Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan seminar tentang “Tantangan dan Peluang Pelayanan KIA di Masa Pandemi COVID-19” untuk kebijakan masalah kesehatan prioritas Layanan Kanker. Seminar ini merupakan sub topik 4D dari rangkaian kegiatan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-11 dengan tema “Resilience Kesehatan Pada Era Pandemi Melalui Pemanfaatan DaSK, Data Rutin Kesehatan, dan Reformasi Sistem Kesehatan.”
Pembukaan
Kegiatan hari ini dibuka oleh sambutan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D yang menyampaikan tentang kebijakan untuk permasalahan kesehatan prioritas, khususnya terkait situasi layanan kanker di Indonesia. Masalah klinis seperti kanker dan jantung perlu ditangani dengan kebijakan berbasis bukti. Untuk menentukan sebuah keputusan diperlukan analisis data, penelitian kebijakan dan analisis kebijakan. Isu utama yang dikaji meliputi pemerataan, keberlangsungan dan ketahananan layanan kanker.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menyampaikan bahwa ketersediaan SDM Kanker, fasilitas, dan layanan kanker belum merata serta Jawa dan sekitar mendapatkan pembayaran lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lainnya mengakibatkan equity belum tercapai.
Selanjutnya M. Faozi Kurniawan, SE,Akt,MPH menjelaskan terkait situasi layanan kanker di Indonesia berdasarkan data survey dan rutin yang terdapat di DaSK. Data survey meliputi data beban penyakit dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Sedangkan data rutin yang digunakan meliputi data BPJS Kesehatan 2015 – 2018 dan data persebaran rumah sakit. Data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi kanker mencapai 1,79 per per 1000 penduduk, naik pada 2013 sebanyak 1,4 per 1000 penduduk. Data rumah sakit yang memberikan layanan kanker menunjukkan persebaran rumah sakit masih berpusat di Jawa. Sedangkan berdasarkan data BPJS Kesehatan 2015 – 2018, layanan kanker menempati posisi kedua pembiayaan terbanyak penyakit katastropik. Terbatasnya fasilitas dan pendanaan yang ada akan mempersulit ketahanan layanan kanker terutama di masa pandemi dan pasca pandemi COVID-19.
Pada seminar kali ini dimoderatori oleh dr. Yasjudan Rastrama Putra, Sp.PD dengan dua narasumber, yaitu dr. Elfira, MARS dari Bidang Pelayanan RS Kanker Dharmais dan Dr. dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD-KHOM dari FK – KMK UGM. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan dari Dr. dr. Dedy Hermansyah, Sp.B(K)Onk dari Universitas Sumatera Utara dan dr. Wiwi Ambarwati, MKM dari Sub Koordinator Pemantauan dan Evaluasi Rumah Sakit Pendidikan, Direktorat Pelayanan Rujukan, Kementerian Kesehatan.
Sesi 1 Pemaparan
Materi pertama disampaikan oleh dr. Elfira, MARS mengenai dampak pandemi COVID-19 terhadap layanan kanker. Sebelum pandemi COVID-19 berlangsung, layanan kanker di RS Dharmais mengutamakan pada pelayanan kontinuitas terapi kanker dan memiliki ruang isolasi tekanan negatif sebanyak 3 ruang meliputi 2 ruang rawat inap dan 1 IGD. Namun, pada awal pandemi berlangsung, RS Dharmais mengalami keterbatasan fasilitas kesehatan yang dapat memberikan pelayanan dan SDM yang bertugas karena keterbatasan mobilitas. Selama pandemic berlangsung, RS Dharmais telah menambah 15 ruang isolasi tekanan negatif dan screening pasien. Screening pasien yang dilakukan mengakibatkan penundaan pelayanan bagi pasien yang terkonfirmasi COVID-19. Hal ini mengakibatkan penumpukan antrian rawat inap ketika kasus COVID-19 mulai menurun. Oleh karena itu, RS Dharmais melakukan inovasi layanan berupa konsultasi online (bagi pasien non BPJS), menggalakkan vaksinasi bagi pasien dan keluarga, serta persiapan terapi selanjutnya.
Materi kedua disampaikan oleh Dr. dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD-KHOM mengenai ketahanan layanan kanker dalam pandemic COVID-19. Pasien kanker lebih membutuhkan ventilator terutama jika terkonfirmasi COVID-19. Hal ini dapat meningkatkan morbiditas pasien kanker. Pemberlakuan PSBB dan melonjaknya kasus COVID-19 mengakibatkan penurunan kunjungan dan tindakan operasi pada pasien kanker di rumah sakit. Hal ini menunjukkan COVID-19 mengganggu layanan kanker. Dalam rangka menjamin ketahanan layanan kanker di masa pandemi diperlukan upaya vaksinasi pada pasien kanker dan prioritasi pasien kanker untuk mendapatkan terapi.
Sesi 2 Pembahasan
Pembahas pertama yaitu Dr. dr.Dedy Hermansyah, Sp.B(K)Onk yang menyampaikan COVID-19 memberikan dampak pada layanan kanker yaitu tertundanya pelayanan kanker. Di RSUP Haji Adam Malik Medan selama April hingga Juni 2020 terjadi penurunan pada tindakan operasi kanker. Bahkan pada Agustus 2020 tidak terdapat tindakan operasi kanker dikarenakan terbatasnya APD dan tenaga kesehatan yang terkena COVID-19. Berdasarkan data BPJS Kesehatan regional Aceh dan Sumatera Utara, pengeluaran BPJS untuk penyakit kanker menempati posisi 4. Hal ini dikarenakan banyak pasien yang datang dalam stadium lanjut. Merupakan tugas bersama untuk menekan pengeluaran BPJS ini dengan mendeteksi lebih awal pasien kanker sehingga dapat ditangani dengan baik. Selain itu, vaksinasi pada pasien kanker merupakan hal penting untuk dilakukan terutama di masa pandemic COVID-19.
Pembahas kedua yaitu dr. Wiwi Ambarwati, MKM yang menyampaikan bahwa kanker merupakan tantangan kesehatan di Indonesia. Kanker memerlukan pengobatan yang lama, pembiayaaan yang tinggi dan pelayanan yang rutin. Selain itu, akses yang terbatas juga menjadi permasalahan tersendiri. Tantangan layanan kanker di masa pandemi menghadapi double burden. Akses dan mutu pelayanan kanker hingga saat ini belum terpenuhi dan merata sehingga Kementerian Kesehatan akan mengoptimalkan pengembangan jejaring dan stratifikasi layanan kanker serta pengembangan SDM.
Sesi Diskusi
Pada sesi ini menekankan pada kegiatan telemedicine yang banyak dilakukan di masa COVID-19. Namun, hal ini tidak dapat diterapkan di semua daerah seperti di Sumatera Utara, dimana banyak masyarakat yang masih awam terhadap hal ini. Selain itu pembiayaan telemedicine belum dapat dibebankan pada pembiayaan BPJS Kesehatan. Sehingga bagi yang telah memanfaatkan inovasi ini harus berbayar seperti yang dilakukan di RS Dharmais.
Presentasi Policy Brief
Pada sesi terakhir disampaikan 2 video presentasi policy brief terpilih tentang kebijakan pelayanan kanker. Masing – masing policy brief beserta judulnya disampaikan oleh John Toding Padang dengan judul “Layanan Palliative Care Pada Penyintas Kanker di Masa Pandemi” dan Dr. Eka Lestari Mahyuni, S.KM., M.Kes dengan judul “Gempar Strategi Pencegahan Risiko Keracunan Pestisida”. Pada sesi ini diberikan komentar oleh dr. Yasjudan Rastrama Putra, Sp.PD dan Tri Muhartini, MPA (Peneliti PKMK UGM) terkait policy brief terpilih. Komentar yang diberikan terkait struktur dari policy brief, yaitu sasaran policy brief yang harus spesifik missal kementerian, lembaga, ataupun kepala daerah tertentu. Selain itu, isu yang disampaikan harus sesuai untuk disampaikan di level nasional atau daerah.
Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan seminar tentang “Optimalisasi Upaya Penurunan Stunting di Masa Pandemi COVID-19” untuk kebijakan masalah kesehatan prioritas Gizi (Stunting). Seminar ini merupakan subtopik 4B dari rangkaian kegiatan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-11 dengan tema “Resilience Kesehatan Pada Era Pandemi Melalui Pemanfaatan DaSK, Data Rutin Kesehatan, dan Reformasi Sistem Kesehatan.”
Pembukaan
Kegiatan hari ini dibuka oleh sambutan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD yang menyampaikan kebijakan untuk permasalahan kesehatan prioritas, khususnya terkait situasi pelayanan gizi di Indonesia berdasarkan kegiatan e-monev pemulihan pelayanan gizi dari dampak pandemi COVID-19. Laksono menyampaikan poin penting yaitu permasalahan kesehatan prioritas dapat diselesaikan dengan evidence based policy. Beberapa data yang dapat digunakan yaitu data survei yang dikombinasikan dengan data rutin e-PPGBM, sehingga banyak informasi dapat dikonfirmasi serta dipantau pelaksanaan kebijakannya.
Selanjutnya Maria Wigati, MPH menjelaskan tentang situasi penurunan stunting di Indonesia berdasarkan e-monev pemulihan program gizi dari dampak pandemi COVID-19 di 260 kabupaten/kota lokus stunting. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan data rutin yang dikonfirmasikan terlebih dahulu ke pihak dinas kesehatan kabupaten/ kota. Data yang telah terkonfirmasi kemudian dibuat visualisasi dengan dashboard interaktif sehingga dapat dilihat capaian pelaksanaan dari berbagai indikator, analisis dampak, analisis kebijakan, serta rekomendasi kebijakan yang diusulkan berdasarkan masing – masing daerah lokus. Selain itu, juga diperoleh informasi tambahan tentang beberapa penyebab turunnya capaian pelayanan kesehatan, sehingga dapat dibuat beberapa kebijakan dan inovasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing – masing.
Pada seminar ini, dihadirkan dua narasumber, yaitu dr. Inti Mujiati, MKM dari Direktorat Gizi Masyarakat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia) dan Dr. Toto Sudargo, SKM, M.Kes dari Pusat Kesehatan dan Gizi Manusia (PKGM) Universitas Gadjah Mada. Sesi pembahasan dalam seminar ini dibersamai oleh tiga pembahas, yaitu Dr. Marudut Sitompul, B.Sc., MPS dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) dari BKKBN, dan Dr. drg. Dewi Marhaeni Diah Herawati, M.Si dari Universitas Padjadjaran, serta moderator diskusi yaitu Digna Niken Purwaningrum, S.Gz., MPH, PhD.
Sesi 1: Pemaparan Materi
Materi pertama disampaikan oleh dr. Inti Mujiati, MKM, yaitu tentang upaya menjamin keberlangsungan penurunan stunting selama pandemi dan prediksi pasca pandemi COVID-19. Apabila dilihat dari aspek kesehatan dan gizi, pandemi COVID-19 memberikan dampak terhadap turunnya pendapatan yang mempengaruhi daya beli masyarakat, sehingga terjadi perubahan pola konsumsi dan akses pelayanan kesehatan menjadi terbatas. Salah satu permasalahan gizi di Indonesia yang termasuk ke dalam target pembangunan kesehatan 2020-2024 adalah penurunan angka prevalensi stunting menjadi 14% pada 2024.
Beberapa strategi penurunan stunting yang telah dilakukan yaitu dengan meningkatkan deteksi dini serta memperluas pemahaman dan pengadaan kegiatan pencegahan stunting. Kegiatan tersebut dilakukan dengan sasaran utama pada ibu hamil serta remaja yang dilaksanakan melalui Posyandu, Puskesmas, rumah sakit, atau fasilitas kesehatan lainnya. Meskipun pandemi COVID-19 masih ada sampai sekarang, kegiatan – kegiatan tersebut tetap dilaksanakan dengan melakukan modifikasi pelayanan serta membuat inovasi pelayanan baru yang disesuaikan dengan protokol kesehatan dan memanfaatkan teknologi digital. Selain itu, penguatan konvergensi dan optimalisasi pelaksanaan intervensi spesifik dan sensitif juga perlu dikuatkan agar target stunting sebanyak 14% pada 2024 dapat dicapai.
Pemaparan materi kedua disampaikan oleh Dr. Toto Sudargo, SKM, M.Kes, yaitu terkait tantangan dalam upaya penurunan stunting di masa pandemi COVID-19. Seperti yang telah diketahui bersama, pandemi COVID-19 memiliki dampak dalam bidang pangan dan gizi. Salah satu dampak terhadap gizi yaitu terjadinya stunting. Stunting telah terjadi sejak lama yang kemudian kejadian stunting diperparah dengan adanya pandemi COVID-19. Beberapa tantangan yang dihadapi yaitu banyak keluarga kehilangan sumber pendapatan, adanya pembatasan aktivitas sosial, bantuan sosial (mie instan dan susu kental manis) yang diberikan memiliki kandungan gizi yang sedikit, serta adanya refocusing anggaran dari pemerintah. Meskipun demikian, program gizi untuk penurunan stunting harus tetap dilakukan agar tidak memberikan dampak yang semakin buruk. Pelaksanaan program gizi sempat terhambat karena adanya pandemi COVID-19, namun saat ini pelaksanaannya telah disesuaikan secara daring sesuai dengan protokol kesehatan. Beberapa upaya yang telah dilakukan yaitu melakukan pendampingan dan memberikan motivasi untuk kelompok sasaran, melakukan monitoring dan evaluasi, serta meningkatkan promosi kesehatan.
Sesi 2: Pembahasan
Pembahasan pertama disampaikan oleh Dr. Marudut Sitompul, B.Sc., MPS yang menyampaikan tentang respon terhadap tantangan dalam upaya penurunan stunting di masa pandemi COVID-19. Bantuan sosial yang diberikan belum memiliki kandungan gizi yang baik, sehingga perlu melibatkan tenaga kesehatan dalam menentukan kandungan gizi yang layak diberikan kepada masyarakat sebagai bantuan sosial.
Penerapan rekomendasi dari WHO (2020) perlu diadaptasi karena beberapa rekomendasi tidak sesuai dengan kondisi pelaksanaan di lapangan. Selain itu, upaya lain yang dapat dilakukan yaitu dengan mempertahankan daya tahan tubuh dengan memperhatikan jenis makanan yang dikonsumsi serta mengkonsumsi suplemen. Tele konsultasi dan tele konseling juga perlu dilakukan untuk masyarakat yang membutuhkan. Oleh sebab itu, penanggulangan stunting sebaiknya diimplementasikan secara terintegrasi agar dapat mencapai 5 pilar percepatan penurunan stunting, memberdayakan masyarakat, serta mengantisipasi kekurangan yang ada di daerah.
Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) sebagai pembahas kedua menyampaikan tentang optimalisasi upaya penurunan stunting di masa pandemi COVID-19. Stunting memberikan dampak tersendiri selama pandemi COVID-19, salah satunya dipicu karena adanya kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini diperkuat dengan fakta naiknya kasus kematian ibu, bayi dan balita selama pandemi COVID-19. Berdasarkan situasi tersebut, maka diperlukan optimalisasi untuk mencegah stunting, misal dengan memberikan himbauan untuk pasangan usia subur, menyesuaikan skema pelayanan KB di era kebiasaan baru, melakukan percepatan vaksinasi COVID-19, serta memperbaiki strategi penurunan stunting dengan melakukan refocusing anggaran dengan konsep inkubasi.
Dr. drg. Dewi Marhaeni Diah Herawati, M.Si sebagai pembahas terakhir menyampaikan tentang situasi penanganan stunting di Provinsi Jawa Barat pada masa pandemi COVID-19. Berdasarkan hasil e-monev diketahui bahwa dari 10 daerah lokus yang didampingi, 8 lokus di antaranya memiliki status terdampak sedang, 1 lokus terdampak berat, dan 1 lokus terdampak ringan. Cakupan intervensi gizi spesifik untuk penanganan stunting diketahui menurun selama pandemi COVID-19, sehingga memunculkan berbagai kegiatan inovatif dari puskesmas di daerah lokus, misal dengan melakukan pemantauan pertumbuhan secara door to door, pemberian vitamin A ke ibu atau pengasuh di rumah, serta pemberian berbagai edukasi yang relevan. Selain itu, berbagai rekomendasi kebijakan telah diusulkan untuk berbagai sasaran yang disesuaikan dengan kondisi masing – masing daerah.
Sesi 3: Diskusi
Narasumber menekankan terkait deteksi dini sebaiknya dilakukan sejak kehamilan trimester pertama, sehingga akan lebih cepat diketahui risiko terjadinya stunting serta upaya pencegahan dapat dilakukan lebih awal. Stunting tidak mungkin diselesaikan oleh pihak kesehatan saja, tetapi juga memerlukan peran dari berbagai pihak lainnya. Berbagai inovasi pelayanan bisa dilakukan dengan melibatkan lintas sektor agar tercapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, terdapat usulan agar ahli gizi dapat ditempatkan di setiap desa untuk mendukung terlaksananya program gizi dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya manusia dan regulasi yang ada.
Sesi 4: Presentasi Policy Brief
Pada sesi terakhir disampaikan video presentasi 5 policy brief terpilih tentang kebijakan terkait stunting. Masing – masing policy brief beserta judulnya disampaikan oleh (1) Tri Siswati, Yustiana Olfah, Herni Endah, Widyawati, Anita Rahmawati, Agus Sarwo Prayogi dengan judul “Posyandu Prakonsepsi: Pemberdayaan Remaja Dalam Mencegah Stunting Sejak Dini,” (2) Syarifah dengan judul “Mengatasi Stunting dengan Social Channel Lembaga Keagamaan,” (3) Dr. dr. Lucy Widasari dengan judul “Layanan Terpadu Satu Pintu Bagi Calon Pengantin,” (4) M. Fadhli Fadhillah dengan judul “Implementasi dalam Penanganan Stunting di Indonesia yang Belum Optimal,” serta (5) Dahril dengan judul “Optimalisasi Pencapaian ODF Program STBS Pilar Stop BABS.” Berbagai permasalahan disampaikan beserta dengan usulan-usulan kebijakan sebagai solusinya. Berkaitan dengan policy brief yang telah disampaikan, narasumber memberikan tanggapan bahwa penanganan stunting tidak bisa hanya dilakukan setelah bayi itu lahir, tetapi ketika proses kehamilan berlangsung itu menjadi salah satu tonggak utama dalam penanganan stunting. Pemenuhan asupan gizi sebaiknya tidak dikembalikan ke konsep “4 sehat 5 sempurna” dan diganti dengan konsep terbaru yaitu gizi seimbang. Selain itu, berbagai pendekatan lain yang telah diusulkan bisa dikombinasikan dengan pemanfaatan teknologi digital.
Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan seminar tentang “Tantangan dan Peluang Pelayanan KIA di Masa Pandemi COVID-19” untuk kebijakan masalah kesehatan prioritas Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Seminar ini merupakan sub topik 4A dari rangkaian kegiatan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-11 dengan tema “Resilience Kesehatan Pada Era Pandemi Melalui Pemanfaatan DaSK, Data Rutin Kesehatan, dan Reformasi Sistem Kesehatan.”
Pembukaan
Kegiatan hari ini dibuka oleh sambutan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. yang menyampaikan tentang kebijakan untuk permasalahan kesehatan prioritas, khususnya terkait situasi pelayanan KIA di Indonesia berdasarkan kegiatan e-monev pemulihan pelayanan KIA dari dampak pandemi COVID-19. Laksono menyampaikan poin penting yaitu permasalahan kesehatan prioritas dapat diselesaikan dengan evidence based policy. Beberapa data yang dapat digunakan yaitu data survei yang dikombinasikan dengan data rutin, sehingga banyak informasi dapat dikonfirmasi serta dipantau pelaksanaan kebijakannya.
Selanjutnya Monita Destiwi, SKM, MA menyampaikan penjelasan tentang situasi pelayanan KIA berdasarkan kegiatan e-monev untuk pemulihan pelayanan KIA dan KB dari dampak pandemi COVID-19 di 120 kabupaten/ kota pada 2020. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan data rutin yang dikonfirmasikan terlebih dahulu ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Data yang telah terkonfirmasi kemudian dibuat visualisasi dengan dashboard interaktif sehingga dapat dilihat capaian pelaksanaan dari berbagai indikator yang digunakan berdasarkan masing – masing daerah. Selain itu, juga diperoleh informasi tambahan tentang beberapa penyebab turunnya capaian pelayanan kesehatan, sehingga dapat dibuat beberapa kebijakan sebagai solusinya yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing – masing.
Pada seminar kali ini dihadirkan tiga narasumber, yaitu dr. Mei Neni Sitaresmi, Ph.D, Sp.A(K), Dr. dr. Eugenius Phyowai Ganap, Sp.OG(K), serta dr. Nida Rohmawati, MPH dari Direktorat Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sesi pembahasan dalam seminar ini dibersamai oleh tiga pembahas, yaitu Prof. Budi Wiweko, MD, OG(REI), MPH, Ph.D dari Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia (POGI), Yennike Tri Herawati, S.KM., M.Kes (Universitas Jember), Rini Anggraeni, S.KM., M.Kes (Universitas Hasanuddin), serta moderator diskusi yaitu dr. Tiara Marthias, MPH, PhD.
Sesi 1: Pemaparan Materi
Materi pertama disampaikan oleh dr. Mei Neni Sitaresmi, Ph.D, Sp.A(K), yaitu tentang tantangan pelayanan kesehatan anak di masa pandemi COVID-19. Terdapat banyak dampak tidak langsung dari pandemi COVID-19 yang terjadi pada anak, misalnya keterbatasan akses pelayanan kesehatan, penutupan sekolah, kondisi ekonomi keluarga, dan sebagainya. Beberapa dampak tersebut secara tidak langsung menyebabkan gangguan nutrisi, pertumbuhan, serta perkembangan/perilaku pada anak yang dapat menyebabkan masalah kesehatan, bahkan kematian pada anak. Pelayanan kesehatan anak terhambat karena pada waktu itu banyak yang dialihkan untuk fokus pada penanganan COVID-19, masyarakat pun menjadi takut untuk pergi ke fasilitas kesehatan karena takut akan tertular COVID-19. Salah satu solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat panduan (guidelines) yang jelas terkait pelaksanaan pelayanan kesehatan anak. Selain itu, advokasi pada stakeholders juga harus aktif dilakukan dengan diiringi sosialisasi pada masyarakat terkait pentingnya layanan esensial kesehatan, misalnya dengan melakukan inovasi pelayanan secara daring melalui telekonsultasi.
Pemaparan materi kedua dilanjutkan oleh Dr. dr. Eugenius Phyowai Ganap, Sp.OG(K) yang menyampaikan tentang tantangan pelayanan kesehatan ibu di masa pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 merupakan masalah bersama, sehingga tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam keberlangsungan pelayanan kesehatan khususnya pada ibu hamil. Pada masa pandemi COVID-19, ibu hamil disarankan hanya datang ke rumah sakit apabila dalam kondisi emergency. Oleh sebab itu, ibu hamil yang terkena COVID-19 harus memperhatikan dua status kegawatdaruratan, yaitu kehamilannya dan COVID-19. Sosialisasi terkait kegawatdaruratan ini penting untuk dilakukan oleh tenaga kesehatan agar proses kehamilan dapat terus dipantau dengan baik. Selain itu, para tenaga kesehatan harus berhati – hati dalam bekerja serta menggunakan perlengkapan sesuai dengan prosedur pelayanan di masa pandemi COVID-19 agar mengurangi risiko penularan COVID-19. Konsep rujukan juga harus diperhatikan dan keterlambatan harus diperbaiki di semua level. Kualitas pelayanan PONED dan PONEK di semua level rujukan juga harus dioptimalkan. Terkait isolasi mandiri pada ibu hamil yang terkonfirmasi positif COVID-19, hal ini hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan keputusan dari dokter atau perawat yang bersangkutan. Terdapat kabar baik bahwa saat ini ibu hamil sudah bisa mendapatkan vaksin COVID-19 mulai dari usia kehamilan 13 minggu hamil aterm, sehingga hal ini juga menjadi salah satu upaya dalam mengurangi risiko terpapar COVID-19 pada ibu hamil.
Pada materi ketiga disampaikan oleh dr. Nida Rohmawati, MPH selaku perwakilan dari Direktorat Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Nida menyampaikan materi tentang upaya menjamin keberlangsungan pelayanan KIA selama pandemi dan prediksi pasca pandemi. Permasalahan pada ibu hamil dan bayi terjadi karena pelayanan KIA di Puskesmas terdampak karena adanya pandemi COVID-19. Hasil e-monev dampak pandemi COVID-19 di 120 kabupaten/ kota lokus tahun 2020 menunjukkan bahwa banyak indikator pelayanan KIA yang terdampak, sehingga dibutuhkan berbagai kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing – masing. Terdapat berbagai surat edaran dari Dirjen Kesmas maupun Dirjen Yankes terkait pelayanan kesehatan keluarga, kesiapan rumah sakit rujukan, serta pemberlakuan bekerja dari rumah bagi kelompok rentan salah satunya ibu hamil. Kebijakan lainnya yaitu terkait pelayanan persalinan dibuat dalam 5 level, pada level 1 persalinan bisa dilakukan pada pelayanan dasar/primer dengan kondisi ibu hamil tanpa penyulit, sedangkan pada level 2 – 5 persalinan dibantu oleh tim yang terdiri dari dokter, bidan, dan perawat. Sebelum persalinan, ibu hamil disarankan untuk melakukan isolasi mandiri minimal 14 hari sebelum hari perkiraan lahir agar tidak melakukan perjalanan keluar dan berisiko terpapar COVID-19. Adanya berbagai permasalahan pelayanan seperti yang sudah disampaikan, maka memunculkan beberapa peluang di era adaptasi kebiasaan baru, misalnya mengadakan pelatihan menggunakan metode blended learning, kelas ibu secara online, webinar, seminar, tele konsultasi, serta pembelian obat secara daring.
Sesi 2: Pembahasan
Pembahas pertama dari POGI yaitu Prof. Budi Wiweko, MD, OG(REI), MPH, Ph.D. Perspektif pertama yaitu terkait the burden of COVID-19 yang dilihat dari sisi kesehatan maternal, ibu hamil termasuk dalam kelompok yang rentan dan harus dilindungi. Perspektif kedua yaitu terkait ketersediaan akses dan kualitas kesehatan reproduksi yang harus tetap tersedia dan terlaksana. Pemberian vaksinasi pada ibu hamil di Indonesia masih jauh dari target yang diharapkan. Selain itu, angka kejadian unmet need juga cukup tinggi, padahal kontrasepsi merupakan pilar utama pada safe motherhood. Saat ini juga masih belum ada sistem rujukan persalinan yang berjenjang. Perspektif ketiga yaitu terkait disrupsi dan pemanfaatan teknologi, telemedicine sebaiknya harus tetap ada meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan medis secara fisik. Salah satu teknologi lain yang sebaiknya ada yaitu untuk memantau kehamilan dengan baik agar dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Regulasi harus segera dikeluarkan agar disrupsi teknologi dapat dilakukan dan pemanfaatan teknologi dapat diterapkan. Perspektif keempat yaitu terkait kesehatan reproduksi juga harus ditekankan untuk laki-laki dan tidak hanya untuk perempuan saja, karena laki-laki memiliki peran penting dalam produk konsepsi.
Yennike Tri Herawati, SKM, M.Kes sebagai pembahas kedua menyampaikan tentang pelayanan KIA – KB di masa pandemi COVID-19 di Jawa Timur. Berdasarkan hasil e-monev diketahui bahwa 9 daerah lokus yang didampingi memiliki status terdampak ringan dan sedang. Beberapa penyebabnya antara lain adalah ketakutan masyarakat dan petugas kesehatan, keterbatasan tenaga kesehatan, keterbatasan sarana prasarana penunjang ibu bersalin, adanya perbedaan persepsi penerapan tata cara persalinan ibu hamil dengan COVID-19. Inovasi dan modifikasi kegiatan telah dilakukan untuk menangani permasalahan tersebut, diantaranya adalah dengan memanfaatkan media sosial, melakukan kunjungan rumah untuk ibu hamil dengan risiko tinggi oleh bidan desa, pemberdayaan kader setempat untuk memantau tumbuh kembang bayi dan balita, dan lain – lain.
Rini Anggraeni, M.Kes selaku pembahas terakhir menyampaikan tentang gambaran situasi KIA di daerah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara pada awal pandemi COVID-19, yaitu sekitar Maret – April 2020. Beberapa indikator dari data rutin daerah terkait tidak ada, sehingga analisis dampak tidak bisa dilakukan dengan menyeluruh. Situasi di lapangan terdapat pembatasan pelayanan KIA di Puskesmas, kurangnya tenaga medis, kurangnya operasional Posyandu, dan lain – lain. Saat ini telah dilakukan beberapa upaya perbaikan yang dilakukan, misalnya dengan mengaktifkan Posyandu dan Puskesmas secara bertahap, melakukan kunjungan rumah ibu hamil dengan risiko tinggi, pemanfaatan media digital, dan sebagainya.
Sesi 3: Diskusi
Pada sesi diskusi, narasumber menekankan pentingnya pemerataan pemberian vaksinasi, terlebih pada pengadaan ketersediaan vaksin. Beberapa strategi yang dapat dilakukan terkait pemberian vaksinasi, salah satunya Budi menyebutkan harus melakukan “jemput bola” yang bisa dilakukan melalui bidan praktik mandiri. Selain itu, dari sisi demand bisa dengan mendorong PERSI agar di setiap rumah sakit bisa menyediakan layanan vaksinasi COVID-19. Influencer yang sedang hamil juga bisa dilibatkan untuk memberikan edukasi pada masyarakat. Presiden RI pun juga memberikan himbauan untuk melakukan vaksinasi pada ibu hamil karena ibu hamil yang divaksin memiliki kelebihan yaitu mendapatkan pemantauan lebih lanjut. Pasien harus memiliki trust terhadap pemberian vaksin, sehingga vaksinasi dapat diberikan dengan lebih merata.
Sesi 4: Presentasi Policy Brief
Pada sesi terakhir disampaikan video presentasi 5 policy brief terpilih tentang kebijakan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Masing – masing policy brief beserta judulnya disampaikan oleh (1) Fotarisman Zaluchu, S.KM., Msi, MPH, Ph.D dengan judul “COVID-19 Bukan Hanya Pandemi, Tapi Bencana Pada Perempuan,” (2) Tuty Ernawati, S.KM., M.Kes dengan judul “Peran Pemerintah Daerah, Stakeholder dalam Menurunkan Kematian Ibu dan Anak Melalui Puskesmas Mampu PONED di Kabupaten Solok,” (3) Ni Wayan Sri Widyantari, S.KM dengan judul “Online Antenatal Care dan Pandemi COVID-19,” (4) Sunaryo, S.KM., M.Sc dengan judul “Pendampingan Satu Biyung Satu Kader (Sabu Saka) Untuk Peningkatan Status Kesehatan Ibu Hamil,” serta (5) Hesty Tumangke, S.KM., MPH dengan judul “VCT Pada Ibu Hamil di Kabupaten Jayapura.” Berbagai permasalahan disampaikan beserta dengan usulan -usulan kebijakan sebagai solusinya. Pada sesi ini diberikan komentar oleh Tri Muhartini, MPH (Peneliti PKMK UGM) terkait policy brief terpilih. Beberapa komentar yang diberikan terkait struktur dari policy brief, di antaranya yaitu judul dan sasaran policy brief perlu dibuat lebih spesifik, permasalahan utama harus disebutkan di bagian awal policy brief, pilihan rekomendasi dibuat lebih singkat dengan penjelasan secukupnya, ukuran huruf harus konsisten, serta penjelasan dari suatu singkatan perlu disebutkan di bagian awal.
Topik ketiga Fornas JKKI XI tahun 2021 dibuka oleh presentasi tiga rekomendasi kebijakan (policy brief) terpilih seputar topik hukum kesehatan dan kesehatan jiwa dimoderatori oleh apt.Gde Yulian M.Epid dan di-review oleh Dr Rimawati, SH., MHum., yang memberikan arahan mengenai kaidah – kaidah pedoman penulisan policy brief menggunakan peraturan LAN dan Permendagri baik policy brief sebagai media eksplorasi maupun media advokasi pada tanggapannya.
Pada sesi selanjutnya, sub seminar JKKI topik Penguatan Sistem Kesehatan Nasional yang Tahan terhadap Berbagai Ancaman, dipandu oleh Ni Luh Putu Eka Andayani, SKM., MPH dengan tiga pembicara yaitu Dr H. Muhammadong, SKM, M.Kes dari Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, dr Bella Donna, M.Kes dan dr Yodi Mahendradhata, M.Sc, PhD sebagai anggota WHO TWG Health Security. Sesi pembahasan oleh dr Eka Jusup Singka, M.Kes dari Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Nani Rohani, SKM, MARS dari Kemenko PMK yang mewakili Asisten Deputi Peningkatan Pelayanan Kesehatan, Dr dr Rr Brian Sri Prahastuti MPH dari Kedeputian II Pembangunan Manusia Kantor Staff Presiden/KSP, dan Edy Purwanto SKM, MEpid dari Direktorat Surveillans dan Karantina Kesehatan Kemenkes.
Bella menyampaikan manajemen risiko yang mengintegrasikan sistem komando dan memperhatikan standar pelayanan minimum kesehatan propinsi maupun kabupaten harus disusun sebelum terjadi bencana agar sistem kesehatan tahan terhadap goncangan baik karena bencana alam maupun non-alam/pandemi. Structural damage maupun mobilisasi sumber daya akan lebih mudah diantisipasi jika semua level otoritas pelayanan kesehatan memiliki dokumen penanggulangan bencana kesehatan. Muhammadong menyampaikan dalam konteks ketahanan kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, mencoba menerapkan pusat pengendali operasi kesehatan masyarakat atau public health emergency operation center (PHEOC) di daerah yang berfungsi sebagai koordinator klaster kesehatan daerah. Peran PHEOC ini diantaranya melakukan manajemen potensi sumber daya kesehatan seperti relawan kesehatan atau emergency medical team (EMT). PHEOC daerah diharapkan tidak hanya terintegrasi dengan struktur dinas kesehatan yang sudah ada, namun juga pada saat diaktivasi saat terjadi bencana alam atau kedaruratan kesehatan masyarakat/ KKM dapat menggunakan sistem komando.
Sementara Yodi dalam presentasinya menekankan pentingnya untuk mengintegrasikan konsep health system dan health security karena bahkan negara – negara yang sudah dianggap maju dan siap dalam kapasitas IHR-nya kewalahan menghadapi pandemi ini. Bagaimana kapasitas IHR yang sudah terbangun (developed), teruji (demonstrated) bahkan berkesinambungan (sustainable) dapat dikomparasikan antara IHR benchmark terhadap komponen health system dan sektor lain di luar kesehatan. Pendekatan baru ini diharapkan meningkatkan ketahanan kesehatan dalam rangka kesiapsiagaan dalam menghadapi health security.
Pada sesi pembahasan, Kepala Pusat Krisis menambahkan bahwa health security menghalau atau memitigasi suatu krisis kesehatan. Ada beberapa respon yang harus kita perkuat yang pertama penanggulangan disaster yang tidak hanya alam tapi juga non alam seperti pandemi new emerging disease yang kerap terlupakan. Sendi – sendi produktivitas lain akan terpengaruh jika resiliensi kesehatan terganggu. Kapasitas ditingkatkan menggunakan pentaheliks untuk mencapai ketahanan kesehatan, seperti kolaborasi dengan akademisi seperti ini untuk memperkuat menejemen pemerintah. Terkait vulnerability dan capacity ada dua sendi yang harus diperkuat, yaitu tenaga kesehatan dan masyarakat.
Nani Rohani membahas lebih fokus dalam sumber daya kesehatan (SDMK) yang berkualitas dan berdaya saing sebagai salah satu aspek ketahanan kesehatan. Dalam area reformasi sistem kesehatan nasional, distribusi sumber daya kesehatan yang berkualitas menjadi tantangan. Pada pembahasan berikutnya, Brian menambahkan ada tiga poin, yaitu masa transisi belum jelas bagaimana sistem kesehatan yang masih dalam mode bencana masuk ke mode off kembali ke sistem kesehatan normal, dari sisi sumber daya kesehatan kesiapan SDMK untuk deployment ke situasi bencana dan poin ketiga mengenai rencana kontingensi kesehatan. Terakhir poin keempat adalah regulasi yang masih belum adaptif terhadap fase – fase bencana, Brian juga masih ingin melihat kristalisasi pembelajaran dari PHEOC Sulawesi Selatan apakah model yang digunakan bisa digeneralisasikan ke daerah yang lain. Namun UU Karantina dan UU Kebencanaan masih belum dapat diintegrasikan satu dengan yang lain. Edi dari PHEOC Pusat menyampaikan aspek epidemiologi khususnya deteksi dini penyakit potensial wabah dan penyakit new emerging baik saat bencana alam maupun non alam kurang, kapasitas SDMK di bagian ini dan laboratorium perlu ditingkatkan. PHEOC Daerah diharapkan mampu menjawab tantangan ini karena wabah atau kejadian luar biasa/KLB juga dapat muncul pada saat bencana.
Menanggapi para pembahas, para narasumber sepakat dengan kegamangan mode on dan off, transisi antara pandemi menuju endemi ini bagaimana. Health security index, IHR benchmark asumsinya berkorelasi terhadap ketahanan kesehatan namun faktanya tidak, ini kemudian menjadi pertanyaan apakah standar internasional ini layak untuk digunakan dalam membadingkan kapasitas satu negara dengan negara yang lain karena negara – negara dengan nilai indeks tinggi tetap tidak berdaya menghadapi pandemi, maka standar – standar ini perlu diadvokasikan untuk diintegrasikan dengan sistem kesehatan. Struktur pengeroganisasian sebagai salah satu produk dari standar ketahanan kesehatan perlu disiapkan dari otoritas kesehatan terkecil seperti puskesmas, itulah hal yang melatarbelakangi penting sekali puskesmas memiliki rencana kontingensi kesehatan.
Brian menambahkan kolapsnya sistem kesehatan di gelombang kedua pandemi ini memaksa pemerintah Indonesia untuk melakukan transformasi sistem kesehatan. Hal ini diamini oleh Muhammadong dimana PHEOC daerah yang terdokumentasi di rencana kontingensi kesehatan daerah mencoba menjadi salah satu alternatif bentuk transformasi yang salah satunya dapat memfasilitasi koordinasi klaster kesehatan termasuk deteksi dini saat terjadi bencana di daerah maupun di provinsi tetangga hingga menetukan kapan mode bencana atau KKM itu dinonaktifkan.
PKMK – Yogya. Rabu, 13 Oktober 2021 Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan pembukaan Forum Nasional Kesehatan ke-11 untuk topik 2 dengan judul “Ketahanan Sistem Kesehatan: Penguatan sistem kesehatan menggunakan pembelajaran dari pandemi COVID-19”.
Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, PKMK FK – KMK UGM dengan dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI) bersama Universitas Trisakti, Stikes Al Insyirah, Universitas Jember, Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Dehasen, Universitas Mataram, Universitas Sumatera Utara, Poltekkes Kemenkes Malang, Universitas Cenderawasih, Universitas Hassanudin, Universitas Mulawarman, Universitas Trinita, Universitas Syiah Kuala, dan Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Jambi dan Univeristas Padjajaran. Topik 2 ini dimoderatori oleh dr. Sandra Frans, MPH.
Pada topik ini, terbagi atas tiga sesi yang pertama adalah sesi pemaparan policy brief tentang pandemi COVID-19 dari tiga peserta yang terpilih dengan judul, yaitu: 1) Berbedakah Respon Masyarakat Urban (Kota Medan) dan Rural (Pinggiran Kota Medan) Terhadap COVID-19? Apa Intervensi yang terbaik?; 2) Pelayanan ramah tamah anak era Pandemi COVID-19 di Puskesmas Kota Medan; 3) Respon Masyarakat Medan tentang Kebijakan Penanggulangan Pandemi COVID-19.
Sesi Keynote Speech
Untuk mengantar pada sesi kedua mengenai “Pembelajaran Respons Sistem Kesehatan di masa Pandemi COVID-19”, moderator terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada keynote speech yaitu Helena Legido-Quigley selaku Associate professor in Health Systems at Saw Swee Hock School of Public Health at the National University of Singapore. Dalam keynote speech – nya, Helena menjelaskan dari hasil penelitian di berbagai negara mengenai strategi dan operasional untuk merespons pandemi COVIDD-19. Helena menjelaskan sudut pandang yang digunakannya dalam penelitian adalah bagaimana sistem kesehatan dipersiapkan sebelum adanya krisis. Fokus dari penelitian tersebut adalah bagaimana negara dengan sistem kesehatan yang memiliki performa tinggi dalam menghadapi pandemi COVID-19, seperti Jepang, Singapura, dan Hongkong. Kemudian, penanganan pandemi COVID-19 di ketiga negara tersebut akan dibandingkan dengan beberapa negara di Eropa. Indikator utama dalam perbandingan ini adalah kesiapan dalam menghadapi pandemi.
Selanjutnya Helena juga menjelaskan tentang penelitiannya dengan framework yang lebih besar yaitu koordinasi pemerintah pusat dan daerah, keterikatan komunitas, pelaksanaan pengukuran kesehatan masyarakat yang tepat, persiapan sistem kesehatan, dan pengukuran untuk mengontrol perbatasan. Setelah melakukan penelitian di 28 negara, Helena menjelaskan beberapa hal yang bisa dipelajari, yaitu mengaktifkan respon yang komprehensif, adaptasi kapasitas sistem kesehatan, memelihara fungsi dan sumber daya sistem kesehatan, dan mengurangi kerentanan. Dalam penelitiannya, Helena menemukan bahwa di negara yang sukses dalam menerapkan sistem tersebut memiliki beberapa indikator, yaitu memiliki hubungan yang baik dengan komunitas, kepemimpinan yang responsif dan transparan, koordinasi yang baik antar sektor, investasi dalam kesehatan masyarakat dan infrastrukturnya, kepercayaan terhadap saran yang berbasis sains, dan perlindungan social dan ekonomi untuk komunitas dan bisnis kecil.
Sesi II Pembelajaran Respons Sistem Kesehatan di masa Pandemi COVID-19
Setelah keynote speech, Sandra mempersilakan pemateri pertama yaitu dr. Tiara Marthias, MPH, PhD selaku Dosen di Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK – KMK UGM, untuk memaparkan “Dampak COVID-19 terhadap layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di Indonesia: Kasus untuk penguatan sistem kesehatan”. Tiara menjelaskan kondisi layanan KIA selama pandemi COVID-19 berdasarkan data rutin KIA (DHIS-2), indikator, data observasi di 514 kab/kota dan data COVID-19. Dari data tersebut menjelaskan bahwa cakupan ANC (antenatal care), persalinan, postneonatal care dan kunjungan neonatal menurun di awal pandemi. Selain itu, monitoring tumbuh kembang anak turun lebih curam hingga terjadi penutupan Posyandu dan diperburuk juga dengan adanya penurunan jumlah imuniasasi anak. Sebelum menutup pemaparan, dr Tiara menyampaikan bahwa Indonesia perlu memperkuat sistem kesehatan melalui: ketahanan komunitas, koordinasi (vertikal dan horizontal), menyasar determinan sosial kesehatan dan memperkuat program “health emergency”. Sistem kesehatan untuk KIA sendiri membutuhkan penguatan SDM dan supply yang merata, membangun inovasi layanan keshetana (telemedicine, home visit, task shifting, dan lain – lain), melibatkan sektor swasta dan memperkuat pendanaan dan pembiayaan kesehatan.
Pemapar kedua adalah dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD, FSRPH selaku Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Pengembangan, FK – KMK UGM dengan judul “Kesiapsiagaan Pandemi: Refleksi dari Pandemi COVID-19”. Masalah dari pandemi di Indonesia adalah deteksi yang masih lemah sehingga berdampak kepada data yang tersedia untuk pengambil keputusan. Kemudian menjadi prioritas ditengah pandemi di Indonesia adalah permasalahan komunikasi yang di mana infodemik belum di manajemen dengan baik. Keberadaan infodemik ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengambil keputusan. Ketidakpercayaan itu semakin diperburuk karena kondisi pandemi ini melihatkan kondisi ekuitas yang mengalami ketimpangan dan ketidakadilan terdap akses maupun dampak.
Pada Juni hingga Juli di Indonesia juga memperlihat bahwa masih adanya sumber daya manusia kesehatan dan supply infrastruktur kesehatan yang terbatas. Dalam akses untuk obat dan vaksin sendiri di tengah pandemi juga menggambarkan bahwa Indonesia masih mengalami ketergantungan dari negara lain sehingga perlu untuk membangun kemandirian. Untuk itu, Yodi menyampaikan ke depan Indonesia perlu meningkatkan sistem peringatan, memanfaatkan data yang lebih baik untuk mendorong keputusan yang lebih cerdas, mengelola komunikasi untuk membangun kepercayaan, meningkatkan ekuitas, memperkuat kapasitas ekuitas dan menyediakan obat dan vaksin secara merata dan mandiri.
Sesi Pembahas
Setelah narasumber selesai, moderator mempersilahkan para pembahas dari Kementerian Kesehatan dan WHO untuk memberikan tanggapan. Pembahas pertama adalah Dra. Pretty Multihartina, Ph.D dari Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kementerian Kesehatan yang memberikan tanggapan bahwa untuk merespons pandemi COVID-19, pemerintah saat ini sedang menyusun kebijakan tranformasi kesehatan. Dra. Pretty juga menjelaskan bahwa saat ini pemerintah sedang menyusun untuk reformasi kesehatan bersama Bappenas yang terbagi adalah delapan area. Selain itu, Dra. Pretty juga menjelaskan bahwa telah ada rencana aksi nasional untuk health security yang telah diterbitkan pada 2019 dengan melibatkan Kementerain Kesehatan, Kementerian Lembaga lainnya hingga pemerintah daerah.
Pembahas kedua adalah dr. Widiana. K. Agustin, MKM selaku Subkoordinator Sub-Subtansi Evaluasi Kepala Pusat Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan. dr Widiana menjelaskan tentang kategori sistem ketahanan dalam kebijakan transformasi kesehatan yang sedang disusun oleh Pemerintah. Transformasi pada ketahanan kesehatan ditujukan untuk memperkuat sistem keseahtan dalam menghadapi tantangan seperti pandemi COVID-19 maupun pandemi lainnya. Strategi yang akan digunakan dalam memperkua ketahanan kesehatan ini adalah meningkatkan integrasi, koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah, orgnaisasi masyarakat, organisasi profesi, LSM, akademisi, pelaku usaha dan media.
Pembahas terakhir dari sesi ini adalah Dr. Arturo Pesigan, Deputy Head of WHO Indonesia Country Office. Arturi menyampaikan bahwa pandemi di Indonesia telah menjadi isu kesehatan masyarakat dan ekonomi sehingga dalam penanganannya membutuhkan keterlibatan banyak sektor dan perlu memanfaatkan pembelajaran dari interdisipilin untuk meningkatkan ketahan. Disampaikan juga, bahwa untuk mendukung tranformasi kesehatan, WHO telah menyediakan panduan mengenai ketahanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan pengambil keputusan di Indonesia. Selain itu, Arturo menekankan bahwa pengambil keputusan untuk lebih banyak memanfaatkan evidence dan belajar dari pengalaman negara lain untuk menetapkan suatu kebijakan.
Untuk memperkaya sesi ini, moderator juga mempersilahkan tiga partisipan untuk memberikan pertanyaan. Beberapa pertanyaan mengenai layanan vaksinansi ibu hamil, adaptasi mekanisme klaster kesehatan untuk transformasi sistem kesehatan, dan masukan untuk tranformasi kesehatan yang perlu memperhatikan banyak aspek lainnya yang ditujukan untuk pembahas dan narasumber.
Sesi III Community Surveillance Selama Pandemi COVID-19 di Indonesia
Sesi ketiga, pada topik kedua Ketahanan Sistem Kesehatan ini mengusung subtema yaitu Community Surveillance Selama Pandemi COVID-19 dan pembelajaran untuk Indonesia. Sesi ini dimoderatori oleh dr. Tiara Mathias, MPH, PhD. Pembicara pertama adalah Professor Julie Bines, Deputy Head of Department of Paediatrics at the University of Melbourne, dengan materi deteksi COVID-19 di saluran limbah: pelajaran dari Melbourne. Materi dibuka dengan penjelasan bahwa COVID-19 bisa masuk melalui reseptor yang ada di usus. Gejala COVID-19 juga ada pada saluran pencernaan, lebih banyak ditemui pada anak – anak. Hal ini sangat penting diperhatikan untuk negara seperti Indonesia yang mempunyai banyak kasus diare.
Bines kemudian mengungkapkan studi sebelumnya di negara seperti China, Amerika dan Korea yang menemukan bahwa pelepasan RNA virus dalam tinja sering didapatkan, juga terjadi lebih awal dan dapat berlangsung lama. Bahkan terdapat tingginya persentase pasien dengan sample rectal/stool yang positif, setelah sample dari swab hidung dan tenggorokan negatif. Pertanyaan penting untuk kita pikirkan, apakah implikasinya terhadap transmisi infeksi? Bines menggarisbawahi bahwa deteksi RNA virus dalam tinja tidak selalu berarti bahwa virus dapat menyebar melalui transmisi tinja. Namun yang perlu dipikirkan, bisakah transmisi fekal- o ral dan aerosol berkontribusi pada transmisi rumah tangga, pusat penitipan anak, dan juga sekolah? Beliau kemudian memaparkan surveilens waste water yang digunakan di Melbourne, Australia. Pemerintah setempat telah melakukan pemetaan untuk tes terhadap limbah air di beberapa area, seperti di Upper Yarra dan Apollo Bay. Bines kemudian menyimpulkan potensi air limbah dan pengawasan lingkungan untuk mendukung respon kesehatan masyarakat selama pandemi SARSCoV-2 ini.
Pembicara kedua adalah dr. Indah Kartika Murni, M.Kes., PhD, SpA(K), Dosen dan Peneliti di Center of Child Health-Paediatric Research Office (CCH-PRO), FK-KMK UGM, yang memberikan materi terkait penelitiannya yang berjudul Surveilans SARS-CoV-2 menggunakan sampel air limbah rumah tangga dan lingkungan di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk menginformasikan dampak dan kelayakan program pengawasan air limbah dan lingkungan di Indonesia, memantau beban komunitas dari infeksi SARS-CoV2 dan sebagai sistem peringatan dini untuk identifikasi dini wabah SARS-CoV2 dalam suatu komunitas.
Metodologi yang dilakukan ada beberapa macam, antara lain: surveilens rutin di mana sampel air dan/atau tanah dikumpulkan dari saluran pembuangan dan air limbah, penelitian laboratorium, analisa data, dan pelaporan. Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Sampling sebanyak 1344 telah mulai dikumpulkan pada Juli 2021. Dari hasil penelitian mengkonfirmasi penelitian sebelumnya bahwa, positivity rate menggunakan N gene pada sampel limbah air tetap tinggi di atas 50 % di minggu ke delapan, walaupun konfirmasi kasus COVID-19 idi minggu yang sama sudah menurun signifikan, yaitu 5%. Tes lain yang digunakan ORF1ab gene. Selain itu, Murni dan peneliti lainnya juga menggunakan pemetaan untuk menentukan resiko transmisi. Pemetaan ini memakai sistem warna, maupun juga titik. Dari penelitian ini, kita bisa melihat bahwa kemungkinan memakai limbah air untuk early warning systems terkait penularan COVID-19 di suatu daerah itu bisa dilakukan di Yogyakarta.
Pembicara ketiga adalah dr. Vicka Oktaria, MPH, PhD, Dosen dan Peneliti di Center of Child Health-Paediatric Research Office (CCH-PRO), FK-KMK UGM, dengan materi implikasi masa depan penggunaan surveilans berbasis sampel air limbah rumah tangga dan lingkungan untuk SARS-CoV-2. Diketahui bahwa tantangan lain yang dihadapi saat ini untuk mengatasi COVID-19, adalah melacak inisiasi, penyebaran, dan tren perubahan COVID-19 pada skala populasi yang luas, dan kebutuhan mendesak untuk memetakan sebaran dan besarnya COVID-19 secara real-time. Dengan Water Based Epidemiology (WBE ini dapat membantu menargetkan populasi beresiko, memandu untuk intervensi Kesehatan masyarakat, mengalokasikan sumber daya untuk pengujian atau vaksinasi, serta untuk kebijakan kontrol dalam meminimalkan terjadinya lonjakan kasus.
Terdapat tiga lokasi yang memungkinkan untuk mengumpulkan data WBE ini, yaitu: instalasi pembuangan air limbah, sub saluran pembuangan, dan di fasilitas seperti sekolah, kampus dan perumahan. Oktaria menyampaikan contoh negara yang sudah mengimplementasi WBE ini, seperti di Australia, di mana ketika fragmen virus COVID-19 ditemukan di limbah pembuangan kemudian mereka mengeluarkan pemberitahuan Kesehatan kepada masyarakat. Hal yang sama juga sudah dilakukan di Bangladesh, yaitu dengan pemetaan terhadap daerah yang ditemukan fragmen virus ini melalui deteksi di pembuangan limbah. Pesan yang bisa diambil dari presentasi Oktaria adalah WBE bisa melengkapi surveilens komunitas untuk COVID-19 yang saat ini dihunakan, bisa membantu mendeteksi transmisi yang sedang terjadi, namun tetap membutuhkan kolaborasi antara pemangku kepentingan dan komunikasi ke masyarakat.
Sesi Pembahas
Selanjutnya drg. Pembayun Setyaning Astutie, M.Kes dari Dinas Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta menanggapi presentasi dari narasumber. Pembayun menyatakan bahwa limbah medis, terutama limbah padat, sudah terkelola dengan baik di DIY. Namun, yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah pengolahan limbah cair dan limbah rumah tangga terkait COVID-19 (karena pengaruh isolasi mandiri) yang meningkat selama pandemi ini. Pembayun sangat mendukung penelitian dan temuan yang telah disampaikan. Terdapat pembelajaran dari pandemi ini terkait pengelolaan air limbah, yaitu perlu ada kajian kenaikan RNA pada air limbah rumah tangga untuk deteksi dini gelombang kasus yang akan terjadi di waktu yang akan datang.
Tantangan dalam pengelolaan limbah COVID-19, yaitu pertama, diskresi regulasi pengelolaan limbah sesuai prinsip keamanan dan kemampuan daerah. Kedua, pemerintah daerah harus memikirkan untuk menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan limbah padat dan cair dalam situasi wabah untuk fasyankes, isolasi terpadu dan isolasi mandiri. Ketiga, perlu adanya regulasi tentang baku mutu limbah COVID-19. Tanggapan selanjutnya dari Endang Hastuti dari Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan. Beliau tertarik akan penelitian terkait early detection COVID-19 menggunakan air limbah. Beliau juga mengharapkan agar penelitian ini bisa menjadi masukan untuk kebijakan terkait.
Pada sesi diskusi, narasumber menekankan pentingnya koordinasi dan kolaborasi dari stakeholder terkait untuk bisa menggunakan sistem deteksi awal ini. Hal yang perlu disiapkan jika menggunakan strategi ini adalah dengan mempersiapkan sumber daya manusianya, peralatan yaitu laboratorium, kolaborasi dengan dinas Kesehatan, bagian lab dan juga masyarakat. Narasumber menekankan bahwa metode pelacakan dengan air limbah ini sangat membantu untuk penemuan kasus di daerah yang testingnya masih rendah.
Topik pertama Fornas JKKI XI tahun 2021 dibuka oleh presentasi tiga rekomendasi kebijakan (policy brief) terpilih seputar topik keamanan kesehatan (health security) yang di – review oleh dr Hendro Wartatmo, S.pB Konsulen Bedah Digestif dan Dr. dr Hanevi Djasri, MARS, FisQUA. Rekomendasi kebijakan diharapkan memenuhi kaidah – kaidah obyektivitas sehingga dapat memberikan bukti empiris kepada pengambil kebijakan untuk mempersiapkan kapasitas respon yang baik dimulai dari fase kesiapsiagaan dan juga mampu dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi.
Sesi Seminar Topik Health Security
Sesi selanjutnya sub seminar JKKI topik Health Security dipandu oleh Madelina Ariani, MPH dengan tiga pembicara yaitu dr. H. Mukti Eka Rahadian, MARS, MPH dari Pusat Analisis Determinan Kesehatan Kemenkes, dr Yullita Evarini Yuzwar MARS dari Subdit Zoonotik – Direktorat P2PTVZ Kemenkes, dan dr Pandu Harimurti dari World Bank Indonesia. Sesi pembahasan oleh dr Bella Donna, M.Kes dari PKMK FK – KMK UGM dan Sri Sunarti Purwaningsih dari Pusat Penelitian Kependudukan, Deputi Keilmuan Sosial dan Kemanusiaan, LIPI.
Mukti mengelaborasi ketahanan kesehatan dengan memperhatikan geopolitik internasional melalui hasil dan rekomendasi JEE menjadi NAPHS. Kemudian diturunkan ke geopolitik pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota dengan mewajibkan pemerintah – pemerintah daerah memenuhi SPM – SPM kesehatan dan menyiapkan sub-national level NAPHS atau rencana aksi ketahanan kesehatan provinsi. Inti dari dokumen tersebut adalah detect-prevent-response baik secara nasional maupun provinsi. Kemenkes menerbitkan 31 regulasi baru terkait ketahanan kesehatan selama pandemi ini dan diharapkan tahun depan memulai resource mapping di 22 K/L yang diatur di Inpres.
Yullita Evarini menyampaikan kolaborasi lintas sektor dalam ketahanan kesehatan dengan konsep One Health merupakan pendekatan kolaboratif terpadu lintas sektor bersama masyarakat, khususnya untuk penyakit – penyakit yang bersumber dari hewan (zoonotik). Terakhir, Pandu mempertegas pada bagian pembiayaan yang terdampak karena pandemi. Meskipun Indonesia mengalami guncangan ekonomi tidak seburuk negara lain, ada keinginan investasi ke upaya – upaya ketahanan kesehatan. Salah satunya dengan inisiatif Kemenkeu menginisiasi Disaster Management Pooling Fund atau PARB – Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana menterjemahkan Perpres 75 Tahun 2021, yang sebetulnya tidak hanya untuk respons namun juga dapat digunakan pada masa kesiapsiagaan (pra bencana) maupun masa rehabilitasi (paska bencana). Kerancuan regulasi, mekanisme penyaluran dana yang beragam, dan besaran dana dapat menjadi penghambat dalam penggunaan dana ini, harapannya, tim review belanja bencana Kemenkeu dapat memberikan rekomendasi terkait penggunaan dana ini.
Sesi Pembahasan
Pada sesi pembahasan dr Bella mengawali dari terminologi health security yang masih rancu antara ketahanan kesehatan dengan keamanan kesehatan, kemudian menyampaikan konsep dari risiko bencana. Upaya – upaya pengurangan risiko ini perlu didokumentasikan dalam rencana kontingensi kesehatan di level sub-nasional yang terintegrasi lintas sektor dan masyarakat agar daerah mampu mewujudkan ketahanan di daerah sesuai dengan ancaman dan kapasitas di daerahnya masing – masing.
Sri Sunarti menyampaikan core dari ketahanan kesehatan adalah masyarakat, belajar dari pandemi ini terkaitan dengan pesan – pesan yang disampaikan narasumber adalah pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu kunci dalam peningkatan ketahanan kesehatan.
Pada sesi diskusi, menanggapi penyakit Zoonosis pada komunitas seperti Antrax, baik pada hawan maupun manusia, menggunakan konsep One Health, puskesmas di daerah sudah berkolaborasi dengan puskeswan dan potensi kesehatan lain di daerah untuk segera ditindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi di lapangan. Untuk ketahanan kesehatan juga perlu melakukan refleksi dari belanja kesehatan dari sektor non publik, mekanisme pelaporan yang tidak terstandar dan nomenklatur – nomenklatur yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang tergambar dari upaya national health account.
Skema public-private partnership (PPP) yang terukur dan dikelola dengan baik juga perlu memperhatikan aspek – aspek kesiapsiagaan yang berbasis pada pengurangan risiko bencana yang sebaiknya didokumentasikan dalam rencana kontingensi kesehatan yang operasional. Artinya sekedar dokumen saja, termasuk mekanisme yang mengatur pendanaan komunitas baik filantropi maupun charity agar mudah dilakukan tracking sebagai bentuk akuntabilitas dan efisiensi penggunaan dana kemanusiaan.
PKMK – Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan pembukaan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-11 dengan tema “Resilience Kesehatan Pada Era Pandemi Melalui Pemanfaatan DaSK, Data Rutin Kesehatan, dan Reformasi Sistem Kesehatan” pada Senin (11/10/2021). Penyelenggaraan forum ini dilakukan oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, PKMK UGM dengan dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI) bersama Universitas Trisakti, Stikes Al Insyirah, Universitas Jember, Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Dehasen, Universitas Mataram, Universitas Sumatera Utara, Poltekkes Kemenkes Malang, Universitas Cenderawasih, Universitas Hassanudin, Universitas Mulawarman, Universitas Trinita, Universitas Syiah Kuala, dan Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Jambi dan Univeristas Padjajaran. Pembukaan kegiatan ini difasilitasi oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes., MAS.
Pembukaan diawali dengan pemutaran perjalanan Forum Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang telang berlangsung sejak 2010 hingga sekarang. Kemudian diikuti dengan pengantar dari Ketua JKKI yaitu Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang memaparkan tentang Diseminasi Ilmu Pengetahuan Berbasis Website Berdasarkan Evidence Based. Laksono menjelaskan bahwa resiliensi dibutuhkan dalam melakukan pemulihan kondisi pandemi agar dapat menjadi lebih tangguh. Resiliensi ini harus dimiliki oleh negara dan organisasi pemerintah maupun non pemerintah dengan adanya sistem manajemen pengetahuan (knowledge management) yang terstruktur dan sistematis dalam mengembangkan dan menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk membantu proses pengambilan keputusan. Knowledge management ini juga penting untuk mendukung penyusunan kebijakan berbasis evidence-based. Laksono menjelaskan bentuk dari model evidence based for policy making yang terdiri atas bukti ilmiah, kepercayaan, pengalaman, bukti anekdot, opini dan nilai untuk membentuk suatu keputusan.
Acara dilanjutkan dengan sambutan dari Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed, Sp.OG(K), PhD selaku Dekan FK – KMK UGM menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 telah memberikan tantangan yang berbeda untuk kesehatan di Indonesia. Pandemi COVID-19 mempengaruhi sistem kesehatan nasional dan daerah sehingga setiap sektor didorong untuk beradaptasi dan membangun ketahanan diri terhadap beragam masalah yang muncul. Beberapa permasalahan yang harus dihadapi dalam pandemi COVID-19 adalah diantaranya terganggunya pelayanan sistem kesehatan Ibu dan Anak dan adanya potensi peningkatan peserta PBI JKN dari 28,4 juta pekerja yang di PHK dan membutuhkan 12 Triliun sehingga menambah beban APBN. Untuk itu, dalam menghadapi respons pandemi ini, Indonesia perlu mempersiapkan penguatan sistem kesehatan nasional untuk mencapai keamanan kesehatan.
Sebelum memulai sesi pemaparan dari para narasumber, Forum Nasional JKKI ke – 11 tahun 2021 juga menyediakan sesi Dialog Kebijakan bersama Menteri Kesehatan yaitu Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU dengan tema “Kebijakan Transformasi Kesehatan” yang diwawancarai oleh dr Yodi Mahendradhata, M.Sc, PhD, FRSPH. Dari dialog kebijakan, Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa fokus dari pemerintah untuk melakukan kebijakan transformasi kesehatan terdiri dari enam kategori yaitu: 1. Transformasi layanan primer; 2. Transformasi layanan rujukan; 3. Transformasi sistem ketahanan kesehatan; 4. Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5. Transformasi SDM kesehatan; dan 6. Transformasi teknologi kesehatan. Kebijakan transformasi kesehatan ini merupakan suatu pembelajaran dari krisis yang pernah dilalui Indonesia pada 1998 dan 2008. Selain itu, transformasi juga merupakan salah satu amanat dari Presiden untuk Menteri Kesehatan, amanat lainnya adalah vaksinasi dan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Untuk mendukung Menteri Kesehatan menjalankan amanat dan transformasi tersebut, diharapkan peneliti dan akademisi yang berkumpul dalam Forum Nasional ke – 11 dapat membangun diskusi kebijakan dengan berlandaskan evidence-based.
Sesi 1. Knowledge Management Sebagai Modal Untuk Transformasi Kesehatan
Setelah dialog kebijakan, moderator mempersilakan untuk narasumber pada sesi “Knowledge Management Sebagai Modal Untuk Transformasi Kesehatan” melakukan pemaparan. Narasumber pertama adalah Jana Hertz selaku Team Leader, Knowledge Sector Initiative (KSI). Knowledge Management (KM) yang dilakukan KSI dimulai dengan penentuan standar dan target untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai. Setelah itu melakukan produksi pengetahuan secara kolaboratif antara pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi lainnya untuk menjawab permasalahan masalah kebijakan. Ketiga dari kegiatan KM adalah pengumpulan dan pengecekan untuk pengecekan sistem publikasi, katalog dan standarisasi. Dari pengecekan tersebut, akan dihasilkan suatu platform, kanal informasi, dan kegiatan untuk meorganisasi dan dapat diakses oleh setiap pengguna. Akhiri dari pemaparan, Jana menyampaikan bahwa KM penting untuk tiga hal yaitu: membangun learning culture dan kapabilitas intellectual capital, mengajak partisipasi publik dan pentingnya keterlibatan multi-actor dalam proses pengambilan kebijakan, dan mendorong pengambilan kebijakan berbasis bukti.
Narasumber kedua adalah Dr. Mego Pinandito, M.Eng., Plt Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi dari BRIN. Mego menjelaskan KM merupakan modal untuk transformasi kesehatan. Menajemen pengetahuan yang dijelaskan oleh Mego bahwa BRIN memiliki skema ekosistem riset dan inovasi. Mego menekankan bahwa hasil penelitian yang sudah ada dalam laboratorium tidak dapat langsung dimanfaatkan jika belum dilakukan suatu uji coba. BRIN sendiri juga disampaikan memiliki sistem Knowledge Management untuk mendokumentasikan pengetahuan yang dimiliki oleh para pegawai BPPT. Selain itu, terdapat pula INTIP DAQU yang bersifat open source dari hasil penelitian LIPI yang mendapat perlindungan KI. Sementara KM BRIN yang berkaitan dengan klinis yaitu Multi-Center ClinicalTrial untuk mendukung manajemen, pengelolaan data, monitoring dan audit uji klinis.
Narasumber terakhir dari sesi ini adalah Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D selaku Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas. Pungkas menjelaskan konsep KM yang anut oleh Bappenas dimulai dengan gather, enrich, asses, share dan use. KM ini pada dasarnya digunakan untuk perancangan RPJMN sehingga menghasilkan arah kebijakan. Namun, ditengah pandemi COVID-19, KM juga digunakan untuk melakukan studi pembelajaran COVID-19 di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan negara lain. Dari KM pembelajaran tersebut menghasilkan bahwa sistem kesehatan nasional membutuhkan reformasi untuk memperkuat kapasitas ketahanan kesehatan, pelayanan kesehatam promotive-preventif dan manajemen respons.
Sesi 2 Penggunaan Data Rutin Sebagai Evidence Untuk Kebijakan Kesehatan
Selanjutnya, Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes., MAS mempersilakan untuk diskusi sesi kedua dengan tema Penggunaan Data Rutin Sebagai Evidence Untuk Kebijakan Kesehatan. Empat pembicara menyampaikan pemaparan materi yaitu dr. Lutfan Lazuardi, PhD selaku Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Karen Grepin selaku Associate Professor at the School of Public Health at the University of Hong Kong, Sukantoro mewakili Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia, dan Pretty Multihartina, PhD mewakili Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Lutfan Lazuardi mengawali pemaparan materinya dengan menyampaikan definisi dari Sistem Informasi Kesehatan Rutin (RHIS) yaitu sistem yang mengumpulkan data tentang layanan yang diberikan di fasilitas dan institusi kesehatan publik, swasta, dan tingkat komunitas. Data rutin memiliki beberapa kelebihan diantaranya tersedia saat dibutuhkan, low cost karena telah direncanakan sebelumnya, dapat digunakan sebagai baseline data dan initial assessment, namun data ini juga memiliki kekurangan seperti tidak lengkap dimana variabel yang terkait dan menarik mungkin tidak dikumpulkan dalam data rutin. Isu terkait rendahnya kualitas data rutin dapat diperbaiki apabila sering digunakan sehingga menemukan kelemahan dan solusi untuk meningkatkan kualitas data tersebut. Tantangan utama dalam data rutin adalah Pemerintah Daerah masih melihat kepentingan pengumpulan data rutin sebagai tugas pelaporan kepada pemerintah pusat dan belum banyak menggunakan data tersebut dalam proses pengambilan keputusan.
Karen memaparkan materi terkait pembelajaran dari Indonesia dan Singapura terkait penggunaan data rutin sebagai salah satu kritikal komponen sistem informasi kesehatan pada sistem kesehatan. Pengumpulan data rutin dilakukan pada interval waktu tertentu dapat menginformasikan para pembuatan kebijakan di berbagai tingkat dari masyarakat hingga pusat, termasuk alokasi sumber daya, layanan kesehatan dan pengambilan keputusan lainnya. Pengambilan keputusan didorong untuk menggunakan data dengan kualitas baik, dan komprehensif dan hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatannya namun masih menyisahkan masalah terkait disagregasi dan validasi data tersebut. Pandemi COVID-19 membuka pintu memikir kembali dan menguatkan RHIS karena memaksa pembuat kebijakan untuk menggunakan data sekunder untuk mengontrol dampak kesehatan yang tidak diinginkan.
Sesi 3 Peran Analis Kebijakan untuk Evidence Based Policy
Sukantoro menambahkan poin penting bahwa pandemi COVID-19 membutuhkan tranformasi sistem kesehatan ke depan dan membutuhkan sinergitas antara akademisi peneliti, pengambilan keputusan dan analisis kebijakan. Analis kebijakan harus mampu berperan dalam mewujudkan evidence based policy menuju kesehatan yang tangguh dengan terlibat dalam transformasi sistem kebijakan, memformulasikan hasil riset dalam kajian dan analisis kebijakan menjadi rekomendasi kebijakan berbasis bukti , mengkaji dan menganalisis berbagai masalah dan isu, bersinergi dengan profesi lain dan pengambil keputusan dan mampu memanfaatkan jalur teknokratis dan politis. Dokumen keajian dan analis kebijakan harus menjadi kesatuan arsip dengan dokumen kebijakan sebagai bukti telusur.
Pretty Multihartina menutup sesi ini dengan menyampaikan setiap pemimpin atau yang memiliki otoritas pasti akan membuat keputusan atau kebijakan baik formal atau nonformal dan jumlah kebijakan yang dihasilkan perlu dinilai sejauh mana pengaruh atau efektivitas kebijakan tersebut. Peran analis kebijakan dapat menyampaikan analyse of policy, dimana fungsinya untuk menilai, mengukur kebijakan seperti apa permasalahan selama dilaksanakan hingga dampaknya dan analyse for policy untuk merancang atau merumuskan kebijakan seperti apa kedepannya. Berdasarkan kepentingan tersebut, Jabatan Fungsi Analis Kebijakan (JFAK) harus mampu melakukan koordinasi dengan jabatan fungsi lainnya seperti jabatan fungsi statistik, peneliti, perencana dan lain – lain. Sumber – sumber bukti kebijakan yang dapat dimanfaatkan adalah pengetahuan, hasil penelitian, data sekunder, best practices negara lain dan tacit knowledge (tradisi atau kebiasaan).
Sistem kesehatan yang kuat (Resilience) adalah yang mampu melakukan upaya pencegahan, kesiapsiagaan, beradaptasi, melakukan respons, serta mampu kembali bangkit/pulih dalam menghadapi berbagai macam ancaman baik bencana alam, non alam seperti pandemi, krisis dan kedaruratan kesehatan masyarakat serta ancaman global lainnya (WHO, 2021). Namun, sistem kesehatan Indonesia yang dalam situasi normal saja cukup kewalahan dalam menghadapi tantangan layanan kesehatan masyarakat yang merata, harus menerima fakta digoncang hebat oleh bencana pandemi COVID-19 pada awal tahun 2020 hingga saat ini. Dibeberapa daerah Indonesia lainnya bahkan harus berjuang untuk merespons bencana alam ditengah bencana non alam, COVID-19. Ketahanan sistem kesehatan nasional dan daerah (SKN dan SKD) benar – benar diuji oleh penanganan COVID-19.
Ketahanan kesehatan menjadi sangat penting dalam menghadapi berbagai tantangan di masa mendatang. Sistem kesehatan yang kuat sangat dibutuhkan untuk mewujud dalam keamanan kesehatan (health Security) baik kontribusi di tingkat global, regional, nasional dan sub nasional. Sulawesi Selatan salah satu provinsi di Indonesia yang mewakili daerah dengan kerentanan bencana alam, ancaman kedaruratan kesehatan masyarakat dampak aktivitas transportasi, dan daerah yang terpilih untuk pengembangan kapasitas Public Health Emergency Operation Center/ PHEOC di daerah oleh PKMK FK – KMK UGM dan CDC sehingga menarik untuk melihat perkembangan upaya ketahanan kesehatan di sub nasional.
Melalui Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia XI (Fornas JKKI 2021), integrasi konsep ketahanan (resilience) dan keamanan (security) kesehatan akan dibahas selama dua hari. Dimulai sejak 12 Oktober 2021 yang membahas mengenai Health Security dan 14 Oktober 2021 membahas tentang ketahanan sistem kesehatan dan pengembangannya untuk rekomendasi sistem kesehatan nasional kedepannya yang kuat dan tahan untuk menghadapi semua ancaman (all hazard). Harapannya seminar ini akan menghasilkan satu pembelajaran dan praktik rekomendasi untuk meningkatkan ketahanan kesehatan ke depannya.
TUJUAN
Tujuan seminar ini adalah untuk mendiskusikan integrasi keamanan dan ketahanan sistem kesehatan ke depannya.
PROSES KEGIATAN
Kegiatan ini berlangsung dalam dua jam kegiatan, dimana narasumber akan menyampaikan paparan konsep, kemudian pembahas memberikan tanggapan, dan dilanjutkan dengan tanggapan umum dari seluruh peserta. Terakhir, steering person akan menyimpulkan poin penting untuk rekomendasi selanjutnya.
PESERTA
Seminar ini terbuka untuk umum. Diharapkan stakeholder pusat dan daerah, pemerhati dan peneliti bidang bencana dan krisis kesehatan, epidemiolog, global health security, ketahanan kesehatan, sistem kesehatan indonesia, serta praktisi dan mahasiswa pasca sarjana kesehatan dapat terlibat dalam kegiatan ini.
OUTPUT KEGIATAN
Peserta memahami integrasi konsep ketahanan (resilience) dan keamanan (security) kesehatan untuk sistem kesehatan nasional yang tahan dan kuat dalam menghadapi berbagai ancaman di segala situasi kedepannya. Kemudian dari hasil diskusi seminar ada pembelajaran dan praktik rekomendasi yang mendukung peningkatan kebijakan ketahanan kesehatan ke depannya.
WAKTU PELAKSANAAN
Hari, tanggal : Kamis, 14 Oktober 2021
Waktu : 08.30 – 12.00 WIB
Pemutaran Video Presentasi Policy Brief 1 “Perlindungan Hukum Jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bagi Tenaga Medis dan Kesehatan di Masa Pandemi COVID-19”
Edy Purwanto, SKM, MEpid – Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan
Perjalanan panjang Indonesia dalam berpartisipasi dan mewujudkan keamanan kesehatan sudah sejak 2005. Komitmen, keikutsertaan dalam penilaian, menerbitkan regulasi hingga sosialisasi terus dilakukan. Namun, hingga saat ini ketahanan kesehatan belum sepopuler ketahanan pangan, khususnya di daerah. Upaya deteksi, kesiapsiagan dan respon seolah menjadi pekerjaan bagian tertentu saja dibidang kesehatan untuk mewujudkan ini.
Terbukti dengan goncangan pandemi COVID-19 pada awal 2020, kesiapsiagaan keamanan kesehatan seperti diuji. Kapan harus siap dan mendeteksi masih terasa lemah. Apakah ini menjadi pekerjaan bidang surveilans, krisis kesehatan, atau lainnya. Kemudian akhirnya saling menunggu dan berkoordinasi, ditambah lagi penyakit ini adalah jenis baru yang proses penanganan dan penelitiannya dilakukan bersamaan, sehingga update dan perubahan terus terjadi hingga saat ini.
Hampir semua program kesehatan terganggu capaian dan layanan kesehatannya akibat pandemi COVID-19. Di beberapa daerah bahkan ikut diuji dengan terjadinya tanggap darurat bencana alam juga. Ancaman ganda seperti ini harus dapat diantisipasi penanganannya oleh sektor kesehatan, tidak saja untuk respon cepat, tetapi juga kesiapsiagaan. Perencanaan ketahanan kesehatan tidak lagi menjadi tanggungjawab satu bagian, melainkan harus dapat terintegrasi mulai dari analisis masalah perencanaan program – program dan indikator kesehatan oleh semua bidang di sektor kesehatan untuk mencapai keamanan kesehatan (gambar di samping).
Melalui Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia XI (Fornas JKKI 2021), integrasi konsep ketahanan (resilience) dan keamanan (security) kesehatan akan dibahas selama dua hari. Dimulai pada 12 Oktober 2021 yang membahas mengenai Health Security dan 13 Oktober 2021 membahas tentang ketahanan sistem kesehatan dan pengembangannya untuk rekomendasi sistem kesehatan nasional ke depannya yang kuat dan tahan untuk menghadapi semua ancaman (all hazard). Harapannya seminar ini akan menghasilkan satu pembelajaran dan praktik rekomendasi untuk meningkatkan ketahanan kesehatan ke depannya.
TUJUAN
Tujuan seminar topik 1 ini adalah untuk menggali lebih dalam mengenai konsep dan praktek program keamanan kesehatan untuk menghadapi berbagai ancaman ketahanan kesehatan.
PROSES KEGIATAN
Kegiatan ini berlangsung dalam dua jam kegiatan, dimana narasumber akan menyampaikan paparan konsep, kemudian pembahas memberikan tanggapan, dan dilanjutkan dengan tanggapan umum dari seluruh peserta. Terakhir, steering person akan menyimpulkan poin penting untuk dibahas kembali di topik 3.
PESERTA
Seminar ini terbuka untuk umum. Diharapkan stakeholder pusat dan daerah, pemerhati dan peneliti bidang bencana dan krisis kesehatan, epidemiolog, global health security, ketahanan kesehatan, sistem kesehatan indonesia, serta praktisi dan mahasiswa pascasarjana kesehatan dapat terlibat dalam kegiatan ini.
OUTPUT KEGIATAN
Peserta memahami keamanan (security) kesehatan untuk sistem kesehatan nasional yang tahan dan kuat dalam menghadapi berbagai ancaman di segala situasi kedepannya. Kemudian dari hasil diskusi seminar ada pembelajaran dan praktik rekomendasi yang mendukung peningkatan kebijakan ketahanan kesehatan kedepannya.
WAKTU PELAKSANAAN
Hari, tanggal : Selasa, 12 Oktober 2021
Waktu : 08.30 – 12.00 WIB
Pemutaran Video Presentasi Policy Brief 2
“Urgensi Pelibatan Masyarakat Dalam Mewujudkan Resiliensi Sistem Kesehatan Daerah: Pembelajaran Pandemi Covid-19”
Dialog Kebijakan Sebagai Pembuka Forum Nasional XI Kebijakan Transformasi Kesehatan
Narasumber: Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU., Menteri Kesehatan RI Pewawancara: dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc, Ph.D, FRSPH, Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Pengembangan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada