LATAR BELAKANG
Di dalam RPJMN 2020-2024 ada situasi kekawatiran akan deindustrialisasi di Indonesia. Oleh karena itu di dalam RPJMN 2020-2024 pemerintah Indonesia bertekad melakukan akselerasi industri. Akselerasi Industri mencakup: (1) industri pengolahan hulu agro, kimia dan logam; dan (2) industri pengolahan yang memiliki kontribusi nilai tambah dan daya saing yang tinggi. Kelompok ke dua ini mencakup: industry makanan minuman, farmasi dan alat kesehatan, alat transportasi termasuk yang berbahan bakar listrik, elektrikal dan elektronik, mesin dan peralatan, tekstil dan produk tekstil, dan alas kaki. Industri farmasi mencakup: obat Kimiawi, obat Herbal, Vaksin, dan obat Biotech. Industri Alat Kesehatan terdiri atas 11 Bahan Baku yang berbeda- beda. Besaran ekonomi Sektor Industri obat dan Alat Kesehatan relative masih belum tinggi. Obat (non Jamu) sekitar Rp 80 Triliun, Jamu sekitar Rp 20 Triliun, Dalam hal ini penjualan fitofarmaka masih sangat rendah yang belum tercatat secara baik. Alat Kesehatan sekitar Rp 43 Triliun.
Ekosistem Industri obat dan Alat Kesehatan
Industri obat dan alat Kesehatan mempunyai ciri yang sangat kuat dalam menjamin keselamatanan pengguna industry. Oleh karena itu ekosistem Industri Farmasi-ALkes mempunyai system regulasi yang sangat kuat. Ada pihak regulator yang berusaha menjamin mutu dan keselamatan produk farmas. Ekosistem terdiri atas: Pihak Regulator yaitu di industri Farmasi: oleh BPOM dan di industri Alat kesehatan oleh Kementerian Kesehatan. Disamping kebijakan keselamatan dan mutu produk, industry farmasi dan alkes memnpunyai kebijakan penggunakan produk dalam negeri yang diatur oleh kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan TKDN ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian. Operator-operator dalam industry Farmasi sangat banyak mulai dari importir industri farmasi: IPMG, gabungan pabrik dalam negeri di GP Farmasi, GP Jamu, kelompok distributor, retail/apotik sampai ke pelayanan Kesehatan. Operator Alat Kesehatan juga mirip. Ada yang berkumpul di Gakeslab, APAKSI, dan berbagai perusahaan lainnya. Pendana industry obat antara lain: BPJS, pemerintah pusat dan daerah, dan masyarakat yang membeli langsung. Peneliti dan Inventor: BRIN, Kemendikbud-riset, Industri. Juga ada kelompok-kelompok profesi dan pengguna di masyarakat. Secara proses produksi, industri obat dan alkes sangat panjang. Industri obat dari hulu ke hilir dapat digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan pengalaman saat Covid19, aspek ketahanan Industri Obat dan Alkes menjadi hal strategis namun masih menghadapi tantangan berat. Walaupun usaha penggunaan produk local sudah dipicu sejak tahun 2009, situasi saat ini untuk Farmasi dan Alat Kesehatan masih dikuasai oleh industri asing, dari hulu sampai hilir. Kandungan local dalam produksi obat dan alat Kesehatan masih rendah. Oleh karena itu disamping kebijakan ijin edar oleh BPOM (obat) dan Kemenkes (untuk alkes), pemerintah melakukan Kebijakan TKDN yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian dan berbagai kebijakan terkait dengan penjualan-pembelian. Kebijakan TKDN merupakan instrumen kunci untuk kemandirian Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Didukung oleh Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 yang menyatakan minimal 40%. Saat ini sudah ada formulasi TKDN untuk industry farmasi, namun belum ada yang khusus untuk Alkes.
Melihat pengalaman sektor lain yang menggunakan TKDN sebagai milestone diharapkan produk-produk sediaan farmasi diberi target TKDN sebagai pemicu oleh pemerintah, dimana kegiatan ditangani sebagai Proyek Pengembangan dengan indikator TKDN. Dengan target TKDN, diharapkan ada percepatan Penelitian sediaan farmasi di berbagai komponen proses. Akan tetapi TKDN sebagai target pengembangan masih belum cepat untuk meningkatkan ketahanan industry khususnya alkes. Oleh karena itu ada Kebijakan Procurement dalam bentuk E-Catalog dengan Kebijakan Freezing dan unfreezing yang diprakarsi oleh Kementerian Koordiantor Maritim dan Investasi. Di tahun 2022 kebijakan lebih ketat untuk pembelian produk dalam negeri dilakukan dengan dasar Inpres 2/2022. Dalam Inpres ini Menteri Kesehatan diperintah untuk:
- Menyederhanakan persyaratan dan mempercepat proses penerbitan perizinan berusaha produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi;
- mempercepat penayangan katalog sektor kesehatan (sediaan farmasi dan alat kesehatan) produk dalam negeri; dan
- memperbarui kebijakan dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
Kebijakan ini mungkin berhasil dan mungkin gagal. Namun saat ini nada kebijakan sudah berubah dari himbauan (Persuasi) ke nada-nada memaksa. BPKP, Irjen akan memeriksa pembelian alat Kesehatan dan obat oleh organisasi pelayanan Kesehatan pemerintah yang terkena Inpres. Kondite direksi akan dinilai. Bagaimana ke depannya? Apakah Kebijakan Inpres 2 tahun 2022, yang didahului berbagai kebijakan lain akan berhasil? Sangat tergantung pada kualitas monitoring kebijakan ini. Yang diharapkan adalah Kinerja Pembelian Alat Kesehatan
dan BMHP dalam negeri dipantau dengan ketat. Penggunaan akan dapat dilihat per RS, dengan klasemen Kelas A/B/C/D, akan dapat dilihat per produk kegiatan, dan akan dapat dilihat setiap saat. Oleh karena itu data pemantauan dapat menjadi bahan keputusan misalnya: penetapan DAK di tahun depan, kondite direksi, dan berbagai tindakan lainnya.
PESERTA
- Akademisi (Dosen dan mahasiswa), peneliti dan analis kebijakan kesehatan di perguruan tinggi masing-masing provinsi
- Peneliti dan analis kebijakan kesehatan di Think Tank, Organisasi Profesi, dan Organisasi non pemerintah
- Peneliti dan analis kebijakan kesehatan di lembaga pemerintah pusat dan daerah
- Pengambil keputusan bidang kesehatan dan terkait di pemerintah pusat dan daerah
- Pemerhati dan pemangku kepentingan terkait lainnya di bidang kesehatan
WAKTU PELAKSANAAN
Hari, tanggal : Kamis, 20 Oktober 2022
Waktu : 08.00 – 13.15 WIB
LAMPIRAN POLICY BRIEF
12.40-13.10 | Presentasi Policy Brief
Strategi Pengembangan Bahan Baku Obat (BBO) Dalam Negeri Meningkatkan Ketahanan Sektor Farmasi dan Alat Kesehatan melalui Kolaborasi Riset dan Inovasi antara Industri, Peneliti dan Pemerintah - Rolando Gultom Optimalisasi Metode Riset Dalam Pengukuran Kualitas Obat |
Pembahas:
Direktorat Jenderal Kefarmasiaan dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan |
REPORTASE
20 Oktober 2022
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan pembukaan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-12 topik kelima dengan judul “Kebijakan Industri Farmasi, Alat Kesehatan, dan Fitofarmaka di Indonesia: Tantangan untuk Meningkatkan Ketahanan” pada Kamis (20/10/2022). Penyelenggaraan forum ini dilakukan oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, PKMK UGM dengan mitra InaHEA serta 11 universitas co-host.
Sambutan
Acara diawali dengan sambutan dari Dr. Dra. Lucia Rizka Andalucia, Apt, M.Pharm, MARS selaku Dirjen Farmalkes Kemenkes RI menyampaikan apresiasi atas terlaksananya acara ini, karena menambah minat praktisi yang memiliki keinginan terlibat dalam ketahanan industri obat dan alat kesehatan. Selama pandemi, terdapat banyak masalah dan kerapuhan yang terjadi pada berbagai produk obat dan alat kesehatan.
Kemenkes mengupayakan untuk terus mendorong pertumbuhan industri farmasi dan alat kesehatan, dengan meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri dan menekan impor, dan akhirnya mencapai ketahanan industri. Selain peran Kemenkes, tentu diperlukan peran serta berbagai aktor mulai dari pelaku industri, peneliti, akademisi, dan pemangku kebijakan. Sinergi dari berbagai pihak tentu akan membantu percepatan proses teraihnya ketahanan. Rekomendasi yang bisa terbentuk dari acara ini juga dinantikan agar dapat membantu menyusun strategi langkah Kemenkes selanjutnya.
Pengantar Diskusi
Acara kedua adalah pendahuluan yang merupakan sesi diskusi panel yang difasilitasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Industri obat dan alkes adalah topik yang hangat untuk dibahas. Peningkatan penggunaan produk dalam negeri merupakan salah satu faktor ketahanan, tapi di sisi lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana sebuah negara dapat tahan terhadap goncangan (misalkan pada kondisi pandemi).
Pembukaan seminar menghadirkan 3 narasumber ahli dalam industri obat dan alat kesehatan, yakni Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG(K)-FER, MPH; Prof. Dr. Dra. Sri Suryawati, Apt; dan Dr. I Gede Made Wirabrata, S.Si., Apt., M.Kes., M.M., M.H. Prof. Budi menyatakan ketahanan industri obat dan alkes adalah keniscayaan dan harus dilakukan oleh Indonesia, yang memiliki target market yang strategis. Terdapat 3 hal yang sangat penting, antara lain; data, development, dan delivery. Surya melanjutkan dengan tanggapan terhadap peran kebijakan untuk industri farmasi. Saat ini, industri membutuhkan kebijakan untuk menyatukan stake holder supaya dapat mencapai tujuan bersama, yakni ketahanan. Penyusunan kebijakan yang menyatukan berbagai kepentingan diikuti dengan regulasi untuk produk terstandar harus segera dikerjakan. Namun, Surya juga optimis bahwa Indonesia dapat meraih ketahanan industri obat dan alkes. Di sisi lain, Wira, selaku Kepala BKPK Kemenkes, menyampaikan bahwa Kemenkes berupaya memetakan dari tahun ke tahun dan bagaimana melengkapi kekurangan yang ada baik dari segi logistik/data bahan baku, kebijakan dan regulasi, sampai pada tahap pengembangan dan distribusi.
Bagian I
Selepas sesi pendahuluan, dilanjutkan dengan sesi utama bagian I. Sesi ini dipandu oleh Dr. Rimawati, S.H., M.Hum. Narasumber pertama, yakni Drs. Pamian Siregar, M.B.A. selaku Dirut PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, menyampaikan bahwa menurut perspektif industri dalam ketahanan farmasi berdasarkan perhitungan ekonomi, penting sekali untuk mengamankan bahan baku obat. Setelah pandemi, hal ini menjadi lebih jelas lagi dan menjadi kunci bagi ketahanan industri farmasi.
Narasumber kedua adalah Anda Waluyo Sapardan, yang merupakan CEO SEHATI dan TeleCTG, menyebutkan dalam mewujudkan ketahanan, diperlukan komitmen penuh dari semua pemangku kepentingan, khususnya kepastian penyerapan dan penggunaan produk oleh pemerintah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan kepastian regulasi, forum dialog lintas sektor, termasuk memasukkan unsur kepemilikan teknologi, dan pemberian sanksi bagi pelanggar pengguna produk alkes nasional.
Narasumber terakhir dari sesi ini adalah Dr. Riza Noer Arfani, M.A., menjelaskan tentang tantangan perdagangan internasional setelah adanya TRIPs yang dicanangkan oleh WTO. Dua kunci agenda yang harus disiapkan, yakni terkait sustainabilitas dan replikabilitas. Pertama, perlu dilakukan peningkatan kapasitas pemangku kebijakan terkait dan pemerintahan di bawahnya dengan skema konsorsorium. Kedua, terkait replikabilitas, adalah melakukan replikasi sektor dan regional yang memiliki konteks mirip serta mengambil contoh terbaik mereka, dan memastikan pemerintah dapat mengadopsi, menginternalisasi, dan mengintegrasikan inisiatif kepada rencana pembangunan ke depan.
Bagian II
Room A: Fokus Industri Alat Kesehatan
Kegiatan dipandu oleh dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, M.Sc., Ph.D., Sp.A. Materi pertama disampaikan oleh Dr. Hargo Utomo, M.B.A selaku Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM. Menurut Hargo, kompetisi industri alat kesehatan nasional saat ini masih didominasi oleh produk asing. Untuk itu, diperlukan penguatan kapasitas industri alat kesehatan domestik untuk menyokong ketahanan industri kesehatan nasional dan meraih kepercayaan publik, terhadap produk-produk alat kesehatan dalam negeri untuk mendorong inovasi industri alat kesehatan di Indonesia. Roy Himawan, S.Farm., Apt., MKM selaku Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI melanjutkan dengan menyampaikan Kemenkes RI mengusung program prioritas untuk mewujudkan ketahanan industri alkes dalam negeri. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, terutama karena ekosistem industri bahan baku alat kesehatan belum siap untuk menunjang pengembangan industri alat kesehatan di Indonesia. Materi terakhir disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD. Sebagai penutup, kebijakan Inpres Nomor 2 Tahun 2022 terbit sebagai panduan menuju ketahanan sudah baik, namun saat ini masih berada dalam tahap awal pelaksanaan. Masih diperlukan kolaborasi lintas pihak agar dapat terwujud dan tentunya saling melengkapi kekurangan yang ada.
Room B: Fokus Industri Farmasi
Dalam forum dengan fokus industri farmasi yang dipandu oleh dr. Lukman Ade Chandra, M.Med., M.Phil. Pembicara pertama, Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes dari Universitas Pancasila, memaparkan hasil penelitian yang dilakukannya. Poin penting yang dihasilkan diantaranya; (1) sudah terjadi tier-system dalam obat-obatan, (2) Obat yang berada di luar Formularium Nasional, memiliki pangsa pasar tersendiri baik di dalam maupun luar negeri, (3) Hingga saat ini belum ada data besar dan konsisten terkait data volume dan value obat-obatan, serta (4) Belum tersedia sistem nasional untuk memantau pasar farmasi.
Selanjutnya, Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS selaku Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes menyampaikan saat ini Kemenkes sudah memiliki roadmap kemandirian industri farmasi. Selain itu, telah terdapat regulasi capaian TKDN Bahan Baku Aktif/API. Obat dengan TKDN BBO >52%, akan diprioritaskan tersedia di pasar. Kemenkes juga telah menyediakan formularium nasional dan etalase katalog sektoral untuk membantu penyedia layanan dan konsumen untuk memilih produk dalam negeri. Terakhir, Mahadi Margiono selaku Associate Director, Business Solution IQVIA menjelaskan industri farmasi di Indonesia memiliki grafik pertumbuhan stabil hingga pertengahan 2022, terutama ditunjang oleh kelompok obat etikal domestik dan dua gelombang COVID-19 dalam 12 bulan terakhir, meski pertumbuhannya tidak secepat Malaysia dan Singapura dalam hal persentase. Dari segi pasokan, pertumbuhan dalam kelompok obat etikal dipengaruhi oleh obat generik tak bermerk. Sedangkan dari segi permintaan, sektor RS sangat tergantung pada e-katalog sedangkan produk-produk non e-katalog ketersediaan dan permintaannya stabil di toko-toko obat.
Room C: Fokus Industri Herbal dan Fitofarmaka
Prof. I Ketut Adnyana, M.Si., Ph.D, Dekan Farmasi ITB mengawali diskusi dengan menyampaikan potensi pengembangan industri herbal di Indonesia yang menjanjikan. Upaya pengembangan industri herbal dan kesehatan tradisional bahkan menjadi salah satu fokus transformasi ekonomi di Provinsi Bali, seperti yang disampaikan Guru Besar FMIPA Universitas Udayana, Prof. apt. Dr.rer.nat I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si. Upaya tersebut dilakukan dengan penguatan industri obat tradisional; penguatan pelayanan kesehatan tradisional; dan penguatan Bali Mahosadhi (Balinese Wellness).
Dari sudut pandang praktisi, Dr. dr. Eti Nurwening Sholikhah, M.Kes, M.Med.Ed menjelaskan perlunya pemutakhiran kurikulum obat herbal yang saat ini masih dikembangkan mandiri oleh masing-masing institusi Fakultas Kedokteran dalam rangka meningkatkan penggunaan obat herbal di masyarakat. Ni Kadek Wrditiani, S.Farm, M.Sc. selaku moderator juga berpendapat diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak demi kemajuan industri obat herbal dan fitofarmaka di Indonesia.
Reporter: dr. Alif Indiralarasati (PKMK UGM)