perlu didefinisikan ulang.

Reporter: Stefani Wijaya

 

  Agenda Terkait: