Kondisi pandemi COVID-19 yang menyebabkan banyak gangguan terhadap pelayanan kesehatan dan dampak sosial ekonomi lainnya melahirkan suatu agenda kebijakan Kementerian Kesehatan untuk melakukan transformasi sistem kesehatan. Tujuan dari transformasi sistem kesehatan untuk meningkatkan efektivitas, akuntabilitas, dan pemerataan pelayanan kesehatan. Dampak atau outcome yang diharapkan dari transformasi terdiri dari: meningkatkan kesehatan  ibu, anak, keluarga  berencana dan  kesehatan reproduksi; mempercepat perbaikan  gizi masyarakat; memperbaiki  pengendalian penyakit; terciptanya Gerakan Masyarakat  Hidup Sehat (GERMAS); dan memperkuat sistem  kesehatan &  pengendalian obat dan  makanan. Untuk mencapai outcome tersebut, Kementerian Kesehatan merancang enam pilar transformasi yaitu: 1) pelayanan primer; 2) pelayanan rujukan; 3) sistem ketahanan kesehatan; 4) sistem pembiayaan kesehatan; 5) SDM kesehatan; dan 6) teknologi kesehatan (lihat gambar 1).

Mewujudkan transformasi sistem kesehatan, Kementerian Kesehatan membutuhkan berbagai dukungan dari pemangku kepentingan. Dukungan yang dibutuhkan khususnya terkait penyediaan evidence-based dan analisis kebijakan dalam melakukan transformasi agar dapat memperkuat enam pilar tersebut dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan yang akan datang. Salah satu tujuan penting yang ingin dicapai dari transformasi kesehatan adalah pengendalian penyakit. Di Indonesia, terdapat peningkatan beban biaya penyakit katastropik terhadap JKN. Dari tahun 2017 ke tahun 2018, terjadi peningkatan berturut – turut 26% (2017), 12% (2018), 15% (2019) dan turun -12% tahun 2020 karena situasi pandemi. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menggambarkan bahwa penyakit katastropik tahun 2020 menempati 25% – 31% dari total beban jaminan kesehatan. Pada tahun 2020, BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya sebesar Rp20,0 triliun atau 25% dari biaya klaim layanan kesehatan JKN-KIS. Beban jaminan kesehatan untuk penyakit katastropik secara nasional dapat dilihat pada Gambar 2.

Sebagian besar penyakit katastropik adalah penyakit tidak menular (PTM) yang memiliki faktor risiko metabolik, lingkungan, dan perilaku. PTM membutuhkan perawatan medis lama dan biaya tinggi, padahal kejadiannya dapat dicegah sejak dini melalui kegiatan promotif dan preventif di masyarakat. Diabetes melitus (DM) adalah penyakit katastropik yang komplikasinya dapat menyebabkan penyakit jantung, gagal ginjal, dan stroke yang berkontribusi tinggi terhadap klaim biaya kesehatan. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2018, prevalensi DM di Indonesia adalah 10,9% atau sekitar 20,4 juta orang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terjadi kenaikan jumlah pasien DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada 2030. Prediksi ini ternyata terbukti dari laporan RISKESDAS yang menunjukkan adanya peningkatan prevalensi DM.

Diabetes melitus adalah penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah yang disertai kondisi penurunan produksi insulin dan/atau resistensi insulin dalam tubuh. Penyakit ini bersifat kronis dan akumulatif, sehingga banyak muncul pada usia lanjut. Penyakit ini juga menghasilkan berbagai tantangan baik dari tingkat prevensi, layanan primer, rujukan, hingga rehabilitatif akibat komplikasi-komplikasi yang mungkin ditimbulkan.  Keterlibatan berbagai pihak, mulai dari pemangku kebijakan, ahli dan klinisi, serta peneliti, dibutuhkan agar manajemen DM di Indonesia dapat ditangani dengan baik dan menurunkan beban kesehatan negara ini.

Tim Analisis Kebijakan FK-KMK UGM untuk Diabetes Melitus akan menyusun sebuah monograf untuk menilik kebijakan yang telah ada di Indonesia, membandingkan dengan situasi di lapangan, dan merumuskan usulan kebijakan untuk memperbaiki manajemen diabetes di Indonesia. Webinar ini hadir sebagai sarana untuk menunjukkan bagaimana mekanisme kajian dari kebijakan (analysis of policy) dan kajian untuk kebijakan (analysis for policy) dapat bergerak berdasarkan bukti ilmiah dan keilmuan klinisi ahli, supaya kebijakan yang hadir dapat selaras dengan kebutuhan dan pedoman tatalaksana yang ada.

  1. Akademisi (dosen dan mahasiswa), peneliti, dan analis kebijakan kesehatan di perguruan tinggi masing-masing provinsi
  2. Peneliti dan analis kebijakan kesehatan, organisasi profesi, dan organisasi non pemerintah
  3. Peneliti dan analis kebijakan kesehatan di lembaga pemerintah pusat dan daerah
  4. Pengambil keputusan bidang kesehatan dan terkait di pemerintah pusat dan daerah
  5. Pemerhati  dan pemangku kepentingan terkait lainnya di bidang kesehatan

Hari, tanggal               : Rabu, 26 Oktober 2022
Waktu                         : 08.45 – 12.45 WIB

PKMK-Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) XII topik kesembilan dengan judul “Kebijakan Diabetes Melitus di Indonesia” pada Rabu (26/10/2022). Forum nasional ini terselenggara atas kerja sama JKKI, PKMK UGM, mitra, Pokja Endokrin Metabolik FK-KMK UGM serta 11 universitas co-host.

Pengantar

Acara diawali dengan pengantar oleh dr. Vina Yanti Susanti, Sp.PD-KEMD, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Pokja Endokrin Metabolik, yang menyampaikan rangkuman Webinar Dialog Kebijakan Diabetes Melitus (DM) seri 1-9 yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada webinar-webinar sebelumnya, telah dibahas secara komprehensif berbagai analisis kebijakan DM mulai dari level pencegahan, layanan primer, hingga layanan rujukan, serta telah didiskusikan berbagai usulan untuk perbaikan kebijakan DM di masa mendatang. Vina menyimpulkan bahwa diperlukan suatu transformasi kebijakan yang mengedepankan pendekatan inovatif, integratif, dan memiliki kontinuitas yang komprehensif, serta memiliki impact yang dapat diukur dengan indikator-indikator tertentu.

 

Sesi I Analisis Kebijakan DM Tahun 2022 dan Usulan Kebijakan DM untuk Tahun 2023

Memasuki sesi pertama, Dr. Supriyati, S.Sos., M.Kes menyampaikan usulan kebijakan untuk pencegahan DM di Indonesia. Kebijakan dan program pencegahan DM sebaiknya berfokus pada perbaikan gaya hidup, misalnya dengan membangun kesadaran tentang potensi risiko DM; menanamkan gaya hidup sehat sejak dini; meningkatkan akses makanan sehat; dan menciptakan iklim yang mendorong aktivitas fisik di masyarakat. Supriyati mengusulkan tagline khusus sebagai bentuk promosi kesehatan untuk pencegahan DM, yaitu “Cegah DM dengan SAMPerin”.

Melanjutkan materi, dr. Vina Yanti Susanti, Sp.PD-KEMD, M.Sc., PhD menyampaikan usulan kebijakan DM dari segi klinis. Pasien yang terdiagnosis DM telah mengalami kerusakan sel beta pankreas sebesar 50%. Oleh sebab itu, Vina mengusulkan agar pencegahan DM sebaiknya dilakukan saat pasien masih dalam kondisi sehat melalui skrining DM. Selain itu, diperlukan juga kebijakan riset mengenai DM bagi individu dengan komorbiditas, agar dapat diberikan intervensi DM yang tepat sasaran.

Sebagai penutup materi sesi pertama, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD selaku Ketua JKKI mengajak audiens berdiskusi, apakah mungkin menerapkan prinsip-prinsip transformasi kesehatan untuk menahan laju pertumbuhan DM? Laksono mengusulkan penggunaan data lokal untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah dan masyarakat luas agar dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan DM yang baru. Untuk mendukung hal tersebut, perlu dibentuk suatu kelompok jaringan sosial yang memiliki visi mengurangi angka DM di kabupaten/kota.

Kegiatan dilanjutkan dengan tanggapan oleh pembahas dari lembaga penentu kebijakan, yaitu Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI.

 

Sesi II Konsep Jaringan Sosial dalam Pengendalian Penyakit

Pada sesi kedua, Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA membuka sesi dengan memaparkan tentang aksi-aksi masyarakat sipil dalam diabetes-related upstream policies. Terkait kebijakan pencegahan DM di level hulu, masyarakat dapat terlibat dalam membangun solidaritas ketika berhadapan dengan krisis penyakit, membangun kesadaran untuk menerapkan gaya hidup sehat, serta menjadi bagian dari komunitas kebijakan untuk pencegahan DM. Agar masyarakat sipil terpacu untuk mendorong terbentuknya kebijakan pencegahan DM, diperlukan sistem peringkat “kota layak kesehatan” di level nasional, sehingga masyarakat di setiap daerah akan berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik.

Selanjutnya, Amelia Maika, S.Sos., MA. MSc., PhD memaparkan tentang konsep jaringan sosial dalam pencegahan penyakit. Menurut Amelia, jaringan sosial memiliki potensi besar dalam upaya pencegahan penyakit DM, namun dibutuhkan kerja sama banyak pihak dan upaya yang sistematis dan komprehensif dalam membangun jaringan sosial, termasuk meningkatkan kualitas agen dalam jejaring tersebut.

Sebagai tanggapan untuk kedua materi narasumber, Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., PhD mengemukakan bahwa terdapat gap antara pengetahuan klinisi dan akademisi dengan pengetahuan masyarakat tentang DM, sehingga dengan adanya jaringan sosial maka dapat menjembatani gap tersebut.

 

Sesi III Diskusi: Bagaimana Melakukan Pengembangan Kebijakan DM di Indonesia?

Diskusi panel sesi ketiga dipandu oleh Tri Muhartini, MPA. Panelis pertama, Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes selaku Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan menyampaikan mengenai program pengelolaan DM yang sudah digagas oleh BPJS Kesehatan, yaitu Prolanis. Agar Prolanis dapat diakses seluruh masyarakat, BPJS telah melakukan inovasi dengan membentuk grup WhatsApp di level FKTP sehingga memudahkan pasien terhubung langsung dengan tenaga kesehatan. Selain itu, BPJS Kesehatan juga sedang mengembangkan telemedisin untuk memudahkan pemantauan pasien.

Selanjutnya, panelis kedua yakni dr. Raden Bowo Pramono, Sp.PD-KEMD sebagai perwakilan dari Pokja Endokrin Metabolik FK-KMK UGM turut menjelaskan upaya yang telah dilakukan Pokja Endokrin Metabolik untuk menekan prevalensi DM. Pokja tersebut telah memberikan pelatihan kepada puskesmas di wilayah DIY untuk melatih kader Posbindu guna mendeteksi dini penderita DM, sehingga apabila ditemukan kasus DM di Posbindu, maka pasien tersebut dapat langsung dirujuk ke puskesmas. Panelis terakhir, dr. Haryo Bismantara, MPH selaku perwakilan dari Academic Health System (AHS) UGM menyampaikan bahwa untuk ke depannya, kolaborasi AHS akan bersifat kewilayahan, dimana Fakultas Kedokteran/Rumah Sakit Pendidikan akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan dan penelitian kesehatan dengan menyesuaikan kondisi di masing-masing wilayah, termasuk untuk DM.

 

Reporter:
Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz (PKMK UGM)