Topik 4C Ketahanan Layanan Kanker: Tantangan dan peluang pelayanan kanker selama pandemi dan rencana pemulihan pasca pandemi COVID-19

Soal Ujian Topik 4C. Ketahanan Layanan Kanker

 

Nama Lengkap
Email

Topik 4A Ketahanan Layanan KIA

Soal Ujian Topik 4A. Ketahanan Layanan KIA

 

Nama Lengkap
Email

Topik 3 Penguatan Sistem Kesehatan Nasional yang Tahan terhadap Berbagai Ancaman

Soal Ujian Topik 3. Penguatan Sistem Kesehatan Nasional yang Tahan terhadap Berbagai Ancaman

 

Nama Lengkap
Email

Topik 1. Health Security

Soal Ujian Topik 1. Health Security

 

Nama Lengkap
Email

Topik 5 Kebijakan JKN Untuk Keadilan Sosial

Soal Ujian Topik 5. Kebijakan JKN Untuk Keadilan Sosial

 

Nama Lengkap
Email

Topik 2 Ketahanan Sistem Kesehatan

Soal Ujian Topik 2. Ketahanan Sistem Kesehatan

 

Nama Lengkap
Email

Reportase Topik 5.2 Keberlanjutan JKN Melalui Implementasi Cost-Sharing dan Penguatan UU SJSN – UU BPJS

26 Oktober 2021

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan webinar mengenai Keberlanjutan JKN Melalui Implementasi Cost-Sharing dan Penguatan UU SJSN – UU BPJS. Webinar ini merupakan topik kelima dari rangkaian Forum Nasional yang ke XI yang telah terselenggara sejak 11 Oktober 2021.

Sesi I. Policy Brief

Pada sesi ini disampaikan video presentasi 3 policy brief terpilih tentang kebijakan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Policy brief yang dipresentasikan adalah sebagai berikut : (1) “Sinergisasi Tata Kelola JKN Dalam Penguat Peran Pemerintah Daerah” oleh Vini Restu Insani (2) “Pada Ketimpangan Utilisasi Layanan Jantung & Tata Layanan Hipertensi yang Tidak Tuntas di FKTP Provinsi NTT” oleh Tri Aktariyani, Edit Oktavia, & Laksono Trisnantoro, dan (3) Butuh Komitmen Pemerintah Daerah dan BPJS Kesehatan dalam Menutup Disparitas Layanan Kesehatan di Sumatera Utara oleh Juanita, Siti Khadijah Nasution, Zulfendri, dan Laksono Trisnantoro.

Shite Listyadewi

Komentar policy brief pada sesi ini disampaikan oleh Shita Listya Dewi (PKMK FK KMK UGM). Saran dan masukan yang diberikan antara lain hal yang pertama harus dipahami apa yang ingin kita capai dari policy brief kita dan pada level mana ingin berhasil. Misalnya pada level mendasar, tujuannya ingin memberikan pemahaman kepada policy maker terhadap permasalahan yang ada, dan mengapa penting untuk disikapi. Data yang dimasukkan dalam policy brief sudah baik dan banyak, namun kontekstualisasi data juga perlu ditunjukkan kepada policy maker. Policy brief jangan dibuat seperti ringkasan penelitian dan harus lebih persuasif serta argumentatif, dan yang terakhir, rekomendasi yang disajikan dalam policy brief harus bisa diaplikasikan oleh policy maker dan sesuai dengan wewenangnya.

 

 

Sesi II. Talkshow Cost-Sharing

Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes

Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes. selaku host talkshow membuka sesi dengan memaparkan tentang kebijakan JKN di masa pandemi menjadi fokus dan prioritas bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk penurunan utilisasi JKN. Turunnya utilisasi berdampak pada meningkatnya cashflow maupun dana cadangan jaminan sosial. Di sisi lain, Kemenkes sedang mengusulkan tentang kebijakan dasar kesehatan (KDK), termasuk iur biaya JKN.

Dr. Yuli Farianti, M. Epid dari Kemenkes memaparkan terkait kebijakan cost sharing diberlakukan oleh Kemenkes. Telah ditetapkan bahwa Kemenkes harus memberikan manfaat kebutuhan dasar, termasuk definisi dan pengaplikasian dalam reformasi manfaat JKN. Beberapa hal pokok yang direformasi oleh MenKes dari JKN, salah satunya reformasi manfaat JKN, tujuannya kualitas layanan dan pengendalian. Melihat beban JKN yang ada, lebih banyak di kuratif daripada promotif, sehingga MenKes memasukkan penguatan promotif dan preventif untuk upaya kesehatan perorangan dan keluarga dalam KDK. Konsep skrining juga diadakan dalam upaya pengendalian katastropik.

Yang kedua adalah penataan ulang manfaat JKN, misalnya untuk penyakit katastropik yang tidak bisa dijamin dan ada penyakit lain yang bisa tidak dijamin, disitulah muncul definisi kebutuhan dasar kesehatan. Diputuskan secara regulasi KDK bersifat life saving dan mengacu pada pola epidemiologi di Indonesia. Ada 4 yang diambil dari naskah akademik sebagai manfaat JKN: (1) Upaya Kesehatan Perorangan (2) Harus sesuai standar (3) adanya Health technology assessment (4) unbearable risk termasuk penyakit katastropik, dan sesuai dengan pola epidemiologi Indonesia. Dari situ muncul 2 daftar, positif dan negatif, dimana pada daftar yang positif muncul kebijakan cost sharing.

Konsep cost sharing adalah bagaimana asuransi swasta bisa masuk dan bisa inline dengan JKN. Konsep iur biaya tujuannya  untuk mengurangi overuse, menekan potensi moral hazard dari peserta, dan stabilitas besaran premi. Terkait besaran urun biaya dan hal-hal apa saja layanan yang kena urun biaya : harus meredefinisi urun biaya pada UU No. 40/2004 dan usulan dari layanan yang frekuensinya tinggi. Potensi fraud dan moral hazard yang besar adalah SC, rehabilitasi medik, dan katarak.

Dr. Mokhamad Cucu Zakaria dari BPJS memaparkan terkait utilisasi JKN selama pandemi menurun, dimana yang berobat ke faskes adalah yang benar-benar membutuhkan atau penyakit katastropik. Penyakit katastropik menelan biaya 25- 31% dari total biaya JKN, dengan penyakit yang paling besar menyerap biaya adalah penyakit jantung, dan sekitar 84% terserap di FKTL. Penyakit kanker adalah penyakit yang terbesar kedua dalam pembiayaan katastrofik, dengan besaran 18% dari total biaya katastrofik. Namun, siapa yang memanfaatkan biaya ini belum dipaparkan. Prinsip equity ini harus kita jaga dan walaupun asuransi swasta masuk, JKN harus superior karena merupakan program biaya.

Bapak Jefri dari Asuransi Jiwasraya mengatakan bahwa asosiasi asuransi komersial prinsipnya setuju dengan iur biaya untuk mendidik peserta dan nasabah bahwa preventif lebih penting daripada kuratif. Tapi ada 1 hal concern terkait iur biaya, yaitu terkait kendali mutu kendali biaya tetap terjaga. Misalnya naik kelas dari kelas I ke kelas VIP, ditetapkan 75% dari INACBGs. Dari asuransi komersial berharap jangan kembali ke sistem fee for service.

Dr. Daniel dari PERSI meminta untuk mendefinisikan secara jelas cost sharing dan selisih biaya, karena fungsinya sangat berbeda. Ibu Yuli menjawab bahwa Cost sharing ini akan dibedakan jadi 2 sistem, yaitu iur biaya dan selisih biaya (up top). Selisih biaya terkait dengan kenyamanan dan apabila ingin mendapatkan pelayanan yang lebih. Urun biaya terkait obat, pemeriksaan penunjang. Bapak Jefri mengomentari terkait split billing rumah sakit, bahwa untuk selisih atau iur biaya biasanya dibayarkan secara reimbursement. Beliau mengharapkan apabila sistem rumah sakit sudah siap, maka bisa dimasukkan langsung dalam asuransi, sehingga mengurangi beban pembayaran out of pocket dari pasien.

Cucu mengonfirmasi terkait dukungan BPJS sangat mendukung terkait upaya pemerintah untuk redistribusi agar Puskesmas kembali fokus pada upaya preventif pada UKM. Masalah redistribusi sudah disiapkan juga oleh BPJS, termasuk dokumen-dokumennya, yang akan diujicoba pada tahun 2022.

dr. Daniel

Dr. Daniel menambahkan kembali paparannya terkait harapan rumah sakit. RS merasa diperlakukan tidak adil oleh JKN, misalnya RS di kota besar dengan UMR yang besar juga disamakan dengan RS yang kecil. Selisih biaya diharapkan bisa disesuaikan dengan hospital based rate/ tarif dasar RS. RS sekarang bukan hanya public good, tapi sudah menjadi industri. Dan pasien JKN bukan ranah bakti sosial RS, karena masuk bagian dari pemasukan RS. Konsep tarif juga akan berubah banyak dalam kebijakan cost sharing ini.

Pertanyaan peserta terkait pengadaan kembali loncat lebih dari 1 kelas JKN karena bisa menjadi profit dijawab oleh Yuli untuk menunggu konsep kelas standar terlebih dahulu. Lalu untuk pertanyaan skrining masif untuk HbsAg untuk mencegah penyakit sirosis hepar (katastropik) dan lain-lain sudah direncanakan. Pertanyaan berikutnya terkait cost sharing bisa ditanggung oleh JKN dan asuransi swasta,  bisa dilakukan pada selisih biaya (up top). Dari Jefri menambahkan bahwa dari asuransi komersial tidak ada masalah bila ada regulasi boleh naik kelas lebih dari 1 kelas, asal ada regulasinya, dan tidak kembali ke kebijakan fee for service, tetap ada kendali mutu kendali biaya. Menurut Daniel, pengendalian kembali kepada pembuat kebijakan, dan penting untuk mematangkan konsep kelas standar terlebih dahulu.

Sesi III Talkshow Prospek Revisi UU SJSN dan UU BPJS

Sesi III Talkshow dengan topik Prospek Revisi UU SJSN dan UU BPJS dibuka oleh Shita Listya Dewi sebagai pewawancara. Narasumber untuk Sesi III terdiri dari M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH, Peneliti Kebijakan Pembiayaan Kesehatan dan JKN PKMK FK-KMK UGM, Melki Laka Lena, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Brian Sriprahastuti, Kantor Staf Presiden dan Muttaqien, MPH., AAK, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Namun, Melki Laka lena dan Brian Sriprahastuti berhalangan hadir sehingga tidak dapat bergabung pada Sesi III Talkshow.

Muttaqien, MPH., AAK

Shita membuka dengan pertanyaan kepada Muttaqien, MPH., AAK. tentang strategi mendasar yang perlu ditinjau ulang dalam revisi UU SJSN dan UU BPJS. Muttaqien menjelaskan bahwa saat ini pencapaian JKN sudah banyak walau masih terdapat kekurangan-kekurangan. Pencapaian tersebut, yaitu peningkatan peserta JKN dan peningkatan realisasi pembayaran iuran JKN. Muttaqien menambahkan bahwa JKN juga harus menimbulkan keseimbangan antara provider dan peserta. Salah satu kekurangan yang ada adalah pertumbuhan faskes tidak sebanding dengan pertumbuhan peserta. Menurutnya, perbaikan-perbaikan ekosistem yang dapat dilakukan, yaitu mendorong JKN sebagai skema asuransi sosial yang wajib, perbaikan manfaat JKN seperti dalam Kelas Rawat Inap (KRI) JKN, perbaikan koordinasi antar penyelenggara jaminan, dan melakukan tinjauan terhadap tarif dan iuran.

 

M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH

Shita melontarkan pertanyaan kepada M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH. tentang perkembangan usulan-usulan yang akan diberikan untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS. Faozi menjelaskan bahwa ia dan tim lakukan adalah melakukan pengawasan dan evaluasi sejak tahun 2014 hingga tahun 2019. Salah satu usulan yang diberikan adalah memperkuat pasal-pasal yang sudah ada di UU SJSN dan UU BPJS, termasuk juga pasal-pasal untuk memperkuat peraturan di bawahnya. Faozi menambahkan fungsi DJSN juga harus diperkuat seperti dalam penentuan iuran. Ia juga menjelaskan kebijakan kompensasi dapat dijadikan pendekatan untuk mengatasi kekurangan yang ada, seperti melengkapi fasilitas Kesehatan.

Pertanyaan selanjutnya diberikan kepada Muttaqien tentang kebijakan yang dapat mempermudah seperti dalam bentuk insentif bagi penyedia swasta untuk turut serta dalam JKN. Sebelum menjawab, Muttaqien memberikan pendapatnya tentang usulan kompensasi. Menurutnya, itu sudah tertuang di dalam UU SJSN tetapi harus dibedakan bagian yang harus direvisi di Undang-undang dan di aturan pelaksanaannya. Ia menjelaskan bahwa ia setuju dengan insentif yang diberikan kepada penyedia swasta. Menurutnya, peningkatan pertumbuhan faskes justru terjadi di penyedia swasta. Sehingga pemberian insentif perlu dilakukan agar penyedia swasta mau membuka faskes di daerah-daerah terutama di DTPK.

Shita menambahkan pertanyaan tentang perkembangan isu-isu yang dibahas di DJSN, seperti penyesuaian tarif dan penetapan Kelas Rawat Inap JKN. Muttaqien menjelaskan perubahan terkait manfaat di JKN, yaitu manfaat medis dan manfaat non medis. Kebutuhan dasar Kesehatan (KDK) yang termasuk dalam manfaat medis menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Sedangkan untuk KRI JKN menjadi tanggung jawab DJSN. Tetapi keduanya tetap melibatkan pihak-pihak lain, seperti Kementerian Keuangan dan tim pakar. DJSN sudah menyepakati kriteria terkait rawat inap sebanyak 13 kriteria yang berdampak kepada infrastruktur, pembiayaan, dana jaminan sosial kesehatan, dan tenaga di fasilitas Kesehatan. Muttaqien menambahkan saat ini proses tersebut dalam tahap finalisasi road map. Ia menjelaskan bahwa di dalam road map diharapkan pada tahun 2025 hanya akan ada kelas tunggal, yaitu Kelas JKN.

Shita memberikan pertanyaan selanjutkan kepada Faozi tentang peran yang bisa dimainkan oleh peneliti dan pengamat independen untuk bisa membantu dalam diskursus mengenai tarif dan iuran. Faozi menjelaskan peneliti dapat berperan dalam penetapan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan. Peneliti juga dapat terlibat dalam proses evaluasi kebijakan yang hasilnya dapat digunakan untuk melakukan revisi agar kebijakan menjadi lebih baik.

Shita menambahkan harmonisasi diperlukan terutama pada peraturan yang ada. Ia mempertanyakan langkah yang perlu diambil untuk mewujudkan harmonisasi tersebut. Muttaqien menjelaskan bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan revisi UU SJSN dan UU BPJS agar disharmonisasi yang ada bisa dihilangkan. Perubahan yang cepat terutama pada peraturan pelaksanaan seringkali menimbulkan kebingungan. Adanya kajian, pengawasan, dan evaluasi yang berdasarkan bukti di lapangan sangat dibutuhkan untuk menjadi masukan dalam perubahan yang akan dilakukan. Muttaqien menutup dengan menjelaskan bahwa tidak semua permasalahan dapat diatasi dengan melakukan perubahan Undang-undang tetapi lebih kepada perbaikan dalam implementasinya.

Reporter : Srimurni Rarasati

  Agenda Terkait:

 

coba ujian

Soal Ujian Topik 1. Health Security

 

Nama Lengkap
Email

Reportase 5.1 Implementasi Pemenuhan Supply Side Sharing Berdasarkan Data Rutin Kesehatan dan DaSK untuk Penguatan JKN

25 Oktober 2021

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan webinar mengenai Kebijakan JKN untuk Keadilan Sosial: Implementasi Pemenuhan Supply Side dan Cost-Sharing berdasarkan Data Rutin Kesehatan dan DaSK untuk Penguatan JKN. Webinar ini merupakan topik kelima dari rangkaian Forum Nasional yang ke XI yang telah terselenggara sejak 11 Oktober 2021.

Pembukaan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Acara dibuka dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD mengenai Implementasi Supply Side, Cost Sharing dan Prospek UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan data rutin Kesehatan dan DaSK untuk penguatan JKN.  Seperti yang telah disampaikan dalam sesi – sesi sebelumnya bahwa dalam membuat keputusan itu ada faktor – faktor yang melatarbelakangi seperti faktor nilai-nilai apa yang dianut, kemudian terdapat bukti – bukti ilmiah dalam berbagai bentuk seperti analisis data, penelitian kebijakan dan analisis kebijakan. Penggunaan jenis data pada pengambilan keputusan ini menarik untuk dibahas. Pada Fornas JKKI ke XI ini data yang digunakan lebih banyak kepada data rutin. Kecenderungan lain yang umumnya digunakan dalam penggunaan data adalah dengan menggunakan survei keputusan kebijakan dan data rutin digital untuk keputusan kebijakan. Kedua data ini memiliki ciri khas masing  -masing dan umumnya akan lebih tepat jika dipergunakan seperti di bawah ini.

Kali ini topik yang dibahas Penguatan Kebijakan JKN maka penggunaan data Susenas dan Data Rutin Kemenkes dan BPJS menjadi hal penting. Seperti untuk mengetahui persebaran RS dan besaran klaim. Misalnya untuk menunjukkan pertumbuhan RS per Regional, melalui data SIRS contohnya, disebutkan bahwa pertumbuhan yang pesat terletak pada Regional 1 atau di Jawa. Kemudian Biaya Klaim BPJS Kesehatan berdasarkan Provinsi yang diambil dari Data Rutin BPJS menunjukkan peningkatan biaya pelayanan dari 2015 ke 2018, dan paling banyak diklaim oleh peserta yang berasal dari Jawa. Melalui data – data ini dapat dianalisis apa yang menjadi penyebab rendahnya klaim dari wilayah lainnya? Apakah itu karena ketersediaan RS yang perlu ditambah, dokter spesialis atau sarana dan prasarana?. Secara lebih khusus lagi, kondisi di DIY dan NTT dimana tergambar dengan jelas persebaran pelayanan jantung juga lebih banyak di Jawa dan di NTT sendiri melalui data rutin BPJS justru mengalami penurunan klaim. Setelah dilihat lebih dalam, terlihat bahwa kebijakan kompensasi tidak dijalankan. Laksono menutup pengantar webinar dengan mengajak seluruh peserta diskusi untuk melihat apakah dalam penguatan resiliensi juga terkandung prinsip “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Kemudian, acara dilanjutkan dengan presentasi Policy Brief.

SESI I Sesi Keynote Speech

Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD, AAK

Direktur Utama BPJS Kesehatan yaitu Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD, AAK. Memberikan beberapa poin penting mengenai capaian yang telah dilakukan oleh BPJS. Hal yang pertama adalah mengenai peningkatan mutu dengan berbagai macam inovasi teknologi dan evolusi industri, termasuk antrian yang lama. Beberapa peserta protes karena ia menjadi peserta BPJS berdampak pada antrian yang memakan waktu 5 – 6 jam untuk mengantri. Melalui Mobile JKN yang telah dikembangkan, peserta bisa mengetahui nomor antriannya dan dilayani pukul berapa sehingga bisa memotong antrian yang panjang tersebut. Kemudian, kedua mengenai pengembangan engagement dengan pemangku kepentingan yang lain, salah satunya dengan menghadiri langsung Fornas JKKI XI untuk menjalin relasi dan berkolaborasi.

Hal yang ketiga adalah mengenai perluasan kepesertaan, yang harapannya dapat sesuai dengan capaian yang terdapat di dalam RPJMN yaitu mencapai kepesertaan hingga 98% pada 2024. Keempat adalah menjaga keberlanjutan (sustainability) dari program JKN, dapat dilihat bahwa pemanfaatannya sempat turun di awal pandemi COVID-19 namun sudah rebound.  Ghufron juga mengungkapkan, selain 4 capaian tersebut terdapat capaian lain dari BPJS Kesehatan selama masa pandemi COVID-19. Seperti penyediaan telemedicine, monitoring status kesehatan peserta, penambahan iterasi obat, display ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, display kepastian jadwal operasi dan digitalisasi proses kredensialing dan verifikasi klaim.

Terkait dengan perbaikan kebijakan JKN untuk mencapai keadilan sosial, berbagai pemangku kepentingan seperti Kemenkes, DJSN, Bappenas dan Kemenko PMK dalam proses membahas upaya strategic purchasing dalam Program JKN. Hal – hal yang dibahas meliputi peninjauan manfaat program JKN sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar sesuai dengan Perubahan Kedua Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Kemudian adanya perluasan akses dengan peserta melalui perluasan kerjasama FKTP. Lalu yang ketiga adalah perumusan pengembangan sistem pembayaran seperti KBK, penyesuaian tarif pelayanan di seluruh level faskes, serta aplikasi urun biaya untuk peserta JKN. Perumusan untuk memperbaiki belanja kesehatan tersebut akan mempengaruhi iuran bagi peserta JKN, begitu juga penetapan tarif pelayanan kesehatan dalam JKN yang perlu dihitung dengan cermat serta komprehensif. Tentunya dengan menggunakan pendekatan aktuaria, harapannya supaya program JKN dapat berjalan secara berkelanjutan. Capaian tersebut dapat diraih dengan dukungan seluruh stakeholders secara bersama – sama untuk meningkatkan akses serta kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan demi keberlangsungan dan keberlanjutan program JKN.

SESI II

dr. Tiara Marthias, MPH, PhD

Pada kesempatan ini dr. Tiara Marthias, MPH, PhD memberikan penjelasan mengenai ketersediaan Pelayanan Kesehatan dan Isu keadilan dalam penyebaran SDM dan Fasilitas Kesehatan untuk kasus Jantung, KIA dan Kanker. Didasarkan pada berita dan data yang ada, terlihat bahwa keterbatasan dan masalah pemerataan SDM Kesehatan secara kontinyu terjadi, begitu juga dengan kesiapan fasilitas kesehatan yang bervariasi antar wilayah di Indonesia. Sejumlah data rutin dari Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) dapat dilihat bahwa sejumlah daerah tidak mempunyai akses ke layanan bedah jantung dan vaskuler. Keadaan di tiap daerah itu bervariasi, ada daerah yang memiliki akses, ada daerah yang tidak memiliki akses sama sekali dan ada daerah yang tidak memiliki akses namun harus berpindah ke daerah lain untuk mendapatkan akses.

Melalui Riskesdas tahun 2018 prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat dari tahun ke tahun, dan di Indonesia terdapat kurang lebih dua juta penduduk yang menderita penyakit tersebut. Di daerah NTT dan Papua misalnya, dapat dilihat di peta persebaran SDM Kesehatan di atas bahwa persebarannya belum merata sehingga ada dugaan bahwa under diagnosis dapat terjadi di kedua wilayah tersebut karena kurangnya SDM Kesehatan. Begitu juga dengan timpangnya pelayanan kateterisasi jantung antar daerah karena jenis rumah sakit yang dapat melayani kateterisasi jantung tidak merata. Hal ini juga terjadi pada pelayanan untuk KIA dan kanker. Ketersediaan SDM Kesehatan untuk ibu hamil dan bersalin memiliki persebaran yang variatif dan persebarannya masih didominasi Jawa. Perbandingannya dapat digambarkan dengan ketersediaan SDM Kesehatan untuk KIA di DKI Jakarta dengan Papua Barat, di Jakarta sendiri setidaknya terdapat 1400 nakes per 50 kilometer persegi, sedangkan di Papua Barat tersedia 35 SDM kesehatan untuk tiap 5000 kilometer persegi. Rumah sakit yang memiliki layanan kanker juga sebagian besar tersebar di Jawa dan Bali. Sementara persebaran layanan bedah onkologi untuk Kanker masih terpusat di Jawa, Sumatera dan sebagian Sulawesi.

Prof. Ascobat Gani

Topik yang diangkat oleh Prof. Ascobat Gani adalah mengenai Strategi Pemenuhan Supply Side untuk Penguatan JKN. Masalah utama pada sisi supply  adalah pada ketersediaan layanan, akses kepada layanan dan mutu layanan sehingga menurut Ascobat azas ekuitas dan keadilan bagi semua JKN belumlah terpenuhi. Apabila dilihat pertumbuhan puskesmas di Indonesia naik secara perlahan, setiap tahun mulai 2015 hingga 2019 tidak lebih dari 200 puskesmas per tahun. Rasio puskesmas di Indonesia, rata – rata terdapat 1.40 Puskesmas di tiap kecamatan namun lain halnya dengan Papua Barat yang hanya tersedia 0.28.

Mutu Puskesmas yang sudah terakreditasi di Indonesia sudah mencapai 90 persen. Kemudian masalah mengenai persebaran dan ketersediaan SDM Kesehatan dapat digambarkan bahwa ketersediaan dokter di Indoneisa itu bisa tidak merata karena ada masalah distribusi dan semakin ke daerah timur pendistribusiannya semakin kurang. Sementara untuk layanan KIA, sepert bidan dan perawat jumlahnya saat ini berlebihan namun distribusinya tidak merata dan sama seperti ketersediaan dokter, di wilayah timur persebarannya kurang merata. Sementara gambaran fasilitas kesehatan yang tersedia saat ini memiliki masalah dengan kredensialing BPJS Kesehatan dan Akreditasi untuk klinik swasta. Sementara pada tingkat RS, ada permasalahan mengenai kurangnya supply tempat tidur di beberapa daerah seperti Riau, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Lampung, Jawa Barat, Banten, NTT dan NTB.

Kemudian presentase dokter spesialis yang tersedia di RS, didapati dari dat Ditjen Pelayanan Kesehatan tahun 2019 bahwa rata – rata RS kelas C tidak punya dokter spesialis, dan di daerah timur pun juga memiliki masalah yang sama. Masalah kecukupan dokter spesialis dikarenakan lulusan yang ada masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan dan meningkatnya lansia dan angka Penyakit Tidak Menular. Saran yang dapat diberikan dengan adanya persoalan ini adalah dengan menambah jumlah puskesmas di beberapa daerah hingga mencapai rata – rata nasional. Kemudian meningkatkan akreditasi puskesmas khususnya di di beberapa daerah. Masalah persebaran SDM Kesehatan dapat diatasi dengan melanjutkan program Nusantara Sehat dan membuat rancangan Peraturan Daerah mengenai Pindah Tempat Kerja dalam kabupaten. Selain itu, Klinik Pratama dapat ditingkatkan perannya dengan membantu klinik pratama untuk meraih akreditasi atau memberikan insentif agar klinik swasta di daerah terpencil dapat turut berperan untuk meraih keadilan sosial tersebut. Pemangku kewenangan juga bisa melakukan redistribusi peserta BPJS dari puskesmas yang terlampau padat kepada klinik pratama agar terdapat pembagian yang rata. Sementara untuk persoalan pemenuhan jumlah dokter spesialis dapat diatasi dengan memberikan beasiswa untuk belajar spesialis dengan ikatan dinas untuk kembali ke daerah yang kurang memiliki dokter spesialis saat sudah lulus.

M. Faozi Kurniawan, S.E., Akt., MPH

Bahasan yang disampaikan oleh narasumber ketiga yaitu Faozi Kurniawan, S.E., Akt., MPH.  mengenai situasi 4 tahun pelayanan kankes dan jantung, situasi pelayanan kesehatan di Indonesia dan Kebijakan Kompensasi untuk Daerah yang belum memenuhi standar akses pelayanan kesehatan. Selama 2015 hingga 2018 klaim BPJS untuk pelayanan kardiovaskuler meningkat tajam pada beberapa provinsi seperti Banten, DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan sementara pada proinvsi lain cenderung rata atau menurun. Ini menujukkan sebagian besar klaim tertinggi masih didominasi oleh Jawa, terlihat dalam klaim antara DI. Yogyakarta dengan NTT. Klaim yang diajukan oleh NTT kurang lebih separuh dari yang diklaim oleh D.I Yogyakarta. Sementara pada klaim berdasarkan kepesertaan selama 4 tahun dengan jumlah terbanyak adalah segmen PBPU, kemudian diikuti PPU dan yang paling rendah mengklaim adalah segmen PBI APBD. Gambaran tersebut juga mencerminkan klaim pelayanan kardiovaskuler yang lebih banyak di klaim oleh PBPU. Pada layanan kanker juga didapati gambaran yang mirip dengan layanan jantung.

Kemudian, situasi kebutuhan pelayanan kesehatan di Indonesia sendiri diwarnai oleh faktor – faktor yang variatif. Seperti kebutuhan mendesak untuk sisi supply, kondisi geografis yang beragam, kebutuhan SDM Kesehatan dan kebutuhan sarana dan prasarana. Kebutuhan – kebutuhan ini dapat diatasi dengan beragam cara, misalnya dengan intervensi peningkatan supply side dan demand side pelayanan kesehatan. pada sisi supply, dapat diberikan layanan lebih dekat dengan rumah dengan cara mengirim tenaga kesehatan dan pekerja kesehatan komunitas untuk masyarakat yang tinggal di daerah dengan kondisi geografis yang sulit dan terbatas secara finansial. Pada sisi demand, dapat diberikan bantuan berupa insentif untuk memperlancar akses transportasi untuk masyarakat yang tinggal di daerah sulit agar mereka terpenuhi kebutuhan pelayanan kesehatannya. Kebijakan kompensasi yang demikian sebaiknya segera diterapkan karena hal ini merupakan perintah dari peraturan perundang-undangan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah dengan kategori terpencil dan kepulauan serta terpencil dan sangat terpencil. Selain mngirimkan nakes, yang dapat dilakukan untuk memenuhi pelayanan kesehatan adalah menyediakan faskes tertentu seperti faskes bergerak. Oleh sebab itu, rumusan kebijakan kompensasi perlu dirumuskan dengan tepat.

Hal yang dibutuhkan dalam Implementasi Kebijakan Kompensasi antara lain, regulasi bentuk kompensasi, standar tarif pelayanan kesehatan, peran dinkes serta asosiasi faskes dan organisasi profesi. Alokasi dana daerah juga perlu dipertimbangkan untuk menerapkan kebijakan kompensasi dengan mempersiapkan misalnya, PAD kota/ kabupaten, DAK Non Fisik APBD, DAU dari lintas sektor. Dana Kapitasi dari BPJS kesehatan yang dapat dipergunakan untuk kunjungan prolanis, kegiatan Puskesmas prolanis dan kunjungan rumah. Kesimpulannya, langkah yang perlu dilakukan adalah mengimplementasikan pemberian kompensasi berdasarkan regulasi, memberikan pedoman teknis dan menjelaskan kriteria daerah penerima serta mekanismenya dan mencari sumber dana dari Kapitasi dan Perencanaan APBD.

Sesi Pembahas

Diwakili oleh Renova dari Kementerian PPN/Bappenas, pihaknya menyetujui bahwa isu pemerataan supply side selalu menjadi tantangan dari dulu hingga desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi menjadi tantangan yang lebih karena ada pembagian peran sehingga komunikasi antar level pemerintahan harus kuat. Pandemi COVID-19 juga menjadi pembelajaran bagi kita karena beban pelayanan kesehatan semakin besar dengan supply side yang tidak merata. Renova menyebutkan bahwa Indonesia memerlukan percepatan dalam pemenuhan supply side. Pada reformasi SKN ada 8 agenda besar yang telah dijelaskan oleh para narasumber. Seperti bagaimana pemenuhan SDM Kesehatan, pemenuhan pelayanan primer dan sekunder, pelayanan kesehatan di DTPK, ketahanan kesehatan, dan inovasi pembiayaan. Pemenuhan supply side memang perlu dilihat dari gambaran yang lebih besar, dari hulu ke hilir. Tenaga kesehatan tidak bisa hanya dipikirkan akan ditaruh dari barat ke timur karena dari sisi produksinya juga bermasalah yang membuat jumlah SDM nya kurang. Bappenas sedang mencanangkan mengenai pendidikan spesialis berbasis rumah sakit yang saat ini masih dalam tahap pembicaraan awal dan perlu kajian lebih lanjut. Peran lintas sektor juga perlu dibangun, misalnya dalam pendistribusian SDM yang perlu dikomunikasikan dengan Kemenpan/RB. Kemudian, di sisi pembiayaan terdapat problem berupa efektivitas dimana pemerintah pelru menjamin apakah dana-dana yang tersedia itu mengarah pada tujuan pencapaian. Komunikasi data menjadi hal yang penting, bukan hanya pendukung untuk membantu mengatasi persoalan pemenuhan hal – hal ini. Usul yang disampaikan oleh PKMK FK – KMK UGM melalui community health worker tadi bisa dijadikan sebuah gagasan yang menarik.

Eddy Junaidi dari Asosiasi Klinik Indonesia menanggapi beberapa hal dari apa yang disampaikan oleh narasumber. Menurutnya masalah mengenai pendidikan dokter spesialis yang dijelaskan oleh Prof. Ascobat Gani benar adanya, dan secara teknis paradigma dokter yang telah lulus umumnya akan menganggap pendidikannya sebagai investasi karena kuliahnya saja sudah mahal. Lalu mengenai cost sharing Eddy menanggapi bahwa apabila kebijakan ini diterapkan maka peraturan perundang – undangan mengenai JKN harus direvisi, konsekuensi yang terjadi berarti masyarkat tidak wajib untuk menjadi peserta. Kemudian, apa yang wajib? Bagi masyarakat yang tidak mampu tidak perlu cost sharing, karena yang mampu bisa menggunakan asuransi lain. Cost sharing perlu dikaji kembali, di bagian mananya akan diterapkan? Apakah untuk obat – obatan yang mahal seperti kanker?. Lalu masalah pengelolaan pasien antara puskesmas dan klinik swasta, Eddy berwacana bagaimana jika promotif dan preventif pun bisa dimasukkan ke klinik swasta. Eddy juga mengkritisi soal kewenangan IDI yang melebar pada pengelolaan faskes, yang semestinya tidak menjadi ruang lingkup IDI.

Heru Ariyadi

Heru Ariyadi dari Asosiasi Rumah Sakit Daerah mengutarakan beberapa pendapat mengenai materi-materi yang telah dijelaskan oleh narasumber sebelumnya. Seperti redistribusi nakes ke daerah – daerah yang secara gaji sudah mencukupi, namun terdapat keresahan dari dokter – dokter spesialis mengenai persoalan pribadi seperti bagaimana kualitas pendidikan anak kedepannya?. Kemudian mengenai supply side kompensasi menurutnya tidak mudah sehingga harus dikaji kembali. Hal yang harus dikaji adalah APBD, yang baru bisa dianggarkan ketika ada pedoman pengelolaan keuangan dari Kemendagri. Saat tidak disebut dalam mata anggaran maka agak sulit. Pemerintah Kabupaten dan Kota merasa sudah berkontribusi untuk PBI APBD. Hal ini nantinya juga akan berkaitan dengan kriteria daerah terpencil, yang perlu didefinisikan ulang.

Reporter: Stefani Wijaya

 

  Agenda Terkait:

 

Reportase Topik 4D Ketahanan Layanan Jantung: Tantangan dan Peluang Pelayanan Jantung Selama Pandemi dan Rencana Pemulihan Pasca Pandemi COVID-19

Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan seminar tentang “Tantangan dan Peluang Pelayanan Jantung Selama Pandemi dan Rencana Pemulihan Pasca Pandemi COVID-19” untuk kebijakan masalah kesehatan prioritas Jantung. Seminar ini merupakan subtopik 4D dari rangkaian kegiatan Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) ke-11 dengan tema “Resilience Kesehatan Pada Era Pandemi Melalui Pemanfaatan DaSK, Data Rutin Kesehatan, dan Reformasi Sistem Kesehatan.”

Pembukaan

Kegiatan ini dibuka oleh sambutan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD yang menyampaikan kebijakan untuk permasalahan kesehatan prioritas, khususnya terkait situasi pelayanan jantung di Indonesia. Permasalahan klinis terkait jantung bisa ditangani dengan membuat kebijakan berbasis bukti. Kebijakan tersebut disusun dengan menggunakan kombinasi data rutin dan data survei, sehingga bisa dilakukan analisis data, penelitian kebijakan, serta analisis kebijakan dengan isu utama yang dikaji yaitu meliputi pemerataan, keberlangsungan, dan ketahanan layanan jantung.

M. Faozi Kurniawan, SE.Akt, MPH

Selanjutnya M. Faozi Kurniawan, SE.Akt, MPH menjelaskan situasi pelayanan jantung di Indonesia berdasarkan data survei dan data rutin yang dapat diakses melalui DaSK. Data survei yang digunakan adalah data beban penyakit dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.  Sedangkan data rutin yang digunakan yaitu data sampel BPJS Kesehatan 2015 – 2018 dan data persebaran rumah sakit.

Data beban penyakit dan data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah semakin meningkat tiap tahunnya dan mencapai angka 1,5 per 1.000 penduduk. Berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan 2015-2018, biaya pelayananan jantung di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta lebih tinggi daripada provinsi lainnya. Data persebaran rumah sakit juga menunjukkan bahwa pelayanan jantung masih terpusat di Jawa. Beban pembiayaan penyakit jantung adalah yang terbesar di BPJS Kesehatan, namun fasilitas dan pendanaan belum merata sehingga terjadi ketidakadilan pelayanan. Keadaan ini bisa menjadi semakin sulit terutama di masa pandemi dan pasca pandemi COVID-19. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai kebijakan yang tepat agar dapat meningkatkan ketahanan pelayanan jantung di Indonesia.

Dr. dr. Lucia Kris Dinarti, Sp.PD, Sp.JP(K).

Narasumber seminar hari ini yaitu Dr. dr. Pribadi Wiranda Busro, Sp.BTKV(K) dari Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan dr. Nahar Taufiq, Sp.JP(K) dari Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Sesi pembahasan dalam seminar ini dibersamai oleh tiga pembahas yaitu Dr. dr. Yout Savithri, MARS dari Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan (Kementerian Kesehatan RI), Dr. Juanita, SE, M.Kes dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Jon Hendri Nurdan, M.Kes dari Universitas Dehasen Bengkulu, serta moderator diskusi yaitu Dr. dr. Lucia Kris Dinarti, Sp.PD, Sp.JP(K).

 

 

Sesi 1: Pemaparan Materi

Dr. dr. Pribadi Wiranda Busro, Sp.BTKV(K)

Materi pertama disampaikan oleh Dr. dr. Pribadi Wiranda Busro, Sp.BTKV(K) tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap pelayanan jantung di RSJPD Harapan Kita. Jumlah pelayanan sempat menurun di Juli 2021 akibat tingginya kasus COVID-19 dengan varian Delta. Pasien sulit untuk masuk ke DKI Jakarta karena adanya penerapan pembatasan sosial berskala besar, sedangkan banyak pasien berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, ketersediaan tempat tidur banyak yang dialihkan untuk pasien COVID-19 sehingga mengakibatkan pasien takut untuk datang ke rumah sakit. Namun, di era kebiasaan baru pelayanan telah disesuaikan dengan protokol kesehatan meskipun prosesnya lebih panjang. Meskipun demikian, distribusi sumber daya manusia untuk pelayanan jantung masih belum merata, banyak tenaga medis yang tersebar di Jawa dan di pulau lain masih sangat sedikit sehingga pemerataan SDM diperlukan agar pelayanan jantung dapat diberikan dengan baik.

dr. Nahar Taufiq, Sp.JP(K)

Materi kedua disampaikan oleh dr. Nahar Taufiq, Sp.JP(K) yang menyebutkan tantangan pelayanan jantung di masa pandemi COVID-19 yaitu sulitnya melakukan diagnosis dengan cepat dan pasti, sementara berada pada situasi yang sangat infeksius dan memiliki risiko tinggi bagi tenaga kesehatan. Tantangan tersebut membuat perubahan pada strategi pelayanan yang harus mampu beradaptasi untuk mempertahankan kualitas pelayanan jantung. Beberapa strategi pelayanan yang dilakukan selama pandemi yaitu mengidentifikasi jenis layanan jantung, melakukan perubahan alur pelayanan pasien, melakukan penilaian diri bagi staf medis terhadap risiko terpapar infeksi, serta pembagian beban kerja untuk staf medis. Selain itu diperlukan koordinasi layanan antar rumah sakit, khususnya jantung emergensi untuk memperpendek golden period penyakit jantung, pemisahan layanan UGD Infeksi dan UGD Non Infeksi agar bisa menangani kegawatdaruratan jantung yang memiliki komorbid penyakit infeksi menular, serta melakukan berbagai kajian ilmiah sebagai dasar pembuatan kebijakan yang bersifat nasional.

 

Sesi 2: Pembahasan

Dr. dr. Yout Savithri, MARS

Dr. dr. Yout Savithri, MARS sebagai pembahas pertama menyampaikan situasi pelayanan jantung di Indonesia. Jumlah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah paling banyak tersebar di Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Jawa, sedangkan sebaran di pulau lainnya masih sangat sedikit. Berdasarkan data tingginya kasus penyakit jantung dan pembuluh darah serta tidak meratanya sebaran dokter spesialis di Indonesia, maka dibuat target pemerataan pelayanan jantung pada 2023. Harapannya seluruh provinsi di Indonesia mampu melakukan pelayanan jantung paripurna, termasuk pelayanan bedah jantung terbuka. Data terkait penyakit kardiovaskular harus dioptimalkan dan diperbarui agar bisa dibuat analisis sistem kesehatan jantung di Indonesia. Selain itu juga diperlukan pemetaan tenaga kesehatan terkait pelayanan bedah jantung di semua provinsi serta strategi percepatannya.

 

Dr. Juanita, SE, M.Kes

Pembahas kedua yaitu Dr. Juanita, SE, M.Kes menyampaikan situasi pelayanan jantung di Sumatera Utara. Berdasarkan data BPJS Kesehatan Regional Aceh Sumatera Utara 2016 – 2020, diketahui bahwa pembiayaan penyakit jantung selalu berada di posisi pertama dengan biaya terbanyak dibandingkan penyakit katastropik lainnya. Jumlah rumah sakit dan dokter spesialis jantung menumpuk di Medan, sedangkan di daerah lain belum tersebar merata. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakadilan pelayanan, sehingga diperlukan beberapa rekomendasi terkait distribusi dokter spesialis jantung dan pemberian insentif, penyediaan fasilitas pelayanan jantung di rumah sakit rujukan, dan beberapa rekomendasi lainnya agar pelayanan jantung bisa diberikan secara merata.

 

Dr. Jon Hendri Nurdan, M.Kes

Pembahas ketiga yaitu Dr. Jon Hendri Nurdan, M.Kes menyampaikan tentang situasi pelayanan jantung di Bengkulu. Jumlah dokter spesialis jantung yang tersedia di Bengkulu yaitu 4 orang dan hanya 1 rumah sakit yang memiliki layanan cath lab dan terpusat di Kota Bengkulu. Pada masa pandemi COVID-19, masyarakat yang memiliki penyakit jantung takut untuk datang ke rumah sakit dan berakibat pada putus obat atau perburukan kondisi klinis. Salah satu solusi yang dilakukan yaitu dengan menerapkan telemedicine, hal ini dapat mengurangi risiko paparan dan kontak. Secara umum, pelayanan jantung di Bengkulu masih membutuhkan perhatian khusus dan dukungan dari berbagai pihak agar pelayanan jantung dapat diberikan secara optimal.

 

 

Sesi 3: Diskusi

Pada sesi ini, narasumber menekankan tentang pelayanan jantung harus diperkuat bukan hanya dari sisi ketersediaan fasilitas dan sumber daya manusia (tenaga medis), melainkan juga harus didukung oleh biaya operasional yang memadai dan sebaiknya didukung oleh pemerintah daerah masing – masing. Apabila di suatu daerah tidak ada dokter spesialis jantung, maka pihak dinas kesehatan setempat bisa menghubungi pusat regional untuk mengadakan pengampuan rumah sakit sehingga tidak ada kekosongan dokter tertentu. Selain itu, akan ada beasiswa bagi putra daerah untuk belajar tingkat spesialis, sehingga dokter spesialis bisa lebih banyak dan penempatannya lebih merata. Kemudian terkait pandemi COVID-19, vaksinasi bagi orang dengan penyakit jantung merupakan suatu keharusan, namun harus diketahui riwayat kesehatan pasien terlebih dahulu agar vaksin dapat diberikan pada pasien dalam kondisi terbaiknya.

Reporter: Rokhana Diyah Rusdiati

 

  Agenda Terkait: