26 Oktober 2021

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan webinar mengenai Keberlanjutan JKN Melalui Implementasi Cost-Sharing dan Penguatan UU SJSN – UU BPJS. Webinar ini merupakan topik kelima dari rangkaian Forum Nasional yang ke XI yang telah terselenggara sejak 11 Oktober 2021.

Sesi I. Policy Brief

Pada sesi ini disampaikan video presentasi 3 policy brief terpilih tentang kebijakan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Policy brief yang dipresentasikan adalah sebagai berikut : (1) “Sinergisasi Tata Kelola JKN Dalam Penguat Peran Pemerintah Daerah” oleh Vini Restu Insani (2) “Pada Ketimpangan Utilisasi Layanan Jantung & Tata Layanan Hipertensi yang Tidak Tuntas di FKTP Provinsi NTT” oleh Tri Aktariyani, Edit Oktavia, & Laksono Trisnantoro, dan (3) Butuh Komitmen Pemerintah Daerah dan BPJS Kesehatan dalam Menutup Disparitas Layanan Kesehatan di Sumatera Utara oleh Juanita, Siti Khadijah Nasution, Zulfendri, dan Laksono Trisnantoro.

Shite Listyadewi

Komentar policy brief pada sesi ini disampaikan oleh Shita Listya Dewi (PKMK FK KMK UGM). Saran dan masukan yang diberikan antara lain hal yang pertama harus dipahami apa yang ingin kita capai dari policy brief kita dan pada level mana ingin berhasil. Misalnya pada level mendasar, tujuannya ingin memberikan pemahaman kepada policy maker terhadap permasalahan yang ada, dan mengapa penting untuk disikapi. Data yang dimasukkan dalam policy brief sudah baik dan banyak, namun kontekstualisasi data juga perlu ditunjukkan kepada policy maker. Policy brief jangan dibuat seperti ringkasan penelitian dan harus lebih persuasif serta argumentatif, dan yang terakhir, rekomendasi yang disajikan dalam policy brief harus bisa diaplikasikan oleh policy maker dan sesuai dengan wewenangnya.

 

 

Sesi II. Talkshow Cost-Sharing

Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes

Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes. selaku host talkshow membuka sesi dengan memaparkan tentang kebijakan JKN di masa pandemi menjadi fokus dan prioritas bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk penurunan utilisasi JKN. Turunnya utilisasi berdampak pada meningkatnya cashflow maupun dana cadangan jaminan sosial. Di sisi lain, Kemenkes sedang mengusulkan tentang kebijakan dasar kesehatan (KDK), termasuk iur biaya JKN.

Dr. Yuli Farianti, M. Epid dari Kemenkes memaparkan terkait kebijakan cost sharing diberlakukan oleh Kemenkes. Telah ditetapkan bahwa Kemenkes harus memberikan manfaat kebutuhan dasar, termasuk definisi dan pengaplikasian dalam reformasi manfaat JKN. Beberapa hal pokok yang direformasi oleh MenKes dari JKN, salah satunya reformasi manfaat JKN, tujuannya kualitas layanan dan pengendalian. Melihat beban JKN yang ada, lebih banyak di kuratif daripada promotif, sehingga MenKes memasukkan penguatan promotif dan preventif untuk upaya kesehatan perorangan dan keluarga dalam KDK. Konsep skrining juga diadakan dalam upaya pengendalian katastropik.

Yang kedua adalah penataan ulang manfaat JKN, misalnya untuk penyakit katastropik yang tidak bisa dijamin dan ada penyakit lain yang bisa tidak dijamin, disitulah muncul definisi kebutuhan dasar kesehatan. Diputuskan secara regulasi KDK bersifat life saving dan mengacu pada pola epidemiologi di Indonesia. Ada 4 yang diambil dari naskah akademik sebagai manfaat JKN: (1) Upaya Kesehatan Perorangan (2) Harus sesuai standar (3) adanya Health technology assessment (4) unbearable risk termasuk penyakit katastropik, dan sesuai dengan pola epidemiologi Indonesia. Dari situ muncul 2 daftar, positif dan negatif, dimana pada daftar yang positif muncul kebijakan cost sharing.

Konsep cost sharing adalah bagaimana asuransi swasta bisa masuk dan bisa inline dengan JKN. Konsep iur biaya tujuannya  untuk mengurangi overuse, menekan potensi moral hazard dari peserta, dan stabilitas besaran premi. Terkait besaran urun biaya dan hal-hal apa saja layanan yang kena urun biaya : harus meredefinisi urun biaya pada UU No. 40/2004 dan usulan dari layanan yang frekuensinya tinggi. Potensi fraud dan moral hazard yang besar adalah SC, rehabilitasi medik, dan katarak.

Dr. Mokhamad Cucu Zakaria dari BPJS memaparkan terkait utilisasi JKN selama pandemi menurun, dimana yang berobat ke faskes adalah yang benar-benar membutuhkan atau penyakit katastropik. Penyakit katastropik menelan biaya 25- 31% dari total biaya JKN, dengan penyakit yang paling besar menyerap biaya adalah penyakit jantung, dan sekitar 84% terserap di FKTL. Penyakit kanker adalah penyakit yang terbesar kedua dalam pembiayaan katastrofik, dengan besaran 18% dari total biaya katastrofik. Namun, siapa yang memanfaatkan biaya ini belum dipaparkan. Prinsip equity ini harus kita jaga dan walaupun asuransi swasta masuk, JKN harus superior karena merupakan program biaya.

Bapak Jefri dari Asuransi Jiwasraya mengatakan bahwa asosiasi asuransi komersial prinsipnya setuju dengan iur biaya untuk mendidik peserta dan nasabah bahwa preventif lebih penting daripada kuratif. Tapi ada 1 hal concern terkait iur biaya, yaitu terkait kendali mutu kendali biaya tetap terjaga. Misalnya naik kelas dari kelas I ke kelas VIP, ditetapkan 75% dari INACBGs. Dari asuransi komersial berharap jangan kembali ke sistem fee for service.

Dr. Daniel dari PERSI meminta untuk mendefinisikan secara jelas cost sharing dan selisih biaya, karena fungsinya sangat berbeda. Ibu Yuli menjawab bahwa Cost sharing ini akan dibedakan jadi 2 sistem, yaitu iur biaya dan selisih biaya (up top). Selisih biaya terkait dengan kenyamanan dan apabila ingin mendapatkan pelayanan yang lebih. Urun biaya terkait obat, pemeriksaan penunjang. Bapak Jefri mengomentari terkait split billing rumah sakit, bahwa untuk selisih atau iur biaya biasanya dibayarkan secara reimbursement. Beliau mengharapkan apabila sistem rumah sakit sudah siap, maka bisa dimasukkan langsung dalam asuransi, sehingga mengurangi beban pembayaran out of pocket dari pasien.

Cucu mengonfirmasi terkait dukungan BPJS sangat mendukung terkait upaya pemerintah untuk redistribusi agar Puskesmas kembali fokus pada upaya preventif pada UKM. Masalah redistribusi sudah disiapkan juga oleh BPJS, termasuk dokumen-dokumennya, yang akan diujicoba pada tahun 2022.

dr. Daniel

Dr. Daniel menambahkan kembali paparannya terkait harapan rumah sakit. RS merasa diperlakukan tidak adil oleh JKN, misalnya RS di kota besar dengan UMR yang besar juga disamakan dengan RS yang kecil. Selisih biaya diharapkan bisa disesuaikan dengan hospital based rate/ tarif dasar RS. RS sekarang bukan hanya public good, tapi sudah menjadi industri. Dan pasien JKN bukan ranah bakti sosial RS, karena masuk bagian dari pemasukan RS. Konsep tarif juga akan berubah banyak dalam kebijakan cost sharing ini.

Pertanyaan peserta terkait pengadaan kembali loncat lebih dari 1 kelas JKN karena bisa menjadi profit dijawab oleh Yuli untuk menunggu konsep kelas standar terlebih dahulu. Lalu untuk pertanyaan skrining masif untuk HbsAg untuk mencegah penyakit sirosis hepar (katastropik) dan lain-lain sudah direncanakan. Pertanyaan berikutnya terkait cost sharing bisa ditanggung oleh JKN dan asuransi swasta,  bisa dilakukan pada selisih biaya (up top). Dari Jefri menambahkan bahwa dari asuransi komersial tidak ada masalah bila ada regulasi boleh naik kelas lebih dari 1 kelas, asal ada regulasinya, dan tidak kembali ke kebijakan fee for service, tetap ada kendali mutu kendali biaya. Menurut Daniel, pengendalian kembali kepada pembuat kebijakan, dan penting untuk mematangkan konsep kelas standar terlebih dahulu.

Sesi III Talkshow Prospek Revisi UU SJSN dan UU BPJS

Sesi III Talkshow dengan topik Prospek Revisi UU SJSN dan UU BPJS dibuka oleh Shita Listya Dewi sebagai pewawancara. Narasumber untuk Sesi III terdiri dari M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH, Peneliti Kebijakan Pembiayaan Kesehatan dan JKN PKMK FK-KMK UGM, Melki Laka Lena, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Brian Sriprahastuti, Kantor Staf Presiden dan Muttaqien, MPH., AAK, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Namun, Melki Laka lena dan Brian Sriprahastuti berhalangan hadir sehingga tidak dapat bergabung pada Sesi III Talkshow.

Muttaqien, MPH., AAK

Shita membuka dengan pertanyaan kepada Muttaqien, MPH., AAK. tentang strategi mendasar yang perlu ditinjau ulang dalam revisi UU SJSN dan UU BPJS. Muttaqien menjelaskan bahwa saat ini pencapaian JKN sudah banyak walau masih terdapat kekurangan-kekurangan. Pencapaian tersebut, yaitu peningkatan peserta JKN dan peningkatan realisasi pembayaran iuran JKN. Muttaqien menambahkan bahwa JKN juga harus menimbulkan keseimbangan antara provider dan peserta. Salah satu kekurangan yang ada adalah pertumbuhan faskes tidak sebanding dengan pertumbuhan peserta. Menurutnya, perbaikan-perbaikan ekosistem yang dapat dilakukan, yaitu mendorong JKN sebagai skema asuransi sosial yang wajib, perbaikan manfaat JKN seperti dalam Kelas Rawat Inap (KRI) JKN, perbaikan koordinasi antar penyelenggara jaminan, dan melakukan tinjauan terhadap tarif dan iuran.

 

M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH

Shita melontarkan pertanyaan kepada M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH. tentang perkembangan usulan-usulan yang akan diberikan untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS. Faozi menjelaskan bahwa ia dan tim lakukan adalah melakukan pengawasan dan evaluasi sejak tahun 2014 hingga tahun 2019. Salah satu usulan yang diberikan adalah memperkuat pasal-pasal yang sudah ada di UU SJSN dan UU BPJS, termasuk juga pasal-pasal untuk memperkuat peraturan di bawahnya. Faozi menambahkan fungsi DJSN juga harus diperkuat seperti dalam penentuan iuran. Ia juga menjelaskan kebijakan kompensasi dapat dijadikan pendekatan untuk mengatasi kekurangan yang ada, seperti melengkapi fasilitas Kesehatan.

Pertanyaan selanjutnya diberikan kepada Muttaqien tentang kebijakan yang dapat mempermudah seperti dalam bentuk insentif bagi penyedia swasta untuk turut serta dalam JKN. Sebelum menjawab, Muttaqien memberikan pendapatnya tentang usulan kompensasi. Menurutnya, itu sudah tertuang di dalam UU SJSN tetapi harus dibedakan bagian yang harus direvisi di Undang-undang dan di aturan pelaksanaannya. Ia menjelaskan bahwa ia setuju dengan insentif yang diberikan kepada penyedia swasta. Menurutnya, peningkatan pertumbuhan faskes justru terjadi di penyedia swasta. Sehingga pemberian insentif perlu dilakukan agar penyedia swasta mau membuka faskes di daerah-daerah terutama di DTPK.

Shita menambahkan pertanyaan tentang perkembangan isu-isu yang dibahas di DJSN, seperti penyesuaian tarif dan penetapan Kelas Rawat Inap JKN. Muttaqien menjelaskan perubahan terkait manfaat di JKN, yaitu manfaat medis dan manfaat non medis. Kebutuhan dasar Kesehatan (KDK) yang termasuk dalam manfaat medis menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Sedangkan untuk KRI JKN menjadi tanggung jawab DJSN. Tetapi keduanya tetap melibatkan pihak-pihak lain, seperti Kementerian Keuangan dan tim pakar. DJSN sudah menyepakati kriteria terkait rawat inap sebanyak 13 kriteria yang berdampak kepada infrastruktur, pembiayaan, dana jaminan sosial kesehatan, dan tenaga di fasilitas Kesehatan. Muttaqien menambahkan saat ini proses tersebut dalam tahap finalisasi road map. Ia menjelaskan bahwa di dalam road map diharapkan pada tahun 2025 hanya akan ada kelas tunggal, yaitu Kelas JKN.

Shita memberikan pertanyaan selanjutkan kepada Faozi tentang peran yang bisa dimainkan oleh peneliti dan pengamat independen untuk bisa membantu dalam diskursus mengenai tarif dan iuran. Faozi menjelaskan peneliti dapat berperan dalam penetapan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan. Peneliti juga dapat terlibat dalam proses evaluasi kebijakan yang hasilnya dapat digunakan untuk melakukan revisi agar kebijakan menjadi lebih baik.

Shita menambahkan harmonisasi diperlukan terutama pada peraturan yang ada. Ia mempertanyakan langkah yang perlu diambil untuk mewujudkan harmonisasi tersebut. Muttaqien menjelaskan bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan revisi UU SJSN dan UU BPJS agar disharmonisasi yang ada bisa dihilangkan. Perubahan yang cepat terutama pada peraturan pelaksanaan seringkali menimbulkan kebingungan. Adanya kajian, pengawasan, dan evaluasi yang berdasarkan bukti di lapangan sangat dibutuhkan untuk menjadi masukan dalam perubahan yang akan dilakukan. Muttaqien menutup dengan menjelaskan bahwa tidak semua permasalahan dapat diatasi dengan melakukan perubahan Undang-undang tetapi lebih kepada perbaikan dalam implementasinya.

Reporter : Srimurni Rarasati

  Agenda Terkait: