Sesi Presentasi Policy Brief 

Pembahas Sesi Policy Brief

Topik pertama Fornas JKKI XI tahun 2021 dibuka oleh presentasi tiga rekomendasi kebijakan (policy brief) terpilih seputar topik keamanan kesehatan (health security) yang di – review oleh dr Hendro Wartatmo, S.pB Konsulen Bedah Digestif dan Dr. dr Hanevi Djasri, MARS, FisQUA. Rekomendasi kebijakan diharapkan memenuhi kaidah – kaidah obyektivitas sehingga dapat memberikan bukti empiris kepada pengambil kebijakan untuk mempersiapkan kapasitas respon yang baik dimulai dari fase kesiapsiagaan dan juga mampu dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi.

Sesi Seminar Topik Health Security

Sesi Pemaparan Narasumber

Sesi selanjutnya sub seminar JKKI topik Health Security dipandu oleh Madelina Ariani, MPH dengan tiga pembicara yaitu dr. H. Mukti Eka Rahadian, MARS, MPH dari Pusat Analisis Determinan Kesehatan Kemenkes, dr Yullita Evarini Yuzwar MARS dari Subdit Zoonotik – Direktorat P2PTVZ Kemenkes, dan dr Pandu Harimurti dari World Bank Indonesia. Sesi pembahasan oleh dr Bella Donna, M.Kes dari PKMK FK – KMK UGM dan Sri Sunarti Purwaningsih dari Pusat Penelitian Kependudukan, Deputi Keilmuan Sosial dan Kemanusiaan, LIPI.

Mukti mengelaborasi ketahanan kesehatan dengan memperhatikan geopolitik internasional melalui hasil dan rekomendasi JEE menjadi NAPHS. Kemudian diturunkan ke geopolitik pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota dengan mewajibkan pemerintah – pemerintah daerah memenuhi SPM – SPM kesehatan dan menyiapkan sub-national level NAPHS atau rencana aksi ketahanan kesehatan provinsi. Inti dari dokumen tersebut adalah detect-prevent-response baik secara nasional maupun provinsi. Kemenkes menerbitkan 31 regulasi baru terkait ketahanan kesehatan selama pandemi ini dan diharapkan tahun depan memulai resource mapping di 22 K/L yang diatur di Inpres.

Yullita Evarini menyampaikan kolaborasi lintas sektor dalam ketahanan kesehatan dengan konsep One Health merupakan pendekatan kolaboratif terpadu lintas sektor bersama masyarakat, khususnya untuk penyakit – penyakit yang bersumber dari hewan (zoonotik). Terakhir, Pandu mempertegas pada bagian pembiayaan yang terdampak karena pandemi. Meskipun Indonesia mengalami guncangan ekonomi tidak seburuk negara lain, ada keinginan investasi ke upaya – upaya ketahanan kesehatan. Salah satunya dengan inisiatif Kemenkeu menginisiasi Disaster Management Pooling Fund atau PARB – Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana menterjemahkan Perpres 75 Tahun 2021, yang sebetulnya tidak hanya untuk respons namun juga dapat digunakan pada masa kesiapsiagaan (pra bencana) maupun masa rehabilitasi (paska bencana). Kerancuan regulasi, mekanisme penyaluran dana yang beragam, dan besaran dana dapat menjadi penghambat dalam penggunaan dana ini, harapannya, tim review belanja bencana Kemenkeu dapat memberikan rekomendasi terkait penggunaan dana ini.

Sesi Pembahasan

Pada sesi pembahasan dr Bella mengawali dari terminologi health security yang masih rancu antara ketahanan kesehatan dengan keamanan kesehatan, kemudian menyampaikan konsep dari risiko bencana. Upaya – upaya pengurangan risiko ini perlu didokumentasikan dalam rencana kontingensi kesehatan di level sub-nasional yang terintegrasi lintas sektor dan masyarakat agar daerah mampu mewujudkan ketahanan di daerah sesuai dengan ancaman dan kapasitas di daerahnya masing – masing.

Sri Sunarti menyampaikan core dari ketahanan kesehatan adalah masyarakat, belajar dari pandemi ini terkaitan dengan pesan – pesan yang disampaikan narasumber adalah pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu kunci dalam peningkatan ketahanan kesehatan.

Pada sesi diskusi, menanggapi penyakit Zoonosis pada komunitas seperti Antrax, baik pada hawan maupun manusia, menggunakan konsep One Health, puskesmas di daerah sudah berkolaborasi dengan puskeswan dan potensi kesehatan lain di daerah untuk segera ditindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi di lapangan. Untuk ketahanan kesehatan juga perlu melakukan refleksi dari belanja kesehatan dari sektor non publik, mekanisme pelaporan yang tidak terstandar dan nomenklatur – nomenklatur yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang tergambar dari upaya national health account.

Skema public-private partnership (PPP) yang terukur dan dikelola dengan baik juga perlu memperhatikan aspek – aspek kesiapsiagaan yang berbasis pada pengurangan risiko bencana yang sebaiknya didokumentasikan dalam rencana kontingensi kesehatan yang operasional. Artinya sekedar dokumen saja, termasuk mekanisme yang mengatur pendanaan komunitas baik filantropi maupun charity agar mudah dilakukan tracking sebagai bentuk akuntabilitas dan efisiensi penggunaan dana kemanusiaan.

Reportase : Gde Yulian Yogadhita M.Epid, Apt

 

  Agenda Terkait: